Violet
6 min readApr 6, 2023

--

45. Don’t Give Me Hope

Divya mengetuk pintu sebanyak tiga kali, saat sampai di kediamannya. Ryuga yang pakaiannya sudah basah kuyup pun masih mengikuti Divya dari belakang.

Ibu Divya pun membukakan pintu rumahnya dan mempersilakan Divya masuk ke dalam. Masih terheran-heran, dan bertanya-tanya di dalam hatinya, sebab di belakang Divya, ada sosok pria yang baru saja ia lihat hari ini.

“Div, itu siapa?” tanya Ibu Divya dengan suara yang berbisik.

“Temen Divya Bu. Dia tadi anterin Divya pulang. Terus, waktu lagi nunggu bis, kami kehujanan. Terus, dia nekat mau anterin Divya sampai ke rumah dan mau numpang mandi katanya. Iya kan Ryuga?” jelas Divya, seraya menegaskan kepada Ryuga.

Ryuga hanya mengangguk.

“Oh, temen kamu. Temen apa temen nih? Kok Ibu baru lihat hari ini ya?” ledek Ibu Divya.

“Temen Buu.. Divya kan nggak punya pacar di sekolah. Nggak ada yang naksir sama Divya juga,” jelas Divya.

Ibu Divya pun pergi ke belakang, meninggalkan Divya dan Ryuga berduaan saja di ruang tamu.

“Silakan duduk!” Divya mempersilakan Ryuga untuk duduk di sofa tamu. Namun, Ryuga hanya menggelengkan kepalanya. Ia masih ingin berdiri meyoroti setiap sudut dari rumah ini.

Sorot netranya sedang sibuk memandangi seisi rumah Divya yang sangat sederhana ini. Kedua tangannya ia taruh di belakang. Pandangannya terhenti saat melihat foto keluarga, yang berada di atas meja kecil di ruang tamu. Kemudian ia mendekati meja itu, dan memandangi beberapa foto yang ada disana dengan seksama. Bibirnya sedikit mengukir senyuman, namun agak ditahan.

Divya yang melihat tingkah Ryuga itu pun merasa aneh. Ada apa dengan pria itu? Mengapa ia tersenyum seperti itu? Apakah ia sedang mengejek foto masa kecil Divya? Atau ia sedang menertawakan hal lain?

Ibu Divya kembali datang ke ruang tamu, membawakan satu buah handuk untuk diberikan kepada Ryuga.

“Div, ini handuk dan peralatan mandi untuk teman kamu itu. Maaf, tadi siapa ya namanya?”

“Ryuga, nama saya Ryuga Bu..” Ryuga pun merespon pertanyaan dari Ibu Divya seraya mengulurkan tangan kanannya, untuk berjabat tangan dengan Ibu Divya. Ibu Divya pun membalas jabatan tangan itu, kemudian kembali meninggalkan mereka berdua sambil menahan tawa kecilnya.

Ryuga kembali memandangi deretan foto-foto milik keluarga Divya itu. Kemudian, ia terkekeh ringan saat netranya melihat foto masa kecil Divya yang tanpa mengenakan busana.

“Lo ketawain foto masa kecil gue yang nggak pake baju itu? Nggak usah ketawa deh lo. Jelek. Iya, gue jelek banget emang!” tutur Divya agak merasa terhina dengan kekehan kecilnya Ryuga. Ia langsung mengambil foto masa kecilnya itu, kemudian buru-buru menaruhnya ke dalam laci meja. Divya merasa malu sekali.

“Kenapa? Lo malu karena nggak pake baju? Tapi itu imut kok, kalo sekarang mah amit-amit,” kata Ryuga dengan puas sambil tersenyum jahil kepada Divya.

Divya menghela nafasnya panjang. Agak kesal dengan perkataan Ryuga. Namun, sedikit lega karena Ryuga malam ini tersenyum kepadanya.

Ryuga, kok bisa ya gue jatuh cinta sama lo yang sifatnya aneh kayak begini?

“Lo yakin mau mandi disini?” tanya Divya sekali lagi memastikan.

“Iya, kamar mandinya dimana?”

“Sebelum lo beneran mandi, gue cuma mau kasih tau sekali lagi, kalau kamar mandi gue jorok. Nggak ada keramiknya. Tapi kalo lo tetep kekeuh mau mandi disini, ya silakan aja. Tapi jangan menghina keadaan rumah gue yang apa adanya ini. Gue emang orang sederhana. Beda banget kasta gue sama lo, Ryuga.”

It’s okay, no problem. Baju gue basah, gue mau mandi dan ganti baju. Pinjem baju lo dong!” pinta Ryuga seenak hatinya.

Netra Divya berputar. Permintaan apa lagi yang Ryuga ajukan kepadanya. Mau tidak mau, Divya harus mencarikan pakaian yang pas untuk Ryuga kenakan. Ia pergi ke dalam kamarnya, kemudian mengacak lemarinya untuk mencari pakaian yang kira-kira muat di tubuh Ryuga.

Divya keluar dengan membawa setelan piyama bermotif kotak, berwarna hitam putih. Ia berikan piyama itu kepada Ryuga, sebelum Ryuga masuk ke dalam kamar mandi di rumahnya.

Lima belas menit kemudian, Ryuga keluar dari kamar mandi, dengan surai yang masih basah. Kini ia mengenakan piyama milik Divya, yang ternyata pas sekali di tubuh Ryuga. Divya meneguk salivanya, sebab ia merasa salah tingkah dengan keadaan Ryuga yang seperti itu.

