Terowongan Lampegan dari Stasiun Lampegan saat KA Siliwangi berhenti.

Graduation Tour : Jakarta “Heritage” Trip Etape 1, Darimu 139 Tahun yang Lalu.

Jalur Kereta Pertama Penghubung Bandung dan Jakarta.

Wahannu Kalingga
17 min readFeb 18, 2024

--

Kamis, 8 Februari 2024

Hari yang sudah saya tunggu itu akhirnya tiba. Hari ini adalah hari pertama dalam rangkaian trip yang saya akan lakukan berjudul Jakarta “Heritage” Trip. Bagian pertama dari Graduation Tour.

Kenapa berjudul “Heritage”? karena pada trip ini saya akan menjajal jalur kereta pertama penghubung Jakarta-Bandung. Kemudian melakukan hunting di Stasiun bersejarah seperti Jatinegara-Manggarai, juga mencoba 3 moda transportasi berbasis rel terbaru di Jakarta yaitu LRT Jakarta, LRT Jabodebek, dan tentu saja MRT. Kemudian diakhiri dengan menjajal jalur kereta penghubung Jakarta-Bandung terbaru yaitu kereta cepat “Whoosh”. Jika saya berlebihan sedikit, ini adalah perjalanan “Sejarah”. Mengenang bagaimana perjalanan kereta dahulu dan menikmatinya masa sekarang.

Etape 1 dalam trip ini saya melakukan perjalanan dari Bandung (barat) menuju Jakarta melalui jalur kereta pertama penghubung dua kota tersebut. Yaitu jalur Manggarai-Padalarang via Bogor-Sukabumi-Cianjur. Ya, anda tidak salah baca. Jalur ini lebih dulu ada daripada jalur Jakarta-Bandung via Cikampek. Jalur Manggarai-Padalarang dibuka pada 17 Mei 1884, 139 tahun yang lalu. Sedangkan Jalur via Cikampek baru tersambung sampai Padalarang pada 2 Mei 1906[1].

Ada 3 kereta penumpang di jalur ini sekarang. Ada Commuter Line Bogor (Bogor-Jakarta Kota), KA Pangrango (Sukabumi-Bogor) dan KA Siliwangi (Cipatat-Sukabumi). Ketiga kereta ini yang akan saya gunakan dalam etape 1.

Sampai tulisan ini selesai, antara Stasiun Cipatat dan Stasiun Padalarang belum ada layanan kereta penumpang. Karena jalur di antara kedua stasiun tersebut saat ini tidak bisa digunakan alias mati. Alasannya adalah karena jalur ini terlalu terjal. Memang ada rencana untuk mengaktifkan kembali jalur ini. Namun karena dinilai terlalu berbahaya, maka munculah opsi lain untuk membuat jalur shortcut pengganti yaitu dari Stasiun Sasaksaat sampai dengan Stasiun Cipatat. Artinya, stasiun Tagogapu mungkin tidak akan diaktifkan kembali. Peta rencana jalur baru itu sebagai berikut [2]:

Gambaran Jalur Shortcut Stasiun Sasaksaat dan Stasiun Cipatat yang direncanakan oleh Kemenhub masuk sebagai persyaratan lelang DED. Sumber : LPSE Kemenhub.
Peta Rencana Jalur Shortcut Stasiun Sasaksaat — Stasiun Cipatat (Sumber: LPSE Kemenhub)

Tiket KA Siliwangi dan KA Pangrango sudah saya pesan seminggu sebelum perjalanan, pun dengan hotel yang akan saya tempati begitu tiba di Jakarta. Berjaga-jaga saja karena tanggal 8 Februari sudah dimulai libur panjang. Tiket kereta ke arah timur rata-rata sudah habis. Alhamdulillah tiket kedua KA ini belum habis dan justru masih banyak yang kosong. Tidak apa-apa, namanya jaga-jaga.

Untuk tiket KA Siliwangi, karena termasuk KA lokal bersubsidi, harganya pun cukup murah. Hanya Rp. 5.000 saja. Jika anda memesan tiket KA ini lebih awal, anda akan memilih tempat duduk. Namun, jika tempat duduk sudah habis maka akan muncul tulisan “tanpa tempat duduk” pada pilihan jadwal keberangkatan. KA ini hanya membawa gerbong kelas ekonomi yang berisi 106 tempat duduk. Meskipun begitu, KA ini tetap dibatasi kapasitasnya sampai 150% tempat duduk.

