Boston Strangler

ucendoit
3 min readJul 24, 2023

--

Ilustrasi: Juksun

Terinspirasi dari kisah nyata, film besutan sutradara Matt Ruskin ini bercerita tentang kasus pembunuhan 13 perempuan di Boston pada tahun 1960-an dengan cara yang ganjil: (1) pada mulanya, si pembunuh hanya menyerang perempuan-perempuan lansia kesepian yang tinggal sendiri di apartemen, tetapi setelah rentetan kasus ke sekian, ia (atau, mungkin, mereka) mulai menyasar para gadis—hal ini sekaligus meruntuhkan dugaan pola pembuhan beruntun sebelum-sebelumnya; (2) seluruh korban dibunuh dengan cara dicekik, kemudian lehernya dibebat stoking dengan simpul ganda berbentuk pita—seakan-akan mereka seperti seonggok kado mengerikan; (3) mereka dilecehkan, diperkosa, dan seterusnya, hingga akhirnya dibunuh; (4) selain pita stoking di leher, fotograf yang ditampilkan dari sekian berkas kasus, menampakkan kondisi korban secara presisi: setengah telanjang, dengan kedua paha terbuka; (5) si pembunuh tak memedulikan siang atau malam ketika melancarkan aksinya, dan ia (mereka) kerap berpura-pura menjadi tukang reparasi dan semacamnya, atau bahkan seorang fotografer model, dan selalu meninggalkan pintu dalam keadaan terkunci tanpa bukti.

Record American, sebagai satu-satunya koran yang berani memasang kasus ini di halaman depan, kemudian menugaskan dua reporter perempuan, yaitu Loretta McLaughlin (diperankan Keira Knightley) dan Jean Cole (Carrie Coon), untuk melanjutkan liputan investigasi terhadap kasus ini. Mulai dari memeriksa tumpukan berkas berisi ribuan nomor telepon hingga sembunyi-sembunyi mengakses berkas penyelidikan di kepolisian, semua mereka lakukan.

Beberapa kali penonton disodorkan situasi menegangkan, misalnya, saat Loretta harus menemui seorang psikopat, mantan kekasih salah satu korban yang dicurigai sebagai pelaku. Pada bagian tengah film, atau mungkin menjelang akhir, Loretta mulai mengalami teror dari penelepon misterius hingga sosok bayangan di luar rumahnya.

Tak ada gading yang tak retak; di balik moncernya karier Loretta, pernikahannya terancam bubar. Ia adalah tipe wanita karier ambisius yang, sayangnya, tak memiliki kecakapan komunikasi yang baik dengan pasangan, begitu pula sebaliknya, saya pikir. Ia selalu siap sedia ketika kantor meneleponnya di jam-jam senggang, dan bahkan, saat ia ada urusan keluarga yang, boleh dibilang, penting. Dari sanalah, ketika Loretta terlalu memegang erat idealismenya, bahwa seluruh jiwa dan pikirannya tercurah untuk jurnalisme, atau mungkin para korban perempuan, suaminya perlahan mengambil jarak—yang sebetulnya sebagai respons atas sikap tak acuh Loretta.

Sedikit mundur ke awal cerita, ketika Loretta mengambil kasus ini, mulanya, ia sempat mengalami ujaran seksisme dari koleganya dan (atau mungkin) seorang polisi, kawan baik pimpinan Record American. Jean Cole juga mengalami hal yang sama. Pendeknya, kasus-kasus berat semacam ini mestinya diurus lelaki; para wanita tinggal duduk manis di belakang meja, menulis berita-berita ringan tentang gaya hidup dan mode.

Pada kenyataannya, mereka berdualah yang menguliti kasus ini. Apakah tuntas? Saya kira, Anda bisa menemukan jawabannya di bagian epilog film, dan saya tidak akan membukanya di sini. Namun, yang jelas, kita akan tahu bersama bahwa kasus ini seperti penyakit menular yang menjangkiti kota-kota besar di Amerika Serikat, tak hanya Boston, tetapi juga New York. Para pembunuh ini seakan-akan sedang mengencingi institusi kepolisian dengan membuat rentetan pembunuhan serupa. Mereka ingin mengaburkan fakta bahwa, boleh jadi, pelaku di tiap-tiap kasus adalah orang yang berbeda. Dan, satu lagi, demi meredam desakan para jurnalis untuk segera menuntaskan kasus ini, maupun demi menyingkirkan ketakutan warga sipil, polisi mengatur sebuah siasat: menciptakan seorang tersangka! Ya, Albert DeSalvo. Dialah yang digadang-gadang membunuh 13 perempuan tak berdosa itu, terutama setelah ia mengakuinya, meskipun banyak juga orang yang meragukannya. Apakah ia didesak polisi dan diiming-imingi imbalan besar untuk keluarganya? Baiknya, Anda segera menuntaskan rasa penasaran itu dengan menonton "Boston Strangler" di layanan lansiran Disney+ sekarang juga!

— husain (2023)

--

--