What Does Haru Know?

#Author_P
10 min readAug 19, 2022

Haru mematikan ponselnya, menyimpan benda itu ke atas nakas. Lalu mengatur posisi tubuhnya untuk berbaring diatas tempat tidur, suasana kamar yang temaram karena pencahayaan yang remang-remang serta keadaan kamar yang tampak berantakan, mungkin kamarnya ini akan cocok jika dijadikan tempat syuting film horor.

Pemuda dari keluarga terpandang dengan marga Zidane itu kini tengah memandangi langit-langit kamarnya, pikirannya tertuju pada hari dimana kecelakaan yang menewaskan Awan terjadi. Satu hal yang Haru tahu — bahkan juga telah diketahui oleh Aji — jika itu bukanlah sebuah kecelakaan melainkan pembunuhan. Ada seseorang — kita sebut saja dia X — telah merusak rem sepeda motor yang dikendarai oleh Awan bahkan juga mencuri helmnya. Tujuan X mencuri helm milik Awan tentu saja dengan alasan jika Awan akan memiliki peluang lebih besar untuk meninggal dunia setelah terjadi kecelakaan, karena Awan tidak mengenakan helm. Dan itu terbukti benar. Dari mana Haru bisa tahu semua itu? Nanti akan Haru ceritakan.

Di malam hari sebelum Haru mendapat kabar jika Awan kecelakaan, pemuda itu sedang rebahan sembari chattingan dengan Nisa. Lalu sesaat kemudian Udin mengirimkan sebuah pesan singkat pada Haru, yang dimana dalam pesan itu Udin memberitahu kepada Haru jika X beserta gengnya tengah berencana untuk mencelakai Awan. Haru langsung merasa panik dan mencoba untuk menghubungi Awan, sayangnya ia tidak mendapat jawaban dari Awan hingga akhirnya Haru memutuskan untuk pergi ke rumah Awan dengan berjalan kaki — karena ban sepeda motornya kempes. Saat sampai disana, ia justru bertemu dengan Aji yang sedang berdiri ditepi jalan sembari menangis tanpa suara, namun dengan air mata serta wajahnya yang memerah. Pria itu tidak sanggup menjawab pertanyaan Haru yang bertanya mengapa ia menangis, Aji justru menunjukkan chat dari layar ponselnya yang memberitahu jika Awan mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia. Aji berdiri ditepi jalan karena ia tengah menunggu taxi online yang akan mengantarkannya ke rumah sakit tempat Awan berada, Aji tidak mau mengendarai mobilnya sendiri dalam keadaan menangis dan perasaan yang tidak karuan kala itu.

Malam itu, Haru merasa jika belum saatnya ia memberitahu kepada Aji perihal apa yang ia tahu dari Udin — tentang rencana X yang mencelakai Awan. Tentang Awan yang mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia, yang tentu saja itu telah direncanakan oleh seseorang.

Tidak lama kemudian Tasya tiba didepan rumahnya, gadis itu baru saja diantarkan pulang oleh pacarnya — Rendi, Tasya serta Rendi menghampiri Haru dan juga Aji setelah mereka melihat Aji menangis tanpa suara disamping Haru.

“Om Aji kenapa?” tanya Tasya.

Dengan suara serak Haru menjawab “Awan, dia meninggal karena kecelakaan, sekarang Awan ada di rumah sakit X.”

Tasya dan Rendi sama-sama terkejut, tidak menyangka jika mereka akan mendapatkan kabar duka.

“Kecelakaan? Di perempatan yang tadi ada garis polisinya itu?” tanya Rendi, Tasya juga ingat dengan perempatan yang dimaksud oleh Rendi.

“Iya, mungkin” jawab Haru.

•••

Setibanya di rumah sakit, Haru tidak pernah membayangkan jika dirinya akan melihat pemandangan menyakitkan didepan matanya seperti sekarang. Ia menyaksikan sendiri bagaimana seorang ayah harus rela kehilangan anak yang selama ini susah payah ia besarkan sepenuh hati, tangisan Aji terdengar begitu pilu hingga rasanya menyayat hati Haru secara tersirat.

Haru mengepalkan kedua telapak tangannya, padahal tadi siang ia masih bisa melihat Awan tersenyum lebar padanya. Malam harinya ia justru melihat Awan dalam keadaan tidak bernyawa, dengan wajah pucat serta darah pada bagian kepalanya.

“Awan… bangun! ayo pulang! Papa udah beliin donat buat kamu” kalimat pertama yang keluar dari mulut Aji setelah lama pria itu tidak bersuara.