Untuk KA Pangrango, kereta ini membawa dua kelas yaitu 2 gerbong eksekutif dan 4 gerbong ekonomi premium. Kelas ekskutif menggunakan pengaturan tempat duduk 2–2 dengan kapasitas 50 kursi, sedangkan kelas ekonomi menggunakan pengaturan tempat duduk 2–2 dengan 40 hadap ke depan, 40 hadap ke belakang. Kereta ini termasuk kereta aglomerasi. Saya memesan tiket kelas eksekutif pada kereta ini karena dua alasan. Pertama, kelas eksekutif kereta ini cukup “murah”, hanya Rp. 80.000, dan yang kedua.. saya ingin pasti duduk hadap ke depan sesuai dengan arah perjalanan. Meskipun harga tiket kelas ekonomi kereta ini juga cukup murah, yaitu Rp. 45.000.

Perjalanan saya awali dari rumah berangkat pada pukul 05:20 WIB. Saya ingin sudah tiba di Stasiun Cimahi pada setidaknya pukul 05:30 WIB. Karena untuk menuju Stasiun Padalarang, saya akan menggunakan KA Commuter Line Bandung Raya (Padalarang-Cicalengka). Perjalanan KA dengan nomor 371 ini akan berangkat dari Stasiun Cimahi pukul 05:48 WIB dan akan tiba di Stasiun Padalarang pukul 05:59 WIB.

Keadaan Stasiun Cimahi pada pukul 05:30 WIB, Kamis 8 Februari 2024.
Keadaan Ruang tunggu Stasiun Cimahi pada pukul 05:30 WIB, Kamis 8 Februari 2024.

Sebenarnya ada satu lagi perjalanan KA Commuter Line Bandung Raya setelah ini, yaitu berangkat dari Stasiun Cimahi pukul 06:38 WIB dan tiba di Stasiun Padalarang 06:49 WIB, dengan nomor keberangkatan 361. Namun saya memilih perjalanan yang pertama untuk berjaga-jaga saat melakukan perjalanan selanjutnya ke Stasiun Cipatat yang harus menggunakan moda transportasi angkot. Jarak dari Stasiun Padalarang ke Stasiun Cipatat menurut Google Maps diperkirakan akan menempuh waktu 30 menit sampai 1 jam. Jika memilih kereta perjalanan kedua, maka waktunya akan lumayan mepet dengan keberangkatan KA Siliwangi (08:30 dari Stasiun Cipatat) mengingat jadwal KA Commuter Line Bandung Raya sering terganggu oleh KA Feeder KCJB (Padalarang-Bandung) yang lebih diutamakan. Tidak lama kemudian, announcer Stasiun Cimahi memberi tahukan penumpang bahwa KA Commuter Line Bandung Raya (371) akan tiba di Stasiun Cimahi dan mempersilahkan penumpang untuk bersiap di peron 2.

Ngomong-ngomong, Stasiun Cimahi tengah direvitalisasi oleh Kemenhub sebagai bagian dari optimalisasi perjalanan kereta di wilayah Bandung Raya. Mulai dari pembuatan peron tinggi agar penumpang bisa lebih mudah naik turun kereta. Selain itu Stasiun Cimahi kelak akan memiliki dua gedung stasiun di sisi utara (yang merupakan bangunan asli) maupun gedung baru di sisi selatan. Dua bangunan ini akan dihubungkan oleh sebuah Skybridge sama halnya seperti di beberapa Stasiun di Bandung Timur yang sudah direvitalisasi terlebih dahulu. Sampai saat ini saya belum tahu bagaimana nanti fungsinya di gedung baru itu. Tetapi jika melihat kebiasaan di DAOP 2, kemungkinan akan dipisahkan antara penumpang KA jarak jauh dengan KA Commuter Line. Di bangunan utara bahkan ada ruang tunggu khusus untuk penumpang KAJJ.

Ruang tunggu penumpang KA Jarak Jauh Stasiun Cimahi.
Ruang tunggu penumpang KA Jarak Jauh Stasiun Cimahi.

