Tik Tok narasi part 24

vianca
5 min readNov 2, 2023

--

"Meg, cepetan, jangan main hp trus," ucap Ica.
"Iya, ayo."

Mereka mengangkat meja agar tidak menimbulkan suara, tidak bisa mengangkat semuanya tapi cukup untuk mereka lalui. Karena ada orang-orang itu di bawah kedua gadis itu juga tak bisa berlari, takut ketahuan.

Ica dan Mega menyusuri lorong sepi dan gelap, tak ada yang mengerikan dari asrama itu, semuanya tampak terawat, hanya suasananya yang membuat tak nyaman. Sesekali mereka mendengar barang jatuh entah dari mana. Ica cukup takut, tapi ia berusaha mengabaikannya, ada yang jauh lebih mengerikan.

"Meg, nggak ada yang ngikutin kita, kan? Gue kok ngerasa ada yang ngikutin kita," bisik Ica dari belakang.
"Nggak ada, lo parno. Pada dasarnya ini asrama nggak seserem itu."
"Nggak serem gimana? Aneh lo."
"Lo yang ngajak gue ke sini, anehan lo berarti."

Sekali lagi terdengar suara benda dijatuhkan, Ica melirik ke belakang, wajahnya pucat. Ia melihat seberkas cahaya putih di ujung lorong. Tak mungkin ada yang bisa melihat sesuatu di lorong gelap tanpa penerangan dan ia bisa. Cewek itu gemetar dan meminta Mega mempercepat jalannya.

Di persimpangan lorong di depan, Mega terkejut bukan main, ia melihat seseorang dengan wajah garang dan mengayunkan kayu, beruntung reflek cewek itu cepat, ia berhasil menghindar, Ica yang terkejut melepaskan pegangannya di baju Mega dan terjatuh.

Kedua siswi itu hampir memekik saat hampir dipukul lagi, silaunya senter membuat mereka tak bisa melihat dengan jelas siapa orang yang hendak memukul mereka. Mega langsung memeluk Ica dan menyembunyikan kepala.

"Tahan, jangan asal pukul," ucapnya, balok kayu itu berhenti di udara. "Kalian nggak papa?"
Mega mendongak, matanya menyipit. "Kiki?"
"Mega ternyata," sahut Rasta.

Ica ikut mendongak dan melihat ada Dewa di sana, reflek siswi itu memeluknya dan menangis sesegukan. Dewa mengusap punggung sekretaris kelasnya itu.

"Me-mereka ... nge-ngebunuh yang lain." Tubuh Ica bergetar, Mega juga terisak.
"Iya, kita doain mereka tenang," ucapnya pelan, suara cowok itu bergetar.

Dewa dan Ica memang sering adu mulut, ada saja yang mereka ributkan, tapi kali ini mereka damai. Yang lain juga merasakan hal yang sama, memikirkan teman mereka di luar sana.

"Kita pergi, ada yang masuk," sela Mega yang matanya memerah.
"Bentar, nunggu Bang Tyo sama yang lain dulu," kata Wira.
"Pada ngapain ngumpul di sini?" Tyo datang dengan napas terengah.
"Pas, kita kabur sekarang, ke hutan belakang, nggak ada jalan lain." Mega bangkit dan menyeka matanya, kemudian melirik Esa yang tersorot flash. "Maaf."
"Nggak papa." Ia menoleh.
"Ada yang masuk lagi, kita harus cepet." Kiki mulai panik.
"Ayo." Dewa masih merangkul Ica yang tampak kacau.

Perlahan mereka turun, Gio dibagian depan ia mengacungkan belatinya dan Tyo paling belakang dengan kapak yang dipegang Dewa tadi, sedangkan yang ditengah memegang senjata seadanya. Mereka turun dengan suara seminimal mungkin.

Di depan Gio ada siswa dengan baju penuh cipratan darah dan wajah penuh kekesalan. Siswa itu melotot padanya yang muncul di belokan tangga, cowok itu membawa besi panjang dan siap menghantam Gio.

Cowok itu langsung menghindar ke samping membuat yang berada di belakangnya terkejut dan hampir terjatuh, mereka saling berpegangan sedangkan Tyo memantau keadaan di atas. Gio menangkap besi tersebut dan sebelum siswa itu meninjunya, ia menusuk perut samping cowok itu, cowok itu meringis lalu terjatuh.