Ayah dan Ibu Divya pun menyambut Ryuga dengan hangat. Mereka mengajak Ryuga, untuk menikmati santapan makan malam, bersama mereka.

“Ryuga, sini makan bareng!” ajak Ayah Divya yang langsung disetujui oleh Ryuga.

“Maaf ya Ryuga, kami nggak punya meja makan. Jadi duduknya di bawah. Maaf kalau kaki Ryuga pegal, nanti suruh aja Divya pijitin kakinya Ryuga,” ledek Ibu Divya yang langsung dicubit kecil oleh Divya.

“Ibu, apaan sih,” ucap Divya yang tak terima Ibunya berkata seperti itu.

Ryuga pun duduk bersila di bawah, kemudian ikut menikmati makan malam yang sudah disediakan oleh Ibu Divya. Menunya sangat sederhana, namun, Ryuga merasakan, adanya kehangatan disana. Tiga anggota keluarga itu sangat kompak. Sambil menyantap menu hidangan, mereka pun bersenda gurau menceritakan tentang pengalaman mereka hari ini bagaimana. Tawa pun tercetak di wajah mereka masing-masing.

Ayah dan Ibu Divya sangat ramah kepadanya. Walaupun baru berkenalan malam ini, namun, Ryuga merasa diperlakukan sangat spesial. Ayah dan Ibu Divya, saling berebut menaruh lauk makanan ke atas piringnya. Ia melirik ke arah Divya, nampak pula semburat senyuman manis di wajahnya.

Malam ini, Ryuga merasa sangat tersentuh dengan perlakuan keluarga Divya. Ia merasa iri, mengapa di dalam rumahnya sendiri tidak pernah ada kehangatan seperti ini? Padahal jelas-jelas, rumahnya jauh lebih besar dari rumah ini. Namun, ia tidak pernah merasakan kehangatan seperti yang ia rasakan malam ini.

“Udah makannya? Kenapa? Nggak doyan ya sama masakan Ibu? Maaf ya, disini menunya beda kayak di rumah lo,” ucap Divya yang melihat Ryuga sedari tadi hanya diam saja memperhatikan dirinya dan kedua orang tuanya bercerita.

“Siapa bilang gue nggak doyan?” Ryuga langsung membuktikan, kalau makanan itu sangat enak. Ia melahap dengan semangat makanan itu sampai membuat Divya kembali tersenyum heran.

Bukannya tidak doyan, Ryuga hanya termenung sebentar saja, meratapi keadaannya. Dirinya termasuk orang yang beruntung, karena terlahir sebagai anak orang kaya. Namun, Divya lebih beruntung lagi, karena terlahir sebagai anak yang memiliki orang tua yang sangat hangat.

Beberapa menit kemudian, makanan di piring Ryuga pun habis. Divya mengajak Ryuga ke ruang tamu untuk kembali berbincang sebentar.

“Ryuga, kayaknya lo nginep aja deh disini. Sekarang udah jam 10 malem, diluar hujan deras juga. Lo izin gih sama ortu lo,” pinta Divya yang khawatir jika Ryuga pulang malam ini.

“Nggak usah!”

“Oh, lo nggak mau nginep disini. Ya udah kalo gitu, nanti gue balikin payung lo yang pernah lo kasih ke gue.”

“Nggak– bukan begitu– maksud gue, gue nggak usah izin ke ortu gue. Gue udah sering nginep kok, di rumahnya member CnG,” jelas Ryuga.

“Oh, Codename Gravity?”

“Iya.”

Kemudian Divya mengajak Ryuga untuk masuk ke dalam kamarnya yang dipenuhi oleh poster dan pernak perniknya Ryuji Taka.

“Lo tidur disini ya. Gue tidur bareng sama Ibu. Ayah gue tidur di ruang tamu.”

“Oke thanks. Sengefans itu ya lo sama Ryuji Taka?” tanya Ryuga seraya netranya kembali menyoroti setiap bagian dari sudut kamar milik Divya.

“Yaiyalah! Taka ganteng dan keren begitu, gimana gue nggak ngefans. Btw, sorry ya kalo kamar gue kecil dan panas. Sorry cuma ada kipas angin kecil. Beda kayak di kamar lo yang pake AC. Ayah gue kerja serabutan, jadi nggak mampu bayar listrik.”

“Oh oke. Gue nggak masalah kok. Emang lo keterima di Sky High International School lewat jalur apa?”

“Beasiswa,” jawab Divya singkat.

“Kok bisa sih IQ rendah kayak lo dapet beasiswa?” ujar Ryuga agak menohok, membuat Divya agak kebingungan menjawabnya.

“Emm– yaa bukan beasiswa seleksi orang pinter sih, tapi beasiswa buat orang yang nggak mampu.”

“Oh.. gitu.”

Ryuga pun berbaring di atas kasur kecil milik Divya yang ditaruh di lantai. Lelah sekali hari ini. Ia ingin langsung tidur saja. Namun, ia tiba-tiba mengeluh kepanasan dan membuka atasan piyamanya di depan Divya.

“Lo ngapain buka baju di depan gue?!” refleks Divya menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, karena malu tidak ingin melihat bagian tubuh milik Ryuga.

“Gerah banget! Udah ya, gue mau tidur dulu,” ucap Ryuga santai sambil tidur dengan gaya tengkurap.

Divya buru-buru kabur dari sana. Namun, ia agak sedikit terkejut dengan apa yang ia lihat barusan. Walaupun hanya sekilas saja, ia yakin sekali, ia telah melihat sesuatu, di belakang punggungnya Ryuga.

--

--

Violet

author~ alternate universe~ rangkaian fiksi~ hanya fiksi~ find me on X @violetluvjk