Dari semua proses revitalisasi Stasiun Cimahi, ada satu sedikit komentar kecil. Dari semua wayfinding baru yang terpasang di Stasiun Cimahi, ada satu mengganjal saya.. Di wayfinding itu terdapat informasi “Halte Trans Metro Pasundan”. Jika anda belum tahu konteksnya, Trans Metro Pasundan di koridor 2D (Alun-Alun Bandung — Kota Baru Parahyangan (IKEA)) pada awalnya memang memiliki pemberhentian di Stasiun Cimahi. Namun akibat adanya penolakan dari supir angkot Pasar Antri, akhirnya Trans Metro Pasundan “mengalah” dan koridor ini pun dipotong rutenya sehingga dari Jalan Gedung Empat langsung menuju Jalan Gandawijaya tidak lagi berbelok kiri dulu ke arah Pasar Antri dan Stasiun Cimahi.

Salah satu wayfinding di Stasiun Cimahi yang memuat informasi Halte Trans Metro Pasundan. Seharusnya tidak ada karena rutenya sudah dipotong.
Salah satu wayfinding di Stasiun Cimahi yang memuat informasi Halte Trans Metro Pasundan.

Kereta Commuter Line Bandung Raya (371) akhirnya tiba di Stasiun Cimahi. Hanya ada 3 orang termasuk saya yang naik dari Stasiun Cimahi. Di dalampun kondisi kereta nampak sepi. Memang meskipun hari libur, biasanya kereta ini belum penuh.

Kondisi gerbong ekonomi 6 KA Commuter Line Bandung Raya (371), sepi penumpang.
Kondisi gerbong ekonomi 6 KA Commuter Line Bandung Raya (371)

Meskipun perjalanan ini sebentar, tetapi saya cukup menikmati pemandang langit pagi itu yang indah.

Akhirnya saya tiba di Stasiun Padalarang pada pukul 06:02 WIB, memang telat namun masih “wajar”. Stasiun Padalarang juga mengalami perombakan besar-besaran terutama karena efek sebagai salah satu stasiun pemberhentian kereta cepat “Whoosh”. Saat ini Stasiun Padalarang pun bisa disebut sebagai kawasan “TOD” meskipun “ala-ala”.

Kawasan Parkir Stasiun Padalarang, gedung berukuran besar di sana adalah Stasiun Kereta Cepat Padalarang.
Kawasan Parkir Stasiun Padalarang, gedung berukuran besar di sana adalah Stasiun Kereta Cepat Padalarang.
Trans Metro Pasundan koridor 2D (Alun-Alun Bandung — KBP) yang kini melayani Stasiun Padalarang melintas di jalan Panaris Padalarang.
Trans Metro Pasundan koridor 2D (Alun-Alun Bandung — KBP) yang kini melayani Stasiun Padalarang melintas di jalan Panaris Padalarang.

Stasiun ini menjadi stasiun transit bagi penumpang kereta cepat Jakarta-Bandung dengan kereta lokal, maupun sebaliknya. Selain itu di stasiun ini sekarang dilayani oleh Trans Metro Pasundan koridor 2 yang menambah pemberhentian di stasiun ini sejak awal tahun 2024. Oh, jangan lupakan juga satu angkutan yang akan mengantar saya ke Stasiun Cipatat untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.

Angkot Rajamandala-Padalarang yang sedang ngetime di Jalan Gedong Lima Padalarang.
Angkot Rajamandala-Padalarang yang sedang ngetime di Jalan Gedong Lima Padalarang.

Setelah keluar dari Stasiun Padalarang, jika anda berjalan ke arah barat anda akan melihat ada banyak angkot berwarna kuning yang sedang ngetime menunggu penumpang turun dari kereta di Stasiun Padalarang. Angkot dengan rute Rajamandala-Padalarang menjadi pilihan penumpang untuk melanjutkan perjalanan ke arah Cianjur karena saat ini jalur Padalarang-Cipatat masih tidak aktif. Supir-supir angkot ini memanfaatkan hal tersebut untuk menjemput para penumpang. Tapi sebelum naik, pastikan angkot yang anda naiki itu benar dengan rute Rajamandala-Padalarang. Karena ada satu angkot lagi di daerah itu yang berwarna kuning juga.

Bersama beberapa penumpang lainnya, saya melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot tersebut. Di angkot saya tidak mengambil video atau gambar karena posisi saya kurang enak untuk memegang ponsel sehingga sepanjang perjalanan saya tidak mengambil gambar atau video dengan benar. Angkot yang saya naiki memang dikhususkan untuk masuk ke Stasiun Cipatat, karena selain saya juga banyak yang memiliki tujuan ke stasiun tersebut. Sehingga, supir angkot pun tidak banyak berhenti di tengah jalan selain karena kendaraan di depannya yang juga berhenti. Perjalanan angkot ini memakan waktu 30 menit. Sesuai dengan perkiraan tercepat Google Maps. Setiap penumpang dikenakan tarif Rp. 12.000. Angkot ini mungkin bisa dianggap sebagai “feeder” layanan kereta api antara Cipatat dan Padalarang.