"Buruan." Gio melambaikan tangannya.
"Di-dia mati?" Kiki sesak napas.
"Semoga masih idup."
"Gila lo," ucap Wira yang memalingkan wajah dari siswa yang bajunya penuh darah.
"Terserah."
"Harus tega," sambung Tyo.

Mereka mengendap-endap, flash ponsel dimatikan dan hanya berbekal cahaya bulan dan suara saja. Kondisi mereka sangat tegang, wajah pucat hanya tak kelihatan karena gelap. Ica menggenggam tangan Dewa sangat erat, ia bisa merasakan dinginnya tangan cewek itu.

"AAA-"

Lolongan panjang seseorang terdengar memilukan gendang telinga, mata Kiki memerah, ia tahu apa yang terjadi di luar. Kakinya berat untuk melangkah dan tubuhnya kehilangan kekuatan, ia oleng dan ditangkap oleh Rasta yang sudah menangis.

"Jangan nyerah di sini, Ki, kita harus keluar." Suaranya serak.
"Gue ... gue nggak sanggup." Ia menggeleng.

Kiki memikirkan teman-temannya, ia ingin tahu bagaimana keadaan mereka, ingin tahu apakah mereka selamat. Tangannya menggigil, bayangan buruk menari-nari di kepalanya. Wira menampar Kiki cukup keras, semua terkejut.

"Bangun! Jangan lemah, kita harus selamat buat nyeritain semuanya," katanya tegas. "Doakan yang terbaik buat mereka."

Bahu Kiki bergetar, ia menangis tertahan, dadanya sakit. Sekolah yang ia impikan berubah jadi neraka, ia bersumpah tak akan memaafkan penyebab kejadian mengerikan ini.

Esa menarik bahu cowok itu dan membantunya jalan, sikapnya masih sama seperti sebelum-sebelumnya, tanpa ekspresi dan terkesan tak peduli. Tyo terus memperhatikan gerak-gerik Esa, jika memang benar ia pelakunya maka dirinya sendiri yang akan mengambil peran untuk membunuh Esa, ia sudah membulatkan tekad untuk melakukannya, cowok itu memegang kapak erat-erat.

"Woy, di sana ada orang!" Teriak seseorang. "Cepet!"

Mereka terkesiap, tanpa aba-aba Tyo, Dewa dan Gio maju, di depan mereka ada lima orang yang membawa senjata tajam yang entah mereka dapatkan dari mana. Tyo menggigil, Dewa menepuk pundaknya, ia melirik temannya itu dan mengangguk lemah. Esa merentangkan tangan menyuruh yang lain untuk mundur.

"Pergi duluan," ucap Dewa.
"Nggak!" Tolak Kiki dengan keras. "Gue nggak mau!"
"Kalian bisa bikin kita repot! Pergi sekarang!" Bentak Dewa.
"Nggak mau!" Kiki masih menolak.
"Kita ntar nyusul, pergi sekarang. Gue nggak mau liat kalian jadi korban," kata Tyo.
"Kita bisa, tenang aja. Pergi sekarang." Gio meyakinkan.
"Oke, kita pergi," putus Esa.

Ia menarik Kiki; Mega dan Ica menangis, Rasta terisak dan Wira membantu Esa menarik Kiki. Mereka berlari meninggalkan teman-teman mereka di belakang.

"Siap jadi pembunuh?" Sindir Gio.
"Gue udah siap," jawab Dewa tegas.
"Nggak ada jalan lain," sambung Tyo.
"Iblis bangsat!" Teriak Dewa frustrasi, ia mengayunkan tongkat besi yang dipegangnya.

Sekolah yang termasuk jajaran sekolah favorit ini akan menjadi tempat pembunuhan masal. Siapa sangka teror yang dimulai dari ditemukannya jasad siswi di toilet berakhir seperti ini. Harapan untuk bisa kembali normal setelah melakukan pengusiran berakhir sia-sia, tak ada gunanya.

Teror sesungguhnya sudah dimulai, kegaduhan dari makhluk tak kasat mata itu hanyalah bumbu, tak ada apa-apanya. Entah apa yang merasuki mereka semua hingga berbuat sejauh ini.

Teriakan demi teriakan terdengar seiring bunyi jam tua yang terdengar jelas. Bunyi jam tersebut seperti penanda dimulainya teror yang sesungguhnya. Tidak ada yang peduli dengan bunyi itu, mereka sibuk mempertahankan diri dari pembantaian.

"BUNUH MEREKA BUNUH! JANGAN DISISAIN!" Teriak seseorang. "BUNUH MEREKA ATAU KITA YANG MATI!"

--

--