Pannn.
3 min readJan 3, 2022

One Fine Day

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, Oscar dan Christ kini tengah berkendara menuju rumah eyang mereka dalam rangka mengajak eyang mereka jalan-jalan.

Tujuan mereka sekarang adalah Selasar Sunaryo Art Space. Sebelumnya Oscar dan Christ mendadak browsing tempat yang sekiranya cocok untuk mengajak eyangnya jalan-jalan. Karena tidak mungkin kalau mereka membawa eyangnya pergi ke tempat yang sulit untuk diakses orang tua.

Oscar memarkirkan mobilnya dihalaman rumah sang eyang. Dan begitu keluar dari mobil nampaklah nenek kesayangan mereka sedang duduk di taman depan rumahnya.

Wanita berumur tujuh puluh tahun itu nampak jauh lebih sehat dari wanita seumurannya.

“Pagi eyang” ucap Oscar sambil memeluk neneknya itu, disusul oleh Christ yang mengikutinya.

“Emang hari ini eyang mau kalian culik kemana?”

“Rahasia” sahut Christ dan Oscar berbarengan. Menimbulkan gelak tawa dari wanita paruh baya itu.

Oscar sesekali mencuri pandang disela kegiatan menyetirnya kearah sang nenek yang duduk disampingnya.

Ia bersyukur neneknya masih sehat sampai detik ini, ia hanya tidak tahu bagaimana ia bisa menjalani hidup setelah almarhum bundanya meninggal tanpa sosok sang nenek.

Setelah kematian bundanya, Oscar berubah menjadi pribadi yang tertutup. Ia menolak berinteraksi dengan siapapun dan terus mengunci diri dikamar. Beruntung neneknya pantang menyerah dan selalu mendatanginya setiap hari, membawakan makanan yang tidak jarang selalu Oscar abaikan.

Karena dulu ia berfikir kalau kematian bundanya adalah kesalahannya. Sampai akhirnya neneknya sempat sakit dan mau tidak mau Oscar harus keluar untuk menjenguknya.

Melihat sang nenek yang terbaring lemah dengan segala peralatan medis terpasang ditubuhnya membuat Oscar kecil berfikir. Cukup sekali ia harus melihat orang yang ia sayang meregang nyawa dihadapannya. Ia tak mau hal itu terjadi lagi.

Dan setelahnya Oscar tinggal dengan sang nenek sampai SMA sebelum memutuskan tinggal sendirian di apartemen ketika masuk kuliah.

“Eyang tau kalau eyang cantik, kamu loh gausah liatin eyang kaya gitu”

“Oscar sayang eyang” sebelah tangan Oscar yang bebas, menggenggam tangan neneknya itu untuk ia cium.

“Berasa cucu pungut deh rasanya gue dibelakang sendirian” sindir Christ yang akhirnya membuat Oscar kembali fokus menyetir.

Sesampainya di sana ternyata sang nenek sangat excited hingga membuat Christ beberapa kali duduk karena pegal. Anehnya wanita paruh baya itu sama sekali tidak mengambil jeda istirahat untuk berkeliling dan berswafoto sebelum Oscar meminta untuk istirahat karena lapar.

“Eyang, lio lapar, kita makan dulu ya? Kan nanti kita pulang lio nyetir. Kalau lio pingsan gimana?”

“Yaudah iya, tapi nanti balik lagi ya, eyang belom ke sebelah sana loh”

“Iya iya”

Dan berakhirlah mereka kini memesan makanan di Kopi Selasar yang memang notabenenya ada di dalam Selasar Sunaryo Art Space.

“Eyang, aku ijin ke toilet dulu ya” ucap Christ sebelum akhirnya menghilang menuju toilet disana.

Sepeninggal Christ kini hanya tinggal Oscar dan sang nenek, menunggu pesanan mereka datang.

Dalam kebiasaan keluarga mereka, ketika acara seperti ini tidak boleh ada yang asik bermain ponsel, maka kini Oscar hanya melihat-lihat pemandangan sekitar sebelum akhirnya dikagetkan oleh tangan sang nenek yang memegang tangannya.

“Kamu pasti kesepian ya”

Oscar terdiam menunggu lanjutan kemana arah bicara neneknya.

“Bunda kamu pasti bangga kamu besar jadi anak yang dewasa dan mandiri. Bunda kamu pasti bahagia juga kamu dikelilingi orang baik, apalagi kalau tahu anak sulungnya tumbuh jadi laki-laki cakep kaya gini”

Mata sang nenek berkaca-kaca membuat hati Oscar sedikit terenyuh ketika melihatnya.

“Tapi bunda kamu pasti sedih kalau tahu anaknya masih dihantui rasa bersalah selama bertahun-tahun bahkan sampai fisik dan psikisnya hancur. Tolong lio, jangan lagi kamu hidup dibawah bayang-bayang kematian bunda kamu. Hidup bahagia bukan dosa nak, jangan hukum diri kamu lebih dari ini”

Dan akhirnya setelah sekian lama bertahan dalam rasa sakit sendirian, air matanya luruh, dadanya terasa sakit.

Bukannya ia tidak ingin bahagia, tapi apakah pantas ia merasa bahagia setelah apa yang terjadi pada bundanya.