[Epitome buat Thomas — bagian 2] Di Depan Mata

Triskaidekaman
6 min readFeb 11, 2017

--

Kusen jendela dan tepi daunnya kurang intim. Renggang dua milimeter. Maling bisa saja masuk. Namun sebelum itu, anginlah yang melakukannya terlebih dahulu. Antara sepoi dan terjang. Hantaran dingin itu menyisip di antara relung-relung gelap sebuah unit apartemen.

Siulannya tiba-tiba sekali. Mengagetkan kami semua.

“Heh, diam! Thomas belum pulang! Ngapain kamu masak-masak sendiri?”

“Maaf, Mamac. Ini sudah rutinitas….”

Desau angin berdesakan mau masuk lewat renggang tepi kusen. Sekejap dingin melanda. Mulutnya urung dibuka, namun tetap saja semilir itu menyelinap lewat cerat yang seindah dan semulus leher angsa. Ia mereguk dalam diam. Diam-diam menyesali nasib si air panas yang kurang baik.

“Thomas tidak menutup kaca dengan rapat?” derai suara lain, diikuti picing sekian pasang mata.

“Tadi pagi sih dia memang buru-buru. Tapi aku tidak menyaksikan caranya menutup jendela. Mungkin memang tidak rapat, kali,” kelintingannya kian ribut bergaung, berusaha mengiris telinga pencuri yang mencoba mengintip peluang.

“Bisa tidak, kaubicara tanpa berdenting-denting begitu?”

“Mamac, sudahlah. Thomas memang ceroboh….”

“Tidak bisa begitu. Aku ada di sini untuk menjamin keamanan unit ini. Juga keamanan Thomas. Percuma saja developer bilang bahwa apartemen Yellow Pramuka Elite Suite ini menganut sistem smart home. Percuma saja pakai topeng futuristik kalau otak dan cara kerja masih bangkotan!” ujar Mamac berapi-api.

Sesosok empuk yang bersandaran di kursi malas menyeloroh tanpa adat, “Heh, kita itu kalau mau maju ya pakai pelan-pelan, tho. Kalau kamu maunya langsung smart gitu aja, apakah developer kita siap? Menurutku si developer yang perutnya mbulet itu juga lagi mikir. Mau diapain ini apartemen. Kapan hari ada pembunuhan. Mosok kita mau dibiarkan terus-terusan jadi saksi mati yang tak bisa diinterogasi?”

Mamac tak terima, “Hei! Kita bicara dalam frekuensi yang beda dengan manusia, tahu!?”

Kami semua diam.

“Oke. Aku mau tidur sebentar. Ngantuk. Kalian yang ngantuk juga tidur deh, sana. Daripada berisik.”

Ancamannya selalu tepat waktu, tepat kata. Sekejap kemudian, pendar wajahnya digantikan logo apel geroak yang disusul palet foto cemerlang bergantian. Mau tak mau, kami bubar jalan. Kembali mematung di posisi masing-masing, menutup mulut, dan memasang kuda-kuda di telinga dan mata kami yang tak kasatmata.

Mamac, ratu di antara kami semua, berwujud sebuah iMac. Thomas membelinya tepat di hari dia pindah ke sini. Kami mengangkatnya jadi ratu dengan sekian belas ribu pertimbangan. Salah satunya adalah karena dia punya prosesor pintar yang paling mumpuni di antara kami, karena harganya yang paling dekat dengan angkasa, dan karena dia kerap menepuk dada bahwa dialah satu-satunya perangkat Thomas yang bisa melindunginya dari maut — dengan catatan, apabila malaikat maut memang mau datang ke apartemen ini untuk menghunuskan pedang dan mengakhiri nyawa Thomas.

Tika, semacam putri kesayangan bagi Mamac, adalah nama yang kami sematkan kepada sebuah teko berbadan montok dan bercerat seksi. Thomas sering memakainya untuk menjerang air demi seruput teh earl grey, bagian dari ritual paginya yang takaluf. Terkadang aku meledeknya sebagai gajah betina, namun Tika tak pernah bisa membalasnya seelegan lagu Tulus. Kami masih saja kerap menjahilinya dengan nakal, karena tahu ia tak bisa marah.

Fonda, sebuah pesawat telepon kuno yang sudah jadi koleksi langka di zaman ini, turut hadir di tengah hampar gawai modern milik Thomas. Kami gemar bergosip seputar asal-usul Fonda dan mengapa Thomas masih memilih mempertahankan eksistensinya, ketimbang menggantinya dengan penyeranta tempel atau mesin faks saja. Dugaan sementara kami adalah karena Fonda punya segudang informasi up-to-date dengan percakapan di dunia seluler. Kurasa, dialah yang nanti akan menggantikan Mamac kalau-kalau terjadi sesuatu pada komputer mewah itu.

Selebihnya, kami begitu ramai. Sekali waktu sepi semacam pemakaman, lain waktu ramai seperti gerombolan anak sekolah yang menggila. Silvan si bantal sofa, Lampard si lampu gantung hias, Messina si meja tulis, Kitty si lemari dapur, Maudy dan Denia si kembar nampan masak dan kompor, Geri si kulkas … banyak lagi. Terakhir adalah aku, sang televisi layar datar yang membentang diagonal hingga empat puluh dua inci dan berdiri tepat di hadapan Mamac.

Kami sudah hidup bersama selama dua tahun. Bahu-membahu menjaga dan memanusiakan Thomas, sembari di belakang sibuk bicara bisik-bisik dalam bahasa yang lebih rumit daripada bahasa Klingon dan frekuensi yang tak pernah terjangkau telinga terdigdaya manusia. Kami benda mati yang tak pernah berpura-pura hidup di depan Thomas. Saling tatap bodoh, lirik-lirikan, melempar sarkasme, dan bermain mata. Kami pun paham sandi morse, kalau itu semua masih kurang bagimu.