Sampai di sana, anda akan melihat banyak warung-warung di depan Stasiun Cipatat. Macam-macam makanan dari gorengan, makanan berat, dan warung kopi. Saya memilih untuk membeli kopi di salah satu warung di situ. Saya tidak tahu apakah si bapak penjual itu memang menjual murah atau bagaimana tapi segelas kopi dan kacang sukro ukuran sedang dihargai hanya Rp. 6.000 saja, semoga bapak itu mendapatkan berkah selalu.

Selama saya ngopi, saya hitung angkot Rajamandala-Padalarang yang masuk ke Stasiun Cipatat. Bahkan setengah jam sebelum keberangkatan saya hitung ada kira-kira 15 angkot! Dan situasi Stasiun Cipatat juga sudah ramai sekali dengan para penumpang KA Siliwangi yang akan diberangkatkan pada pukul 08:30 WIB.

Suasana Stasiun Cipatat setengah jam sebelum keberangkatan.
Suasana Stasiun Cipatat setengah jam sebelum keberangkatan.

Akhirnya KA Siliwangi tiba di Stasiun Cipatat pada pukul 08:00 WIB, tepat. Jika anda turun dari KA Siliwangi di Stasiun Cipatat dan akan melanjutkan perjalanan ke arah Bandung, maka tidak perlu khawatir. Ada berbagai pilihan moda untuk melanjutkan perjalanan tersebut. Pertama ada angkot Rajamandala-Padalarang yang memang biasanya sudah standby menyesuaikan waktu kedatangan kereta. Kedua anda bisa berjalan terlebih dahulu ke arah jalan raya kemudian menunggu bis Sukabumi-Bandung yang biasanya akan lewat sekitar setengah jam sekali. Bis-bis ini biasanya berhenti di Terminal Leuwipanjang.

Setelah semua penumpang turun, pintu kedatangan Stasiun Cipatat ditutup oleh petugas untuk menghalangi oknum penumpang yang tidak mempunyai tiket dari kesempatan masuk ke kereta. KA Siliwangi kemudian dilangsir untuk mempersiapkan perjalanan selanjutnya kembali ke Stasiun Sukabumi. Keadaan Stasiun Cipatat semakin ramai dengan calon penumpang. Antriannya cukup panjang untuk bisa masuk ke peron Stasiun Cipatat.

Tiket yang saya pesan adalah kelas ekonomi gerbong 6 12E. Sayangnya, ternyata saya dapat tempat duduk yang menghadap belakang. Ya sudah, bisa menjadi catatan untuk semua yang akan naik KA Siliwangi dari arah Cipatat ke Stasiun Sukabumi untuk menghindari kursi tersebut. Untuk pengalaman lebih maksimal, maka disarankan untuk memesan tiket pada gerbong 1 dan nomor ganjil.

KA Siliwangi akhirnya diberangkatkan pada 08:32 WIB. Situasi dalam gerbong cukup ramai dan kursi hampir terisi semua. Tetapi saya sempat lihat di gerbong 1–3 terlihat penuh sekali.

KA Siliwangi sendiri memiliki 9 pemberhentian, yaitu Stasiun Cipatat, Stasiun Cipeuyeum, Stasiun Ciranjang, Stasiun Cianjur, Stasiun Cibeber, Stasiun Lampegan, Stasiun Cireungas, Stasiun Gandasoli, dan berakhir di Stasiun Sukabumi.

Rute perjalanan KA Siliwangi. Stasiun Cipatat, Stasiun Cipeuyeum, Stasiun Ciranjang, Stasiun Cianjur, Stasiun Cibeberm Stasiun Lampegan, Stasiun Cireungas, Stasiun Gandasoli, dan berakhir di Stasiun Sukabumi.
Rute perjalanan KA Siliwangi.

Di antara Stasiun Cipatat dan Stasiun Cipeuyeum sebenarnya ada Stasiun Rajamandala yang sempat mengalami revitalisasi. Namun tidak diketahui kenapa stasiun itu tidak digunakan kembali sebagai pemberhentian KA Siliwangi.