Dalam suasana berduka itu, Haru kembali mengingat percakapan antara dirinya dan juga Udin saat di sekolah. Karena dari Udin lah Haru tahu banyak fakta yang menarik kesimpulan tentang siapa saja yang telah bermuka dua padanya dan juga pada teman-temannya yang lain.

Haru POV.

Gue habis lihat chat grup yang ngasih tahu kalau katanya hari ini pulang lebih awal, karena guru-gurunya mau pada rapat. Gue bersorak paling kencang di kelas karena terbebas dari pelajaran fisika yang dibimbing sama guru super killer, karena teriakan gue yang super dahsyat itu Axel yang lagi duduk disamping gue sampai kaget dan tangannya mukul bahu gue, gue cuma senyum lebar tanpa dosa.

"Mau ke kafe Mahes?" tanya Axel.

"Yo’i, kan si Mahesa mau traktir kita" jawab gue sambil beresin buku pelajaran yang numpuk di meja, pas buka tas gue nemu ada amplop warna cokelat berisi uang. Gue jadi ingat tujuan awal gue bawa duit segitu banyak buat apa, ya, buat nyuap si Udin.

"Lo duluan aja, gue ada urusan bentar" kata gue yang tanpa basa-basi lagi langsung ninggalin Axel yang masih duduk di kursinya.

Gue pergi ke kelasnya si Udin, tapi teman-teman sekelasnya bilang kalau dia baru aja pulang setelah dapat kabar kalau dia dikeluarin dari sekolah. Gue langsung melesat ke arah parkiran, gue menduga kalau si Udin pasti belum pulang karena kunci motornya ada di gue. Kenapa kunci motornya bisa ada di gue? Itu karena tadi pagi gue nggak sengaja lihat kunci motor jatuh dari saku celananya si Udin, langsung aja gue ambil untuk dijadiin bahan alasan buat nemuin dia.

Pas gue sampai di parkiran, disana udah ada si Udin yang lagi nyari-nyari kunci motornya.

"Lo nyari ini kan?" tanya gue sambil nunjukkin kunci motornya.

Udin kelihatan kaget waktu dia lihat kunci motornya ada di tangan gue, sambil tersenyum sinis gue masukkin kunci motor itu ke saku celana gue.

“Kalau lo mau kunci motor lo balik, lo harus ikut gue dulu ke taman belakang sekolah.”

Gue jalan lebih dulu ke taman belakang sekolah dengan yakin kalau si Udin lagi ngikutin gue, dan emang bener. Alasan gue pilih taman belakang sekolah ya karena disana sepi, jarang ada orang karena disana suasananya agak horor. Dan yang lebih penting lagi disana nggak ada CCTV, gue takut aja ada yang salah paham dan menduga kalau gue sama si Udin lagi transaksi barang ilegal.

Setelah nyampe, gue langsung ngeluarin amplop warna cokelat dari tas gue dan langsung gue kasih ke si Udin.

“Ini apa?”

“Duit.”

Udin nggak percaya gitu aja sama jawaban gue, dia ngecek dulu uang yang ada didalam amplop itu.

“Konteks? Kenapa lo ngasih gue duit segini banyak?”

“Gue mau lo jujur, siapa yang udah nyuruh lo buat gangguin si Awan?”

“Hah?”

“Nggak usah hah, heh, hoh, deh! Lo budek? Gue tahu kalau lo di suruh sama si Yoza, gue nggak sengaja lihat si Yoza nge-chat lo dan nyuruh lo buat gangguin si Awan di hari waktu gue lempar uang ke muka lo.”

“Kalau lo udah tahu si Yoza yang nyuruh gue buat gangguin si Awan, terus kenapa lo repot-repot nyuruh gue buat jujur? Sampai ngasih du — ”

“Gue tahu si Yoza bukan tanpa alasan ngelakuin itu, gue menduga kalau dia juga pasti disuruh sama orang lain. Iya kan? Gue juga nggak berani nanya secara langsung ke si Yoza, karena udah pasti dia nggak bakal jujur sama gue.”

Udin tersenyum sinis sambil ngelihat ke arah lain, dia natap ke arah gue lagi sambil ngangguk.

“Iya, si Yoza disuruh sama si X, mereka teman satu geng motor. Asal lo tahu, Yoza itu suka sama pacar lo, udah lama, setahu gue sih sebelum lo sama pacar lo jadian. Sementara si X suka sama Tia, X baru-baru ini ngatur rencana buat gangguin si Awan karena dia nggak suka ngelihat Tia deket sama cowok lain. Bisa dibilang kalau si X ini terobsesi banget buat dapetin si Tia, ibaratnya kalau dia nggak bisa dapetin Tia itu berarti nggak boleh ada orang lain juga yang dapetin cewek itu. Gila kan? Udah kayak psikopat aja tuh orang.”

