[Epitome buat Thomas — bagian 1] Rengsa Coin

Triskaidekaman
5 min readFeb 11, 2017

--

“Kamu tidak kedinginan?”

“Biasa saja. Kenapa?”

Kurasa pertanyaan ini tak perlu dijawab. Sekarang, selamanya. Selama tak ada orang yang datang mengajak kami bicara, kami akan diam saja. Ketika kami diam saja, kami geming tanpa kinetik. Semua energi potensial yang bersemayam di dalam tiap partikel massa kami tetap geming. Kalau beruntung, mungkin kumulasinya bisa bertransformasi menjadi lemak, demi menggurihkan decak rangsang lidah, atau sekadar mengempukkan kekenyalan kulit di paha. Namun, kami berdua berbeda. Metabolisme kami tak sama sejak dulu, dan tak akan pernah sama hingga kapan pun.

“Kalau kamu kedinginan, bicara saja seenaknya.”

“Seenaknya pun harus pakai mikir, dong. Memangnya kita ini transkrip sinetron? Atau manuskrip debat yang sudah dirancang di muka dan wajib dihafal?”

Aku menggeleng-geleng usai menyimak kelakuannya. Telinganya yang tajam. Sifatnya sebagai pendengar dengan penuh kepalsuan ekspresi muka, dipadu koar mulut yang terhubung langsung dengan jejalin repot saraf pusatnya. Ia seorang pengirim pesan, penting tak penting.

“Tutup pintunya, Red. Aku tidak mau orang-orang berhenti dan mendengarkan obrolan bodoh kita.”

“Tapi….”

“Tutup saja. Kamu mau, selamanya mengekspos tubuhku seperti barang dagangan? Sementara mereka sudah tenggelam dengan urusan pribadi dan….”

“Sudah, Coin. Diam. Kita perlu menenangkan diri.”

“Aku cuma mau membuatmu hangat. Berpangku tangan kaki cuma makin menggigilkanmu,” ujarnya, mengedik dua tiga kali.

Pada akhirnya, aku yang mengalah. Aku menutupkan pintu, meskipun orang-orang tetap saja bisa sadar akan keganjilan ini.

Pada dasarnya aku tak suka menguping orang bicara. Namun ada kalanya aku tak bisa menahan diri untuk tidak penasaran. Apalagi ketika tahu — sejak awal waktu — bahwa percakapan itu cuma bisa kudengar dari satu pihak: Pihak yang mendengus keras, merinaikan liur, berbisik desis berganti desah, hingga berteriak-teriak tanpa rasa periketeleponan. Sebentar-sebentar, aku berdoa agar Graham Bell bisa bangun sejenak untuk sekadar mengetukkan tiga tumpuk kamus besar ke kepala orang itu.

“Halo, Thomas. Aku mau menagih….”

“Tuh, kan. Kau ini!”

“Sudah kubilang. Kau sih. Bandel amat jadi orang. Kertas penting, ‘kan, itu.”

“Lalu sekarang kenapa kautelepon? Takut? Mau minta tolong? Sori! Aku gak bisa bantu kamu ah!”

“Heh, jangan mikir sampai sana.”

“Kubilang jangan. Nanti kamu yang dituduh.”

“Apa?”

Ia menghela napas berat.

“Oke. Mau bilang apa lagi kau?”

Diam lama.

“Oh.”

Diam lama lagi.

“A-a-aku tidak tahu, Thomas. Jangan berbuat kebodohan dulu, itu saja.”

“Sembunyikan apa? Di mana? Yakin tidak ketahuan?”

“Atur saja.”

“Ah, berengsek! Nanti kuambil ke Yellow Pramuka. Suite mana?”

“Ooh… F. Elite ya. Tenang saja, Tom. Tidak bakal kelacak. Oke? Bye.”

Gagang itu dibantingnya. Jelas jemarinya gemetaran, ia tergeragap tolol, gerak-geriknya belingsatan. Tak lama kemudian, ia berlari keluar. Ia bahkan tidak mengambil kembalian, pintu pun tetap terbuka menunggu dorongan angin.

“Kaudengar itu, Red?”

Aku menoleh. Coin masih di situ, dengan mulut agak komat-kamit dan gaya santainya yang biasa.

“Bahkan ketika aku mendengarkan iris lapis legit macam begini pun, aku tidak bisa berekspresi.”

Aku menggeleng lagi.

“Come on, Coin. Untuk apa kita berekspresi? Dapat medali? Medali itu mau kaukalungkan ke mana?”

Celakanya, Coin tak pernah kehabisan akal.

“Aku selalu punya tempat untuk menaruh itu semua. Kamu tenang saja, Red. Kalau mau, kamu tinggal titip pialamu atau apa pun yang kamu mau kek, sama aku.”

“Kita enggak perlu gila hormat, Coin.”

“Haha! Heh? Lantas kita mau ngapain? Orang tadi mau membantu pembunuhan, ‘kan? Mau sembunyikan mayat? Kamu juga dengar ‘kan detailnya?”

“Terus kita bisa apa?” tantangku setengah putus asa dan setengah pesimis.

