[Epitome buat Thomas — bagian 3] Cetak Biru

Triskaidekaman
6 min readFeb 12, 2017

--

Bunyi tabrakan bus dan mobil memekakkan telinga. Orang-orang berlarian ke jalanan, berbondong-bondong ke arah lokasi, tanpa mau berbuat apa-apa. Beberapa tangan mengulurkan kamera ponsel ke atas, hingga melewati kepala orang-orang jangkung yang berkerumun. Mobil polisi datang semenit kemudian, namun butuh lima menit lebih sampai mereka bisa mengatasi kerumunan. Berisik sekali. Jalanan tiba-tiba riuh.

Persetan dengan urusan empati manusia terhadap manusia lain. Ini kesempatan bagus buat kami: Beraksi dalam sekam.

Bram memainkan jari ke belakang daun telinga kirinya. Sesaat, pendar halonya meredup, tubuhnya tampak lebih memudar dan makin tembus pandang. Kemudian ia mencondongkan badannya ke depan. Mungkin kemudian ia kelelahan, karena hanya dalam beberapa detik ia memilih berjongkok saja.

“Permisi, Coin. Aku mau coba nyatet.”

Coin memberengut. “Nyatet apaan? Kamu bawa bolpoin?”

Bram mengeluarkan sebuah bolpoin dari saku celananya. Seharusnya bolpoin itu juga ada dalam kaveling panjang gelombang inframerah, meskipun jelas-jelas seluruh badannya biru. Aku pun harus menelan tanya dalam kepala saat ia benar-benar membawa kertas, membuka tutup bolpoin, dan berhasil mencoretkan sesuatu dengan begitu nyata ke atas kertas tadi.

“Pertama-tama kita perlu sebuah cetak biru,” ia mencoretkan beberapa poin di tepi kiri kertas, “Yang menggambarkan dari sisi mana Coin tahu soal kasus Thomas ini.” Aku dan Coin berpandangan.

“Begini. Kita anggap Coin mendengar dialog dari sisi A. Ada missing link, di sisi B, dong? Si B, alias Thomas, tadi ngomong apa, ‘kan Coin tidak tahu.”

Bram meletakkan bolpoin dan menggunakan tangan yang sama untuk menahan batuk. Kami berdua lalu menoleh ke Coin, menunggu penjelasan mekanis yang tak bahkan belum pernah kutanyakan sejak kami berkenalan.

“Errrr… benar sih. Aku cuma bisa mendengar ucapan si bapak tadi, lalu mengonversi gelombang suara itu jadi gelombang listrik, yang merupakan bahasa sandinya operator. Sebaliknya, gelombang yang kuterima dari operator cuma numpang lewat di aku. Kubikinlah dia jadi gelombang suara, baru kusampaikan ke kuping si bapak tadi.”

Kalimatnya berhenti. Aku dan Bram kembali bertukar pandang bingung.

“Oh? Jadi kamu cuma nyampein listrik-listrik gituan ke kuping orang tanpa kamu tahu isinya?”

“Ya iyalah. Graham Bell yang nyuruh.”

“Dan dengan tololnya kamu nurut aja. Jadi, kamu enggak tahu sama sekali Thomas ngomong apaan, kalau begitu?”

“Lama, Bos. Kalau aku harus menerjemahkan bahasa Faraday ke bahasa Thomas, bisa enggak selesai-selesai itu telepon. Nanti aku disangka bodoh sama pemerintah, lalu aku dibengkas dan dipulangkan ke bengkel!”

“Aduuuuuh!” Bram menangkupkan tangan ke kiri kanan badan Coin. Mengguncang-guncangnya. Beberapa koin uang logam berdentingan keluar.

Persetan soal frekuensi hantu dan pesawat telepon umum. Kuintip para pejalan kaki di trotoar. Mereka menjengit ke arahku. Sebagian yang boncel-boncel memilih berjingkat. Beberapa anak terpana, menatap kosong. Tukang majalah keliling berhenti menjaja, dengan mata tercenung, juga ke arah daun pintuku. Barangkali saking nyatanya dan saking panasnya, para manusia bisa menyaksikan maju mundur per gagang telepon Coin yang digeruduk tangan-tangan malaikat (atau setan) milik Bram. Barangkali pula, adegan saling-sikut-dan-toyor ini tinggal menunggu sepucuk kamera ponsel untuk jadi konsumsi umum.