Jelas aja gue kaget setelah dengar jawaban dari si Udin itu, bahkan ini untuk pertama kalinya gue tahu kalau si Yoza anggota geng motor. Dan juga si X? Kek what the fuck! Padahal mereka berdua itu kelihatan banget anak baik-baik, atau soft boy gitulah istilahnya, tahunya ternyata… emang bener ya jangan menilai seseorang hanya dari satu sisi sudut pandang. Dan dari jawaban si Udin gue juga menarik kesimpulan kalau si Yoza berniat buat nusuk gue dari belakang.

“Kalau si Yoza suka sama pacar gue, itu artinya ada tujuan lain dibalik dia yang bantuin si X. Bukan hanya karena semata-mata mereka temenan, terus si Yoza rela ambil risiko setelah apa yang dia lakuin buat si X. Iya kan?”

Udin mengangguk, terus jawabannya kali ini dia ungkapin dengan sedikit berbisik. “Setelah mereka berhasil jauhin si Awan dan Tia, si X udah janji buat bantuin si Yoza buat rebut Nisa dari lo. Intinya mereka kayak ngerencanain supaya lo dan Nisa putus.”

“Anjing” gue refleks mengumpat.

“Gue nggak termasuk dalam anggota geng motor mereka, gue cuma siswa bermasalah yang di suruh buat gangguin si Awan. Alasan kenapa gue yang di suruh ya karena itu tadi, gue siswa bermasalah, sering bikin onar di sekolah ini, jadi nggak bakal ada yang curiga kalau gue tiba-tiba nyari ribut ke si Awan. Gue juga ngelakuin itu nggak gratis, gue dibayar sama Yoza walaupun gue tahu kalau itu bukan murni duit dia, duit yang dia kasih ke gue itu dari si X sementara si Yoza cuma jadi perantara aja.”

Gue manggut-manggut tanda paham sambil merhatiin gerak-gerik si Udin yang kelihatan aneh.

“Lo kenapa?” tanya gue.

“Gue kebelet, gue mau ke WC sekarang, lagian cuma segitu aja kok yang gue tahu. Btw makasih buat duit sogokannya, yang lo kasih ini lebih banyak dari yang dikasih sama si Yoza.”

“Makasih juga buat infonya, nih kunci motor lo” jawab gue sambil ngembaliin kunci motor punya si Udin. “Kalau ada info lain tentang rencana si X sama Yoza, tolong lo langsung kasih tahu gue.”

“Oke.”

Dan di malam harinya gue langsung dapat kabar dari Udin kalau si X sama geng motornya berencana buat celakain Awan, dengan sengaja Udin nyari informasi dari temannya yang kebetulan adalah salah satu anggota geng motor yang dipimpin sama si X itu, tapi temannya si Udin ini nggak ikut ambil alih buat celakain Awan karena dia takut sama risikonya yang nantinya bakal dia dapetin kalau dia nekat ikutan. Dan dari teman si Udin ini juga gue dapat bukti rekaman suara waktu si X ngomong ke semua anggota geng motornya buat mastiin Awan celaka. Lewat rekaman suara itu gue denger kalau si X bilang kalau dia mau nyuri helm Awan, katanya biar Awan punya peluang lebih besar untuk meninggal dunia setelah kecelakaan. Dengan emosi gue mengumpat sendirian di kamar, segala sumpah serapah keluar dari mulut gue yang tujukan ke si X.

Gue mencoba buat hubungin Awan setelah dapat bukti rekaman suara itu, tapi sama sekali nggak ada respon dari Awan. Gue juga mencoba buat hubungin Om Aji, sayangnya nggak bisa juga. Akhirnya dengan langkah seribu gue bergegas keluar dari rumah dan bilang sama mama yang lagi nonton TV kalau gue mau pergi beli martabak, gue asal ngomong aja karena panik. Pada kenyataannya gue pergi ke rumah Awan sambil lari — tadinya gue mau pake motor tapi nggak jadi karena bannya kempes, bisa dibilang walaupun sekomplek tapi jarak dari rumah gue ke rumah Awan itu cukup jauh.

Gue nggak pernah nyangka kalau si Udin sampai segitunya bantuin gue, katanya sih bukan karena dia udah dikasih duit sama gue, tapi karena dulu dia juga pernah ngerasain rasanya ditusuk dari belakang sama teman sendiri, kayak gue ginilah — ditusuk dari belakang sama si Yoza, jadi dia rela repot-repot buat bantuin gue. Meskipun si Udin juga dapat info dari temannya itu telat, karena pas gue udah nyampe di depan rumahnya Awan disana udah ada Om Aji yang lagi nangis dan setelahnya gue harus menelan fakta pahit tentang Awan. Awan kecelakaan ketika gue baru aja dapat bukti rekaman suara itu.