“Hubungi Thomas?”

“Aduh! Gimana caranya? Kamu tahu nama belakangnya?”

“Thomas di Yellow Pramuka suite F. Gampang. Seharusnya tidak banyak. Orang sini suka menamai anaknya pakai nama-nama artis atau nama ndeso lainnya.”

Sebetulnya, dari racauan Coin yang tak pernah masuk akal sejak awal, aku hanya punya satu pertanyaan akbar.

“Lalu bagaimana caranya kita menghentikan mereka? Mereka tidak bisa dengar kita bicara.”

Coin berpikir keras. Beberapa bagian wajahnya mendekat satu sama lain. Mumpung belum ada orang, ia mengais-ngaiskan per bolak-balik.

Kemudian aku melihat sesosok pria transparan. Sinar halo itu membuatnya tampak berbeda dari manusia biasa. Pastilah ia semacam hantu. Kupikir ia cuma pejalan kaki yang acuh dengan keberadaan kami berdua sebagai kacung kampret humanisme.

Ternyata dugaanku keliru.

Ternyata kedua, aku sangat kenal siapa dia.

Di pertemuan ketigaku dengan buyut jauh Graham Bell, aku diajarinya cara berkomunikasi dengan hantu. Katanya, benda mati bisa menyerap gelombang inframerah yang dikuarkan oleh makhluk-makhluk transenden. Dulu ia berpikir bahwa teori itu cuma isapan jempol orang-orang yang putus asa dan tidak tahu harus membuat hukum alam macam apa. Namun lambat laun buyut Graham Bell sadar kalau ternyata makhluk transenden itu mirip dengan sinar laser — punya panjang gelombang tertentu yang unik, di mana di situlah semua makhluk yang punya akses bisa berkomunikasi dengan mereka.

Awalnya aku begitu dungu. Kutelan saja mentah-mentah apa yang dibilang buyut Graham Bell. Mungkin ini semata-mata karena aku ciut dengan nama besar moyangnya. Sekali lagi, sejarah berulang. Lambat laun aku sadar kalau dia benar.

Jadi, daripada mematung bodoh, kucoba berdeham tiga kali.

Ia menoleh.

“Memangnya kamu masih ingat semua dialognya?” semburku ke arah Coin. Angin tak enak telak mengenai kenop angka satu sampai nol di wajah ratanya.

“Ngapain semua dihafal, Red? Yang penting-penting saja, dong, ah!” balasnya memekik. Pemuda berhalo itu mundur setengah langkah, nyaris menumbukku tepat di engsel.

“Ah, Red! Lo kok tahan sih sempit-sempitan gini? Lalu,” matanya mengedar dari atap hingga lantaiku, “Gaya juga ya lo, pakai baju merah. Lo itu di Jakarta, bukan di Inggris, tahu,” cibirnya.

Giliranku yang mengedikkan daun pintu. Pura-pura tidak mau memasukkan cibirannya ke hati. Coin menyadari situasi mendadak mulai tak enak. Buru-buru ia memotong, “Informasinya, Thomas, penghuni Yellow Pramuka, suite F.”

Si pemuda membelalak. Halo di kepalanya agak memudar. Mataku malah menangkap sinar itu agak membiru. Mungkin aura itu mengikuti suasana hatinya? Ah, mana mungkin hantu bisa memendarkan aura beraneka warna kalau mereka cuma punya kaveling di zona inframerah?

“Hei, kaupaham apartemen itu luar dalam, ‘kan? Katanya waktu itu bekas pacarmu tinggal di situ?” Coin mencecarnya tanpa henti.

Ia mengangguk lemah, sementara kepalaku (yang terletak di bagian atap) masih terus mempertanyakan soal spektrofotometer imbisil ciptaan buyut Graham Bell.

“Eh tapi…. Kaupaham soal Thomas ini tidak?”

“Tidak,” gelengnya.

“Yakin? Kamu harapan kami satu-satunya, lho.”

“Tidak. Gue enggak paham. Lo perlu cari hantu lain, kayaknya,” ia merengut sedih.

“Bram! Mereka bakal beroperasi tidak lama lagi! Waktu kita tidak banyak!” cericit Coin.

Tak lama setelah ia bermenit-menit mengernyitkan dahi tanda berpikir, Bram menjentikkan jari.

“Aku punya ide.”

“Apa itu?” seru kami berdua, antusias.

Bram mendekat ke kami berdua, yang sebetulnya sudah intim sejak mula. Ia membisikkan senarai ide brilian. Aku dibuat mendecak sambil berujar “oh iya ya” seraya menyeruput sedikit aroma cerdas dari tiap tuturannya.

“Bagaimana, Red?”

Aku mengangguk mantap. Kuayunkan daun pintu sebagai afirmasi jawaban ya.

“ADUH! Pelan-pelan, Red!”

Aku pun bertanya dalam hati, bagaimana mungkin sebuah daun pintu bisa bermomentum dengan hantu.

--

--

Triskaidekaman

Author of 3 novels • F1 enthusiast • Slytherin • IG/Twitter: triskaidekaman • triskaidekaman.com