the cause and effect

bucynjikook
3 min readMar 6, 2023

Vano membuka pintu apartemen kekasihnya itu dan langsung disambut dengan kegelapan. Laki-laki itu mengernyitkan dahinya bingung.

Han benci banget sama gelap.

Vanopun melangkah masuk dan langsung berjalan ke arah saklar lampu untuk menyalakan sedikit penerangan pada apartemen berjenis studio itu. Dan barulah saat itu ia melihat sang kekasih tengah meringkuk seorang diri di atas ranjang tempat tidurnya.

Vano bergegas berlari menghampiri kekasihnya itu dan langsung membekap tubuh kekasihnya itu. “Sayang, Han, I am so sorry.

Yang dipeluk tidak bergeming. Tubuhnya statis, tidak ada tangisan, tidak ada suara apapun.

“Han..”

“Gue gak pernah ngelarang lo untuk pergi, Kee.” akhirnya ia membuka suara. “I’ve always been alone my whole life, lo gak perlu takut gue akan menderita tanpa lo.” Ucapan lelaki itu terdengar begitu dingin — dan menyedihkan pada wakut yang bersamaan.

Vano tidak menjawab. Yang ia lakukan hanya mengencangkan dekapannya dan membiarkan kepalanya bersandar pada puncak kepala kekasihnya itu.

“Gue tau, gue tau Nalen akan selalu punya tempat special di hidup lo — di hati lo. Sejak pertama gue terima lo sebagai pacar gue, that’s the risk I am willing to take.” Ethan menarik nafasnya dalam-dalam. “Tapi bukan berarti gak sakit, Kee.”

Dan akhirnya, Vanopun melepas pelukannya dan ia berlutut di hadapan sang lelaki. “Han, gue minta maaf?” Ia mengusap jemari kekasihnya yang langsung menarik tangannya menjauh. “Han..

“Jangan ada di sini kalo hati lo masih di tempat lain, Keenan. Jangan pernah lo kasianin gue, atau gue bisa benci sama lo selamanya.” Kemudian setetes air mata terjatuh tepat di telapak tangan yang lebih muda. “Gue paling benci dikasianin, Kee. Jadi lebih baik kita putus daripada lo — “

Belum sempat Ethan melanjutkan ucapannya, Vano sudah terlebih dahulu menjatuhkan kepalanya ke lantai, sepenuhnya berlutut di hadapannya. Hal itu otomatis langsung membuat Ethan tersentak dan langsung menarik tubuh sang kekasih untuk berdiri. “Apa-apaan sih Kee, lo ngapain full bow begitu? Udah gila ya?” cecar Ethan.

Vano menggeleng. “Gue yang gak bisa kalo ga ada lo, Han. Jangan putus, gue mohon, gue beneran mohon sampe titik gue ikhlas bersujud di hadapan lo.”

“Ya tapi gak gitu caranya, anjing. Gue gak suka banget, Keenan. Gue makin marah anjinglah.” Ethan beranjak dari duduknya lalu berjalan sambil menyisir rambutnya ke belakang. “Lo tuh — ARGH!” Lelaki itu hilang kendali. “Kenapa harus kayak gitu sih? Gak bisa ya jelasin normal aja gitu? Gue tuh gak pantes lo sujud gitu Keenan. You are the fucking youngest captain of football team in Indonesia, Keenan. You don’t get to fucking do that.

Vano berjalan ke arah Ethan lalu memeluknya lagi. “Terus aku harus gimana, Han? Gimana caranya aku tunjukkin ke kamu kalo aku cuman mau kamu dan gak mau orang lain?”

Ethan mendorong tubuh Vano yang ukurannya mungkin hampir dua kali tubuhnya. “Ngomong Keenan, ngomong. Tuhan kasih lo mulut buat ngomong dan otak buat mikir. Kalo lo jelasin baik-baik gue juga pasti akan ngerti kok. Gue bukan anak bocah yang main asumsi sendiri.” ucap Ethan berapi-api. “If you want us to work, then fucking step up your game, Keenan. Lo gak bisa implement apapun yang lo lakuin ke mantan lo itu ke gue. Gue udah 28 taun, Kee. Gue udah tau apa yang gue mau dan apa yang gue gak mau. Gue gak akan tiba-tiba cabut dari lo tanpa dengerin penjelasan lo apa-apa.”

Vano terdiam.

Ethan menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya kasar. Dan ia melakukannya sekali lagi. “Keenan.” Ethan mengambil satu langkah maju. Ia mengusap pipi kekasihnya itu lembut. “Do not ever do that ever again, do you hear me?”

Vano tidak merespon.

Keenan Jevano, I am talking here.

Dan akhirnya Vano mengangguk. “Iya Han.”

Ethan kemudian maju untuk menyatukan bibir keduanya. Ia melumat singkat lalu melepaskannya dan tersenyum. “Okay so now, are you ready to talk about it?”

--

--