Sisi Gelap Penerapan Merdeka Mengajar

Tulipsyy
5 min readJun 14, 2023

--

Gambar platform Merdeka Mengajar, source: https://merdekabelajar.dairikab.go.id/wp-content/uploads/2022/11/pmm-removebg-preview.png
Gambar platform Merdeka Mengajar, image source: https://merdekabelajar.dairikab.go.id

Dilansir dari Kompasiana , Nadiem Anwar Makarim sebagai Mendikbudristek menyebutkan bahwa kehadiran aplikasi Merdeka Mengajar adalah untuk mendukung guru dalam menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar di berbagai daerah di Indonesia.

Tujuan hadirnya aplikasi ini sangat mulia, ya. Namun, apakah penerapannya bisa dengan mulus di lapangan?

Jawabannya tentu tidak, sebagai anak dari seorang guru, saya dicurhati oleh Ibu saya atas keluhan yang dialami oleh guru-guru di sekolahnya. Namun saya yakin, di sekolah lain, hal demikian juga dikeluhkan.

Tentang Aplikasi Merdeka Mengajar

Pada bulan Febuari 2022 lalu, Mendikburistek telah meluncurkan Kurikulum Merdeka Belajar sebagai upaya untuk memulihkan pendidikan Indonesia yang sempat semrawut akibat wabah COVID-19.

Adapun aplikasi Merdeka Mengajar yang dikhususkan untuk guru guna memudahkannya dalam menerapkan kurikulum baru kepada peserta didik. Aplikasi tersebut dapat diunduh di playstore ataupun appstore dan Ibu saya turut mengunduh aplikasi tersebut.

Sisi Negatif Penerapan Aplikasi Merdeka Mengajar

Saya tidak akan membahas sisi positif dari penerapan aplikasi Merdeka Mengajar, melainkan akan membocorkan sedikit ‘sisi gelap’ yang saya peroleh dari pengalaman Ibu saya dan rekan-rekan kerjanya.

Biasanya di setiap sekolah, persebaran usia guru bisa merata, mulai dari guru di usia pekerja awal, guru di usia paruh baya, hingga guru di usia pensiun. Semuanya memiliki rentang usia yang berbeda.

Menurut Sepakat Wiki, pembagian kelompok usia dimulai dari kelompok muda (15–24 tahun), pekerja awal (24–34 tahun), kelompok usia paruh baya (35–44 tahun), kelompok usia pra-pensiun (45–54 tahun), dan kelompok usia pensiun (55 -64 tahun). Sementara itu, berdasarkan UU No 14 Tahun 2005, guru pensiun di usia 60 tahun.

Guru di usia paruh baya ke atas sedang sibuk-sibuknya dengan dunia nyata, alhasil, tidak sempat mengikuti perkembangan teknologi. Meskipun begitu, adapula guru di usia segitu yang update dan tidak gaptek (gagap teknologi).

Tahun 2023 ini, ternyata masih ada guru yang gaptek sehingga penggunaan aplikasi Merdeka Mengajar membuat mereka merasa tidak nyaman. Tidak sekadar menggunakan, aplikasi tersebut mengharuskan mereka membuat dan mengunggah tugas presentasi (PPT).

Jangankan mengerjakan PPT, sekadar untuk menyalakan laptop saja masih ada yang tidak tahu. Tentunya, guru yang gaptek perlu untuk didampingi dan diberi bimbingan, bukan?

Namun kenyataannya, masih ada seorang pimpinan sekolah yang menuntut guru untuk terus mengerjakan tugas, tetapi tidak memberikan bimbingan.

Lantas, apakah mereka akan nyaman menjadi seorang guru?

Saya yakin banyak yang tertekan, bahkan ada yang berniat keluar sekolah dan tidak lagi menjadi guru hanya karena dipaksa mengerjakan tugas tersebut. Hal ini saya dengar dari Ibu saya bahwa ada temannya yang pernah berniat demikian, tetapi tidak jadi keluar sekolah karena rekannya men-joki tugasnya.

Tidak hanya perihal tugas dari aplikasi Merdeka Mengajar, masalah gaji pun turut menjadi alasan yang mendasari niat guru ingin berhenti bekerja. Hal ini dikarenakan beban tugas yang tidak sebanding dengan gaji yang diberikan.

Keluhan terkait gaji juga pernah dilayangkan oleh salah seorang pimpinan kepada pimpinan sekolah dari jenjang pendidikan yang berbeda sehingga adu mulut pun terjadi.

Salah satunya perfeksionis ingin semua guru menjalani tugas Merdeka Mengajar dengan tepat waktu, sedangkan satunya lagi realistis sebab gajinya tidak sesuai dengan beban kerja, tetapi masih harus mengerjakan tugas Merdeka Mengajar yang menguras waktu.

Setelah kejadian tersebut, khusus guru yang realistis ini saja yang dibebaskan dari tugas Merdeka Mengajar oleh guru perfeksionis. Mungkin tujuannya untuk menghindari konflik serupa terjadi kembali. Padahal, banyak guru yang related, tetapi memilih untuk bungkam.

Mengingat sebagian besar guru di sekolah tersebut menjalani peran ganda sebagai guru sekaligus Ibu, tentu saja alasan guru yang realistis tersebut sangat wajar karena menjalani kedua peran sekaligus sangatlah repot.

