[Epitome buat Thomas — bagian 4] Di Antara Perantara

Triskaidekaman
6 min readFeb 12, 2017

--

Fonda menyadari diam yang terasa sakit tapi tumpul ini. Kami-kami yang terlalu awam di dunia periketeleponan hanya paham satu prinsip: Telepon umum cuma bisa dipakai untuk menelepon ke suatu nomor telepon lain. Ini tidak berlaku sebaliknya: Kita tak bisa menelepon ke sebuah telepon umum.

Jelas Fonda tidak salah bicara.

Mamac sudah pernah berkoar setidaknya seratus dua belas kali sejak kami semua berkumpul, bahwa Thomas bekerja sebagai kepala teknisi telekomunikasi, di bidang jaringan telepon kabel dan telepon umum. Ia adalah karyawan yang baik dengan catatan masa kerja tujuh tahun tanpa cela. Pernah sekali mendapatkan penghargaan sebagai karyawan teladan nomor tiga. Kami sepakat bahwa sepertinya kantor Thomas tahu benar kegemarannya meretas sistem. Sebentar-sebentar sistem jebol, turun mesin. Disentuh beberapa tangan, tidak berhasil-berhasil. Begitu disentuh Thomas, tiba-tiba sistem normal lagi. Mereka mengendus bahwa subsistem perteleponumuman yang sudah bangkotan ternyata terlangsir diam-diam dengan subsistem perteleponinternetan yang sedang menjamur di ibukota. Tuduhan sulit dibuktikan karena kurangnya saksi mata. Pimpinan terpaksa mengambil langkah praktis demi menyelamatkan muka dari hadangan komite antikorupsi. Kalau tadinya Thomas disebut-sebut calon karyawan teladan nomor satu, setelah aroma sampah busuk ini menguar, tiba-tiba desas-desus itu hilang sendiri. Deretan prestasi Thomas habis digilas paper shredder.

Kami tengah mendengarkan dengan tekun, ketika salah satu bohlam di tubuh Lampard mati. Kaget itu tak mengurangi antusiasme kami, juga Lampard, yang tetap cuek dan terus tegar menyala sambil memasang telinga.

Kisah Mamac berlanjut dengan pengungkapan data baru yang baru ia dapat di folder Archive. Kami menyimak pendar terang layar Mamac dengan bodoh namun amat sangat lapar.

Rupanya di bawah meja, Thomas jadi makin sering menerima order pemasangan dan pencabutan koneksi antara telepon tanah dan telepon umum dari beberapa orang yang sanggup membayar lebih. Ia sendiri tak mau ketinggalan. Berkat kegigihannya dalam bermain curang, Thomas punya sebuah telepon rumah yang terhubung dengan telepon umum paling aneh seibukota, yaitu sebuah telepon umum dalam kotak berwarna merah yang terletak di perempatan Gramak-Grumuk. Perempatan ini tidak terlalu ramai, sehingga orang suruhan Thomas bisa bebas bereksperimen dengan ratusan untai kabel. Sayangnya, kabel itu terlalu tua dan pemerintah malas menggantinya dengan kabel serat optik. Anggaran yang ditetapkan parlemen daerah malah masuk kantong sendiri dan dibelikan nasi padang, sementara kabel yang mengonggok tetap dibiarkan terendam lumpur dan becek hingga bertahun-tahun lagi. Sambungan sering krasak-kresek. Thomas terpaksa mengubah telepon apartemennya menjadi sebuah pesawat butut.

Demikianlah asal muasal Fonda.

Kami terperangah, melongo hingga bermenit-menit. Baru tersadarkan oleh Tika, yang masih terprogram untuk menjerit.

“Eh? Jadi?”

“Transkrip dialog. Cepat. Itu yang kita butuhkan,” sahut Mamac dingin.

“Cara mencetaknya bagaimana? Telepon operator ya?” selorohku sok tahu.

“Bukan. Kita sama-sama benda mati. Tidak bisa menyalin transkrip pakai bahasa manusia. Kita butuh bantuan makhluk yang bisa bergerak ke sana kemari,” jawab Fonda. Ia tertunduk lesu. Geri ingin mengusap punggungnya, tapi tak sampai. Api Maudy dan Denia pun meredup.

Aku berpikir keras, melirik ke Lampard. Seharusnya Lampard tahu solusinya.

“Heh? Apa lihat-lihat?”

Rupanya ia sadar sedang kutatap.

Lampard malah membalas, memecah keheningan dengan ide ajaibnya yang menggelikan.

“Errrr, Telly…. Minta tolong dong. Biasa, soal hantu.”

Beberapa dari kami kasak-kusuk. Aku baru ingat bahwa hantu mungkin saja bisa menolong kami untuk menyalin transkrip keluar dari tubuh Fonda. Kenapa tidak terpikirkan dari tadi?

Mamac melengking, “Heh! Kalian ini, sudah jadi perkakas di apartemen sekelas ini masih aja percaya hantu? Yang benar saja! Heh, asal kalian tahu, ya. Percuma saja kalian mengangkatku jadi ratu kalau urusan beginian saja aku tak bisa.”

Untung saja Thomas pernah memasangkan sebuah perangkat mirip robot yang bisa bergerak segala arah pada Mamac. Di dalam sekumpulan aplikasi yang terpasang padanya, Mamac juga sudah punya beberapa baris perintah untuk menggerakkan si robot.

Persoalannya sekarang cuma satu: Siapa yang bisa mengaktifkan perintah itu?

Membaca raut wajah kami semua yang begitu kecut, Lampard melemparkan usul pamungkasnya lagi, “Panggil hantu.” Langsung kami sambut dengan delik dan pelototan.