Sebelum mereka saling jambak, kulihat dulu pohon di seberang jalan. Begitu dia berjoget dahsyat, aku mengentakkan daun pintu. Demi tidak disangka hantu oleh mereka. Kenop berkelotak-kelotak sendiri. Pegas Coin yang menjuntai terayun-ayun sebentar, tapi tak sampai mencurigakan.

Seakan angin yang menjadi pemandu orkestra berkelahi, orkestra-jambak-menjambak-demi-pamer-kekuatan-tiga penjuru kami berakhir seketika. Sepertiga penonton menggeleng-geleng lalu membuang muka dan berlalu. Sepertiga masih geming di tempat namun berpindah fokus pandangan ke arah jalanan. Segelintir masih bergosip kiri kanan mendebatkan itu tadi hantu atau bukan, sementara sisanya malah mematut-matut diri selayaknya aku ini cermin dan Coin adalah dewa penjaganya.

“Sudah, sudah. Kalian memancing mata manusia, tahu.”

“Persetan. Kertasku sudah berumbai-rumbai begini,” ujar Bram, sambil menepuk-nepuk paha celana dan mengibas-ngibaskan kedua tangan. Berbunyi pula. Benar-benar ajaib.

“Pokoknya aku cuma bisa mengeluarkan transkrip dari pihak si bapak, titik. Kamu mau lebih? Minta noh sama operator. Operator jauh. Kamu kudu terbang biar cepat sampai. Di sana ada kecelakaan sih tadi,” per itu bergelung dan membentuk spiral ke arah timur jalan.

“Aku lagi malas terbang. Capek,” Bram merengut malas.

“Ya sudah, Coin, keluarkan. Tunggu apa lagi?”

“Pakai apa? Muntahan? Berak?” teriak Coin. Suaranya makin serak.

“Apa saja yang bisa dibaca.”

“Perlu sampai dibaca manusia, atau cukup dibaca hantu?”

“Memangnya di dunia hantu ada abjad sendiri?” aku menoleh ke Bram. Ia membalas tatap dengan menguap. Menguap sekali lagi sesudah itu.

“Tidak ada,” sergah Bram, “Kami juga pakai huruf Latin. Eh tapi,” ia memutar bola mata ke arahku dengan jahil, “Ada sih, beberapa orang pakai huruf Mandarin, Korea, Arab, dan Sirilik. Ada juga yang pakai bahasa Klingon. Yang penting sih, aku harus bisa mentransformasikan energi yang tadi kamu simpan, Coin.”

“Oke, pakai huruf Sirilik saja.”

“Aku tidak bisa. Aku cuma mengerti huruf Latin.”

Aku mendengus.

Lalu menunggu. Bersedekap. Pura-pura menatap kosong ke cakrawala di ujung jalanan yang masih dipadati ambulans dan mobil polisi. Mengalih pandang ke langit, menyaksikan bintang-bintang yang sama terbelenggunya denganku.

Kuberanikan diri menatap langsung awan kelam raksasa, sembari Bram dan Coin bergelut di lantai menghadapi perkara yang tak bisa kulihat. Ia mengapung menadah curah sinar bintang-bintang. Seingatku namanya Wantam, singkatan dari Awan Hitam.

“Hei, Wantam. Aku mau tanya.”

Kulihat matanya terfokus ke rombongan manusia nirempati di dekat lokasi kecelakaan, yang lebih memilih sibuk mengacung-acungkan ponsel ketimbang mengulurkan tangan untuk sekadar membantu polisi bekerja.

Sungguh konyol aku ini. Dia jelas-jelas bukan bintang jatuh, melainkan awan buntal. Mukanya jelek, badannya gendut, isinya air semua. Tidak perlu ditanya, dia cuma bisa menangis dan menyedot air. Dasar serakah. Tidak mau dengarkan aku.

“Kamu tahu apa yang sebetulnya direncanakan bapak itu dengan Thomas?”

Tak kusangka, ia berbalik arah.

“Thomas?”

“Iya, penghuni Yellow Pramuka suite F.”

