Kedua perempuan berusia 19 tahun itu sedang berada di kamar kos milik Reina yang berukuran 3x5 meter. Keduanya duduk berhadapan di lantai sembari menikmati cemilan yang Bianca telah belisebelum datang ke tempat Reina.
Saat Bianca mengirim pesan bahwa dirinya sudah sampai di depan kosan teman baiknya itu, Bianca meringis melihat batang hidung Reina yang terlihat begitu menyedihkan. Rambutnya berantakan tak teratur serta matanya merah dan sembab. Ketika gerbang berwarna coklat itu dibuka oleh sang pemilik, Bianca dengan sigap memeluk tubuh Reina yang saat itu terlihat sangat rapuh. Tak butuh waktu yang lama sebelum tangisan Reina kembali pecah dipelukan sahabatnya itu.
“Ayo naik, malu kalau ada orang lain yang lihat penampilan lu kacau begini,” tuntun Bianca, membawa Reina masuk ke dalam.
Reina tidak berhenti nangis. Air matanya terus menerus mengalir bagaikan air terjun yang mengalir dengan deras. Bianca sibuk mengeluarkan cemilan-cemilan kesukaan Reina dan dirinya di lantai, setelah itu mereka berdua pun menikmati keheningan diantara keduanya untuk beberapa saat. Tidak benar-benar hening sih, karena Reina sibuk menangis.
“Lu mau cerita dari awal gak? Padahal kalian gak contact-an baru beberapa hari tapi kok si Anjing ini — ”
“Namanya Aiden, Bi. Bukan anjing.” potong Reina sembari mengambil tisu untuk mengelap wajahnya yang basah.
Mendengar itu Bianca hanya menghela nafas. “Bodo amat. Di mata gue, namanya si Anjing.”
“Gue salah apa ya Bi…,” mulai Reina. Demi apapun kalian semua harus lihat tatapan mata Reina yang terlihat begitu kosong dan menyedihkan. Kalau boleh jujur, menurut Bianca kini temannya terlihat seperti mahkluk hidup ter-menyedihkan. “Kenapa ya dia bisa begitu…” lanjutnya.
Bianca tidak menjawab apa-apa. Ia hanya mendengarkan setiap kalimat yang dilontarkan oleh temannya itu sembari memakan cemilannya sekali-kali.
“Selama gue kenal sama dia, dia bahkan gak pernah kasih tau gue password HP-nya. Dia selalu bilang ‘Ngapain sih? Kamu gak percaya sama aku?’ setiap kali gue nanya.”
“Setiap kali gue minta kejelasan dari hubungan gak jelas ini, dia selalu ngalihin topik. Terus di akhir, dia selalu bilang dia sayang gue. Dan setiap kali dia bilang itu, gue percaya. Itu salah satu alasan kenapa gue bertahan sampai sekarang, Bi.”
Reina tertawa remeh, menertawakan dirinya sendiri. Betapa bodohnya dirinya; betapa bodohnya ia jatuh dengan kata-kata manis tiada arti itu; dan betapa bodohnya membiarkan laki-laki itu menjadi alasan ia nangis seperti orang gila saat ini.
“Gue tau lu pasti bilang gue bego, bego banget. Bodoh banget. Tolol banget. Tapi bahkan di saat seperti ini gue tuh gak bisa bikin diri gue benci sama dia, Bi.”
“Gue salah ya kalau gue mau disayang kayak orang-orang? Apa itu terlalu susah ya? Am I that hard to love?”
“Tiga hari kita gak chat, dan posisi gue sekarang sudah tergantikan, Bi. Gue bener-bener gak berarti ya buat Aiden?”
Stop sampai situ. Mendengar keluh-kesah Reina membuat Bianca merasa sedih. Hatinya terasa sakit melihat sahabatnya ini mempertanyakan dirinya sendiri. Padahal sudah jelas ini bukan salahnya.
“Gue tau there’s nothing I can say to make you feel better but there’s one thing that I’d like you to know.” mulainya, mengambil beberapa helaian tisu dan memberikannya kepada Reina. “Gue mau lu tau kalau ini bukan salah lu. Lu gak seharusnya mempertanyakan worth lu sendiri. You’re not hard to love dan lu harus tau itu, Rei.”
“I’m so bad with words tapi sumpah lu tuh deserve better. Much better. Dan gue gak tau gue harus bilang ini berapa kali sampai lu sadar tapi he’s not worth your time. Selama lu dekat sama dia, lu tuh kebanyakan sedihnya dibandingkan senangnya.” kini mata Bianca pun telah berkaca-kaca.
“Sebagai sahabat lu, demi Tuhan, gue cuman selalu wish untuk satu hal yaitu for your own happiness. Tapi udah lama banget, I don’t see genuinely-happy-Reina and God it hurts me seeing you like this.” ungkap Bianca sejujur-jujurnya.
“Gue tau gue bilang he’s not worth your time tapi please, please, please, take as much time as you need to be sad. Keluarin semua kesedihan lu biar habis ini lu bisa balik. No more sad Reina. Dan gue yakin, gue yakin suatu saat nanti lu bakal be better. Feel better. Way better.”
Penampilan keduanya pun kini terlihat sebelas duabelas. Sama-sama berantakan; wajah sembab dan hidung ingusan.
Bianca menghela nafasnya dalam-dalam, “Kalau gitu dari awal gak usah kenalan, anjing!” omel Bianca.
Di sela-sela membuang ingus Reina membalas, “Kalau bisa mah gue juga gak mau, Bi. Tapi gimana ya, cinta itu buta.”
Bianca maju mendekat ke arah Reina lalu menyentil kening temannya itu. “Pala lu.”
Keduanya pun tertawa.
Kemudian Bianca berdeham pelan. Ia ingin menanyakan suatu hal yang sedari tadi ia tahan. “Kedepannya, lu mau gimana, Rei?”
Sembari memakan cemilan yang dibelikan oleh Bianca ia menjawab, “Gue gak tau, Bi. Di satu sisi gue masih sayang sama dia. Sayang banget, malah. Tapi di sisi lain, gue tau gue gak bisa begini terus. Gue udah bilang ke dia kalau emang kali ini it doesn’t work, then let’s call it quits. Tapi yang gue gak nyangka adalah, malah dia yang keluar dari hubungan ini duluan. Padahal waktu itu dia yang nahan gue buat tetap stay dan yakinin gue kalau this will work.”
Reina sungguh-sungguh bingung apa yang ada di pikiran Aiden. Aiden selalu meyakinkan Reina akan selalu ada buat dirinya. Bahwa ia hanya menyayangi gadis yang kini telah menangisi dirinya selama kurang lebih 2 jam. Konyol sekali.
Banyak pertanyaan whys dan hows yang muncul di kepalanya. Mengapa, kenapa, sejak kapan. Namun, dirinya belum sanggup untuk menerima pahitnya fakta ketika ia menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini kepada si Anjing. Mungkin nanti malam, mungkin besok, mungkin dua hari lagi. Entah lah. Tapi untuk sekarang, Reina ingin fokus mengeluarkan semua perasaan sedihnya seperti apa yang disarankan oleh sang sahabat. Mungkin setelah itu dirinya akan siap untuk ditampar dengan pahitnya realita (re: jawaban Aiden). Entah lah.