Tika memekik lagi. Ini bukan jam lazimnya. Jeritan sebelumnya baru berlalu beberapa menit.

“Itu, itu…. Itu ha-ha-ha….”

Aku melihatnya langsung. Sudah tahu apa itu, tanpa perlu mendengar geragapan Tika.

Dari celah dua milimeter antara daun jendela dan kusen, ada halimun tipis melintas. Mula-mula amorfik, kurang kasatmata. Dalam beberapa detik asap itu memadat, mengempal sedikit. Relief wajahnya makin jelas. Kadar tembus pandang masih bersisa sedikit ketika ia terbentuk sempurna. Ia mengerjap beberapa kali, mengusap mata dan wajah, seraya mengetuk-ngetukkan sepatunya yang imajiner ke lantai. Ajaibnya, lantai berbalas suara, seolah benar ia nyata.

“Ternyata itu benar hantu,” bisik Lampard. Ia menyeringai puas, masih dengan bohlam mati satu, “Sudah kubilang, ‘kan, kita memang perlu hantu.”

Hantu pemuda berkoar, menyebutkan namanya yang panjang; tapi tak bisa kuingat. Melihat kami semua mengernyit, ia menawarkan panggilan singkat, “Bram”, untuk mempermudah. Kami mengangguk dan kerutan melicin.

“Singkatnya, begini, fellas. Aku disuruh Coin untuk menghubungi Fonda. Ada yang perlu disampaikannya. Sayang, dia tidak bisa jalan. Apa boleh buat, aku yang terbang kemari.”

“Coin?” tanya Mamac dengan wajah penasaran. Geroak di apelnya komat-kamit lagi.

“Iya, Coin. Telepon umum yang berselubung kotak merah. Tahu, ‘kan?”

Tanpa dikomando, kami semua menoleh ke Fonda. Yang dipandangi ramai pasang mata bayangan cuma terkesiap, lalu meratap ke arahku, setengah tersedu.

“Telly, tolong. Tolong! Aku tidak mau….”

Bram memotong, “Aku cuma mau menyambung transkrip, Fonda. Separuh transkrip dari sisi Coin sudah kudapatkan. Sekarang giliranmu. Tolonglah.”

Kami lapar mata, seolah terpukau oleh wajah-wajah terpindai jarak dekat ala sinetron. Selintas di otak, inilah hantu yang seharusnya bisa membantu Fonda mengeluarkan isi perutnya. Fonda masih tak mau, seraya Bram yang terus berupaya kian seduktif. Kemudian Fonda bergeming. Pegas gagangnya mengetat, pertanda ia takut, jengkel, marah, atau kombinasi ketiganya. Maudy dan Denia sepakat mengecilkan api, usai bermain mata dengan Lampard.

Sesuai dugaan, Mamac-lah yang duluan bosan dengan tarik ulur membosankan bak opera sabun ini.

“Ya sudah. Hipotesisku sih, Thomas mati karena serangan jantung. Bukan karena bunuh diri, atau karena ditombak hantu,” ujarnya sambil menguap. Begitu lebar. Imaji buah apelnya nyaris habis oleh mulut yang menganga. Pendar layar meredup, seiring berjajarnya kembali sejumput foto cemerlang yang berseliweran seperti makanan di restoran sushi.

Bram mendekat. Dari balik rompinya muncul berbagai perkakas, yang semuanya tembus pandang seperti dirinya. Mamac menawarkan diri untuk menggerakkan robot, menyambungkan otak briliannya dengan mesin tua Fonda.

“Fonda, sudah, turuti saja hantu ini. Siapa tahu dialah pembawa jawaban atas teka-teki kematian Thomas. Yah, mudah-mudahan benar dia cuma mati gegara serangan jantung.”

Fonda mengedar pandang. Kami semua memberi kode yang sama. Ia terpaksa mengangguk, mengizinkan Bram untuk menelanjangi rahasianya.

Operasi dimulai.

Suara obeng. Denting sekrup. Derit pita. Kelontang besi dirunut besi. Semua terasa nyata. Terdengar asli.

Sebagian dari kami menutup mata. Sebagian lainnya menengadah ke Lampard, berlindung di balik sinarnya. Sebagian merenung, berkontemplasi. Seperti aku yang berpandangan dengan Lampard, berkaca-kaca.

Kami sadar status kami yang cuma jadi budak manusia. Kami harus selalu menolong mereka menyelesaikan berbagai urusan, namun manusia sering lupa cara merawat kami yang berumur begitu pendek. Di sisi lain, kami sadar nasib kami akan segera tandas. Segera setelah jawaban soal Thomas ini datang, bisa saja kami akan tercerai berai. Tika bisa jatuh ke tangan yang tak sama dengan Denia atau Geri. Fonda bisa dikembalikan ke lembaga telekomunikasi tempat Thomas bekerja dulu, bersama-sama dengan ratusan telepon tua lainnya. Lampard bisa berpindah ke ballroom, atau aku yang bisa berpulang ke toko elektronik benderang yang menjemukan. Atau Mamac yang bahkan bisa pulang ke Amerika. Tak akan ada yang tahu.

“Oke, dapat. Mari kita dengar,” seru Bram penuh kemenangan.

Jawaban teka-teki mungkin datang terlalu cepat. Kami mungkin terlalu tak sabar, atau Bram datang terlalu cepat. Bisa jadi pula Thomas yang terlalu misterius. Kami tidak tahu.

Kami hanya ingin jawaban.

--

--

Triskaidekaman

Author of 3 novels • F1 enthusiast • Slytherin • IG/Twitter: triskaidekaman • triskaidekaman.com