MALU DI PEKAN LALU

Hanif Mujahidin
2 min readJan 9, 2022

Sepekan lalu, rasa malu itu hinggap. Menegurku dengan tatapan yang tenang, namun tegas. Menatap untuk kemudian menetap dalam ketetapan waktu yang sekian panjang. Kemudian hilang.

Bersama dengan deru angin yang lembut, pesan itu hadir. Berisikan ia pesan yang biasa, namun tetap mendalam. Katanya dengan tanya, “angin dari timur kan segera tiba, hujan mana yang kini kau hindari?”

Keajaiban alam begitu memukau, ia seperti angan seseorang; apapun kan terjadi. Di luar nalar sekalipun. Seperti Hujan di Bulan Juni yang berada dalam dunia penyairnya. Dengan terpaksa atau suka rela, pihak lain selalu hadir di sana.

Tanpa rasa malu, juga dengan segala kuasa, semua hendak dibuatnya. Abadi. Dalam asa yang teguh, seseorang akan tetap terbang dengan sayap-sayap nalurinya. Menguasai langit. Langit yang biru. Di atas sana, sang surya bersemayam begitu angkuh.

Awan-awan yang mendung, yang menitipkan ribuan tetes air kepada tanah. Seseorang menggapnya langit sedang bersedih. Nyatanya langit tetap cerah bahagia bersama sang surya. Dibalik awan-awan yang berkumpul itu tentunya. Sementara seseorang turut ikut dirundung kesedihan. Miris.

Itu lah peristiwa. Yang terlihat. Secara kasat mata, seakan yang terjadi begitu adanya. Tanpa daya, tanpa kekuatan. Padahal, sejatinya mendung kelam yang terjadi saban itu membawa kabar yang membahagiakan. Lihatlah, sang surya yang angkuh itu! Rasakanlah, hidupnya tanah itu setelah keringnya yang berkepanjangan.

Ya! Rasa malu itu datang. Tanpa perlu berucap, sukma yang kelam dan lugu ini tersadar. Akan besarnya hikmah pada peristiwa yang biasa, namun selalu mendalam. Aku lupa aku hidup. Ambisi dan kegagalan terkadang menipu. Dengan melihat dan berfikir aku tak tertipu alam.

-uda.saja, Januari 2022

--

--