Gue nggak pernah rela kalau ada yang gangguin Awan barang sedikitpun, karena dia udah gue anggap sebagai adik kandung gue sendiri. Gue ini anak tunggal, nggak pernah ngerasain rasanya punya adik ataupun kakak, setelah gue mengenal Awan rasanya tuh kayak gue punya seorang adik laki-laki yang polos, jago main basket, dan juga baik hati, dia juga anaknya nggak sombong meskipun terlahir dari keluarga kaya raya. Sayangnya kami dipisahkan oleh maut.

Gue minta sama teman-teman gue yang datang ke rumah sakit buat langsung ke kamar mayat, Nisa juga datang — katanya Axel yang boncengin dia. Sementara Ahmad sama Sofi nggak bisa datang, katanya karena perut Ahmad sakit sementara Sofi takut kalau harus pergi malam-malam sendirian. Gue juga nggak maksa mereka buat datang, mereka kan inisiatif sendiri.

Dua hari setelah Awan dimakamkan, gue ke rumah Awan lagi buat ngasih tahu secara langsung ke Om Aji tentang apa aja yang gue tahu. Gue ngasih tahu tentang rekaman suara itu, terus Om Aji juga ngejelasin tentang hasil penyelidikan polisi. Katanya rem sepeda motor yang dikendarai sama Awan itu rusak, setelah mendengar bukti rekaman suara yang gue kasih, Om Aji langsung tahu siapa yang udah sengaja merusak rem sepeda motor itu sampai bikin Awan celaka hingga berakhir meninggal dunia.

Dan di hari yang sama Om Aji dan gue langsung mengecek rekaman CCTV yang ada di rumahnya Om Aji, lewat rekaman CCTV itu kami berdua lihat Awan yang lagi ngendarain sepeda motor melintas didepan rumah Om Aji. Tapi Awan nggak berhenti karena rem sepeda motornya rusak, sementara dibelakang Awan ada sekitar lima orang yang lagi ngikutin dia.

Om Aji bilang kalau dia nggak dengar ada suara sepeda motor yang melintas didepan rumahnya, karena pada saat itu beliau sedang ada di kamarnya lagi me-revisi pekerjaan kantornya sambil pake earphone yang menyumbat kedua telinganya.

Setelah melihat rekaman CCTV, gue langsung menyarankan sama Om Aji untuk langsung melaporkan orang-orang yang udah terlibat dalam kasus Awan ini. Karena kasus Awan itu seharusnya bukan kecelakaan melainkan pembunuhan.

“Jangan dulu dilaporin, kita udah punya barang bukti, kita juga udah tahu siapa pelakunya. Gampang buat kita jeblosin pelakunya ke penjara. Dan sebelum itu terjadi, seharusnya kita ngasih kejutan dulu ke si pelaku sebelum dia masuk ke penjara” kata Om Aji.

“Kejutan?” tanya gue, karena gue bingung dengan maksud kata ‘kejutan’ yang Om Aji bilang.

“Iya, jadi gini….”

Dan hari itu berakhir dengan gue dan Om Aji yang ngatur rencana buat ngasih kejutan sama si X. Dan kejutannya ini bukan hanya akan mengejutkan si X, tapi juga seantero SMA Trendana.

Gue jadi penasaran gimana ekspresi semua siswa SMA Trendana kalau mereka udah tahu ada seorang pembunuh yang berkeliaran dengan bebas disana, pembunuh yang punya tampang nggak bersalah, bersembunyi dibalik mukanya yang sok baik padahal aslinya busuk.

Kita tunggu aja sampai topeng manusia yang satu itu terbuka, dan gue berharap dia dihukum mati aja sekalian. Gue nggak peduli sama masa depan dia yang akan hancur, karena dia sendiri juga udah tega merenggut masa depan orang lain dengan seenaknya.

Awan, semoga lo tenang disana. Gue janji bakal bantuin papa lo supaya beliau dan juga lo dapat keadilan. Dan semoga yang udah tega berbuat jahat sama lo bisa segera diadili dan dapat hukuman yang setimpal, hukuman mati sekalian. Gue pengen banget request semua orang yang terlibat dalam rencana pembunuhan lo itu dibakar hidup-hidup aja, biar mereka bisa ngerasain rasanya mati secara perlahan-lahan. Meskipun bagi gue itu nggak setimpal dengan rasa sakit yang dirasain sama orang-orang yang udah kehilangan lo, Awan.

--

--