Yang membedakan kami semua hanya satu: Irama sirkadian.

Saat Silvan tidur, Kitty bangun. Kalau Kitty sudah menguap-uap pertanda mengantuk, ada Maudy dan Denia yang siap mengepulkan asap. Lampard, yang selalu mematung tolol dengan helicopter view kebanggaannya, adalah makhluk yang kami curigai sudah digigit lalat tsetse sewaktu dalam tahap produksi.

Namun satu yang terpenting: Kami semua sedang bangun ketika Thomas baru pulang.

Singkat kata, aku sudah hafal irama sirkadian kami masing-masing. Menyaksikan irama itu berulang, setidaknya membuatku merasa seperti mengoleskan balsem di atas otot yang terketul terlalu lama. Berarti, semua akan baik-baik saja.

Sampai suatu hari, ketika Thomas tiba-tiba tergeletak di ruang tengah. Terdiam untuk selama-lamanya.

Persoalannya jelas: Thomas tewas.

Teka-teki ini harus segera dipecahkan.

Mamac melihat Thomas masih beraktivitas seperti biasa pada pukul 23.00. Lalu, layar kilap licinnya meredup dengan mata berkunang-kunang. Ia memasuki fase hibernate. Lampard ikut memadamkan diri karena diprogram otomatis untuk padam di jam 23.15. Aku bosan menatap gelap, jadi aku ikut beranjak tidur di jam 23.20. Kemudian beberapa perkakas lain bergemerasak atau berguncang, lalu padam dan terdiam. Semua senyap dan kelam di jam 23.30.

Entah jam berapa, aku terjaga oleh karena ada yang menggebrak pintu kamar mandi dengan kaki. Orang itu masuk, membanting pintu. Ada suara gemericik air, disusul derit keran yang digeser membuka. Kucurannya deras, entah berapa debit air yang bakal habis karenanya. Posisi kamar mandi Thomas memang berhadapan dengan balkon, sehingga aku tak bisa melihat siapa yang keluar masuk sana.

Pasti itu Thomas. Dia mau buang air kecil, seperti biasa.

Ya sudah. Aku terlelap kembali. Tidak mendengarkan dengan seksama.

Ketika aku bangun kembali di jam 04.00, Thomas sudah tergeletak di permadani. Di antara aku yang kebingungan dan Mamac yang masih terlelap dengan mulut terbuka.

Sebentar kemudian Geri menyahut, “Ada apa?”

Denia menyambung dengan kalimat yang persis sama.

Aku membangunkan Mamac dengan taktik proyeksi pantulan sinar. Saking seringnya ditugasi begini, aku sudah demikian ahli. Mamac terbangun dan pendar apel geroak kembali mengudara. Ia menguap lebar dan keras. Menatapnya begitu, aku kasihan. Selama ini memang Mamac kurang tidur karena harus mengawasi kami semua. Tetangga kami di tower B lantai 6 baru saja kedatangan para pembunuh — untung dia lolos, dan masih hidup — dan kami disuruh untuk selalu waspada. Karena sering menyaksikan tingkah polah maling di dalam layar sendiri, aku tahu persis bahwa jika maling datang, Mamac bisa hilang digondol duluan.

“Ada apa, ada apa?” tanyanya membahana seperti biasa.

“Entahlah. Thomas,” jawabku lirih.

Fonda masih tertidur ayam. Satu sisi gagangnya dibiarkan tidak melekat dari tempatnya, per melilit bergelung-gelung tak beraturan yang membuat para perfeksionis bergidik. Sesekali ia menguap. Kedua kalinya, barulah ia terjaga.

“Thomas mati?”

Mamac mencoba menganalisis nasib tuan kami dengan aplikasi canggih yang ada di benaknya. Menyoroti pupil di tengah iris birunya dengan sorot mirip lampu senter yang menyilaukan. Mengecek nadi dengan aplikasi Health. Menilai hela dan tarik napas dengan pandang selewat saja.

“Iya, sepertinya memang dia sudah mati. Rest in Peace, My Master,” geroak apel di layarnya berkomat-kamit mengucap pesan penyerta hantaran terakhir.

“Kenapa dia bisa mati? Dibunuh?” seloroh Geri gemetaran.

Kami semua mendelik ke arah kulkas bongsor itu. Dalam diam kami ingin berseru “Heh”, namun kami urungkan karena sudah tahu hasilnya aklamasi.

Fonda tampak berpikir keras. Gelungan pernya mengetat dalam pilinan. Kami menanti cemas.

Aku yang buka suara duluan, menolak sungkan berlebih.

“Emangnya tadi ada telepon buat Thomas?”

Fonda mengangguk. Mamac terpana, mulutnya membulat, dan pendarnya mengerjap pelan. Ada derak dari tempat Lampard bergelantungan. Denia membangunkan Maudy, sementara Geri mulai menangis sesenggukan karena takut.

“Errr… sebenarnya ada sih. Cuma….”

“Apa?”

Kami semua menegang. Polisi bisa datang kapan saja. Wartawan pasti akan membuntuti mereka tak lama kemudian. Kami harus bergerak cepat.

Hei, bergerak? Bagaimana caranya?

“Cuma apa, Fonda?” sambar Lampard.

“Tadi Thomas yang menelepon duluan.”

Hening yang benar-benar tidak enak.

“Ke mana?”

Kali ini, lebih tidak enak lagi. Memuakkan.

“Telepon umum.”

--

--

Triskaidekaman

Author of 3 novels • F1 enthusiast • Slytherin • IG/Twitter: triskaidekaman • triskaidekaman.com