Tidak sedikit guru yang tidak sempat mengerjakan tugas Merdeka Mengajar dengan alasan tugas guru sudah seabrek, seperti buat soal, koreksi, input nilai, dan mengajar setiap hari.

Selepas pulang sekolah, masih ada guru yang mesti mencari uang tambahan sebagai guru privat anak-anak. Adapula yang menjalani kewajiban sertifikasi guru sehingga harus belajar mandiri supaya berhasil mendapatkan sertifikasi.

Setelah selesai, perannya berganti menjadi seorang Ibu yang harus mengurus urusan rumah tangga, belum lagi kalau suami sulit diandalkan dalam urusan domestik. Pusing, lah.

Alternatif Solusi

Saya mengerti Pak Menteri ingin pendidikan Indonesia menjadi lebih baik lagi dan tujuan adanya aplikasi Merdeka Mengajar juga sangat baik. Hanya saja menurut saya, penerapannya tidak bisa diaplikasikan ke semua guru dalam satu sekolah. Mungkin, penerapannya lebih baik dibatasi oleh usia.

Saya mengerti, bagi pemimpin sekolah ada reputasi yang harus dikejar yakni berupa rapor mutu. Maka dari itu, seorang pemimpin seharusnya lebih bijak dalam mengatasi tuntutan penggunaan aplikasi Merdeka Mengajar sekaligus ambisi memperoleh nilai rapor mutu A dengan cara memberikan bimbingan mengenai cara penggunaan dan cara penyelesaian tugas yang ada di aplikasi Merdeka Mengajar. Sebaiknya tidak hanya sekadar menuntut, tetapi juga menuntun.

Alternatif lainnya, pemimpin sekolah tidak mengharuskan seluruh guru menggunakan aplikasi ini. Mungkin, bisa menghitung berapa jumlah minimal guru yang mesti menyelesaikan tugas di aplikasi Merdeka Mengajar supaya reputasi sekolah yang dikejar itu bisa tercapai. “Toh, sekolah lain saja tidak seperti sekolah ini”, ujar Ibu saya.

Ternyata di sekolah lain, hanya beberapa guru yang diharuskan aktif menggunakan dan mengunggah tugas di aplikasi Merdeka Mengajar, berbeda dengan sekolah ini yang mengharuskan semua guru terlibat secara aktif. Alasan pribadi pun, tidak akan membuat guru absen dari tugas tersebut.

Bagus? Iya, tetapi balik lagi.

Apakah sekolah memberikan perintah dengan cara yang dapat diterima oleh guru-guru?

Apakah seorang pemimpin mampu menuntun bawahannya untuk aktif, bukan hanya sekadar menuntut? Terlebih untuk guru-guru yang gaptek alias gagap teknologi.

Menurut saya, perfeksionis sangatlah bagus, akan tetapi lebih bagus lagi apabila penerapannya hanya untuk diri sendiri. Kalau diterapkan kepada orang lain, justru membuat pusing. Iya, saya menyarankan pemimpin sekolah agar lebih realistis lagi.

Lalu, salah dari aplikasi Merdeka Mengajar dimana, sih? Apakah kurikulumnya?

Kalau menurut saya, kurikulum baru dan aplikasi Merdeka Mengajar yang sudah jalan selama 2 tahun ini mesti diadakan evaluasi dari berbagai tingkatan, mulai dari guru, pimpinan sekolah, hingga pemerintah.

Kesimpulan dan Saran

Secara garis besar, menurut pendapat pribadi, penerapan aplikasi Merdeka Mengajar ini tidak bisa dilakukan ke semua guru dan semua usia.

Alangkah baiknya, penerapannya hanya untuk guru dengan batasan umur. Kalaupun tidak, satu sekolah bisa mengutus beberapa guru yang wajib mengerjakan tugas-tugas dari aplikasi Merdeka Mengajar. Kalaupun tidak lagi, pemimpin sekolah harus memberi bimbingan kepada bawahannya agar guru menjadi lebih teredukasi.

Saran untuk guru, ada baiknya agar lebih antusias meningkatkan keterampilan di bidang teknologi. Apalagi, salah satu motivasinya ingin mencerdaskan anak bangsa.

Kepada pemimpin sekolah, diharapkan agar lebih dekat, merangkul, menuntun, serta membimbing bawahannya supaya tidak tercipta jarak pemisah antara atasan dengan bawahan sehingga guru menjadi lebih nyaman ketika diberi perintah. Selanjutnya, seorang pemimpin mesti memiliki empati terhadap kesibukan dan masalah pribadi dari bawahannya.

Teruntuk pemerintah, alangkah baiknya untuk melihat kondisi lapangan saat ini. Apakah masih efektif menggunakan aplikasi Merdeka Mengajar saat ini?

Padahal, guru sudah terbiasa menjalani proses kegiatan belajar mengajar menggunakan kurikulum Merdeka Belajar. Lahipula, status pandemi di Indonesia juga sudah tidak ada lagi.

Namun setidaknya, bisa kali, memberikan gaji guru dengan lebih layak?

Rujukan :

1. https://www.kompasiana.com/asepiskan/64225e5008a8b56d24318192/manfaat-kurikulum-merdeka-dan-platform-merdeka-mengajar-bagi-guru-sekolah-kebun-di-pelosok-kalimantan

2. https://sepakat.bappenas.go.id/wiki/Kelompok_Usia#:~:text=15%2D24%20tahun%3A%20Kelompok%20usia,tahun%3A%20Kelompok%20usia%20pra%2Dpensiun

--

--