Sejumput kapas di sisi kirinya menggelinding ke tengah. Kuasumsikan ia sedang mengingat-ingat.

Raut itu kian serius. Mendekat dalam upaya mengaduk-aduk rasa atau perut, “Kayanya dia udah mati, deh.”

Giliranku yang mengernyitkan atap.

“Iya, iya. Thomas Anu-anu-anu-anu. Nama Polandia, pokoknya. Atau Ceko?”

Aku menepuk jidat, memaki dalam hati. Awan boleh jadi menaungi langit berbagai belahan dunia. Tapi belum tentu mereka tahu apa yang terjadi di bawahnya. Mungkin gegara terlalu sering pindah.

“Sudah, Red.”

Sebentar. Itu suara Wantam atau suara Bram?

“Red! Red!”

Gagang pintuku diguncang-guncang keras. Rupanya itu Bram.

Bagus, buyut Graham Bell. Kau jelas-jelas keliru soal gelombang hantu, spektrofotometri, dan sentuhan.

“Wantam, sori. Aku harus mengurus mereka dulu.”

Sesuai mitos bahwa ia sombong, benar sekali, ia langsung melengos dan merambat jauh. Tidak perlu dipandangi lagi memang.

Di bawahku, Bram menyodorkan secarik kertas belel.

“Halo, Thomas. Aku mau menagih….”

“Tuh, kan. Kau ini!”

“Sudah kubilang. Kau sih. Bandel amat jadi orang. Kertas penting, ‘kan, itu.”

“Lalu sekarang kenapa kautelepon? Takut? Mau minta tolong? Sori! Aku gak bisa bantu kamu ah!”

“Heh, jangan mikir sampai sana.”

“Kubilang jangan. Nanti kamu yang dituduh.”

“Apa?”

“Oke. Mau bilang apa lagi kau?”

“Oh.”

“A-a-aku tidak tahu, Thomas. Jangan berbuat kebodohan dulu, itu saja.”

“Sembunyikan apa? Di mana? Yakin tidak ketahuan?”

“Atur saja.”

“Ah, berengsek! Nanti kuambil ke Yellow Pramuka. Suite mana?”

“Ooh… F. Elite ya. Tenang saja, Tom. Tidak bakal kelacak. Oke? Bye.”

Kami menekuri tulisan hasil transkripsi cakar ayam ini, begitu serius. Tadi Coin cuma memuntahkan isi lambungnya yang terakhir. Dia pun tidak terlalu hafal semuanya. Begitu ia membacanya ulang, ia malah kebingungan sendiri. Pegasnya kembali berayun ke dekat tempat gagang di gantungan, menggaruk-garuk maju mundur.

“Tidak bakal kelacak. Kauyakin sekali, ya, Pak Tua.”

“Kita lapor polisi saja.”

“Di duniamu ada polisi?”

Bram menggeleng, “Maksudku bukan lapor ke polisi hantu, dong. Tapi lapor ke polisi sungguhan.”

“Jangan dulu. Ini belum cukup kuat. Kita butuh isian dialog dari sisi sebelahnya.”

Peluit polisi memekakkan telinga, menggetarkan kaca di dindingku. Selembar kertas melayang menempel di sana, dibawa angin yang entah bertiup dari mana.

Bram memicingkan mata. Terlambat. Kertas itu keburu jatuh ke jalanan. Ia berlari keluar, memungutnya, dan membawa masuk kertas itu untuk dibacakan ke hadapan kami.

Dijual cepat: Apartemen Yellow Pramuka suite G7/11, full furnished. Hubungi Fonda +21 41330 2978.

“Ah, iya. Namanya Fonda!” seru Coin jejingkrakan. Koin di dalam perutnya berdenting-denting lagi. Lebih keras, lebih menyelekit di tiap engselku yang kurang oli.

“Nama siapa?” Bram masih menggaruk kepalanya.

“Nama telepon yang berbicara dengan si bapak. Tadi aku sempat mengintip waktu kami terhubung.”

Coin memang bermulut besar. Namun manuvernya tadi cukup cerdas.

Setidaknya, proses investigasi kami menemui titik terang.

--

--

Triskaidekaman

Author of 3 novels • F1 enthusiast • Slytherin • IG/Twitter: triskaidekaman • triskaidekaman.com