Setelah melewati Stasiun Cipeuyeum dan Stasiun Ciranjang, tibalah KA Siliwangi di Stasiun Cianjur. Di sini ada lumayan banyak penumpang yang turun, tetapi lebih banyak lagi penumpang yang naik. Saya rasa para penumpang ini yang kebagian tiket tanpa tempat duduk. Mereka pun duduk di bordes.

Pemandangan di jalur ini ternyata tidak kalah epic dibanding jalur di DAOP 2 lainnya. Kita tahu bahwa Cianjur adalah salah satu daerah penghasil beras. Hal itu bisa kita lihat dari banyaknya hamparan sawah yang ada sekitar rel selama di Kabupaten Cianjur. Saya cukup beruntung karena sawah-sawah yang dilewati padinya bertumbuh dengan baik sehingga menghasilkan pemandangan hijau yang indah. Langitpun sangat mendukung.

Hamparan sawah di suatu desa di Kabupaten CIanjur.
Hamparan sawah di suatu desa di Kabupaten CIanjur.

Lepas dari Stasiun Cibeber, kita akan tiba pada sebuah titik. Titik yang spesial pada perjalanan ini. Di titik ini, kereta hanya boleh lewat dengan kecepatan maksimal 5 km/jam saja. Tidak ada nama resmi dari tempat ini, tapi para railfans menyebutnya “Taspat (batas kecepatan) Abadi KM77”.

Posisi Taspat Abadi KM 77, sekitar 4 KM dari Stasiun Lampegan (Source: Google Maps)
Posisi Taspat Abadi KM 77, sekitar 4 KM dari Stasiun Lampegan (Source: Google Maps)

Kenapa pada titik ini dikenakan taspat serendah itu? karena ada jembatan kecil pada titik ini yang jika diperhatikan rel nya memiliki alur yang tidak biasa. Rel pada titik ini memiliki pola zigzag yang pendek. Ini terjadi sebab di bawah rel itu merupakan sesar yang cukup aktif sehingga “menggeser” rel. Sayang sekali, seharusnya saya memesan tiket kereta gerbong paling belakang agar bisa mengabadikan pengalaman melewati titik ini lebih baik. Mungkin nanti lagi.

Setelah melewati Taspat Abadi KM77, KA Siliwangi tiba di Stasiun Lampegan. Stasiun ini juga bersejarah. Karena setelahnya ada sebuah terowongan. Namanya, terowongan Lampegan. Terowongan ini merupakan terowongan rel kereta tertua di Indonesia, basically yang pertama di Indonesia. Panjang dari terowongan ini adalah 686 meter [3].

Terowongan Lampegan dekat Stasiun Lampegan.

Ada cerita unik di balik nama Lampegan. Sama halnya seperti odading yang berasal dari celetukan orang Belanda yaitu “O, dat ding! (oh barang (kue) itu!)”, konon dulu saat terowongan ini dibangun keadaannya sangat gelap sehingga mandor pekerjaan ini selalu berteriak pada para pekerja untuk memegang lampu masing-masing dengan campuran bahasa Belanda dan Indonesia yaitu “Lamp, pegang! Lamp, pegang!”. Akhirnya, terowongan dan stasiun di daerah itu dinamakan Lampegan [4].

Di sini, KA Siliwangi tidak banyak penumpang yang turun maupun yang naik. Hanya beberapa saja. Sayapun hanya punya kesempatan beberapa detik saja untuk mengambil foto dari depan Terowongan Lampegan.

Oh, jika anda ingin ke Situs Gunung Padang, anda bisa turun di Stasiun Lampegan ini dan menggunakan ojek setempat dengan perjalanan kurang lebih sekitar 15–20 menit.

Kereta diberangkatkan kembali dan suasana di luar jendela menjadi gelap. Anak-anak yang ada di dalam gerbong berseru “oooo” seakan takjub. Kereta melewati terowongan tersebut selama kurang lebih 2,5 menit. Begitu keluar dari terowongan, suara anak-anak terpukau kembali terdengar.

Setelahnya kereta berhenti di Stasiun Cireungas dan Stasiun Gandasoli sebelum mengakhiri perjalanan di Stasiun Sukabumi.

Sebelum penerapan GAPEKA 2023, jika anda dari KA Siliwangi akan transit ke KA Pangrango, maka kondektur akan memberikan pengumuman untuk para penumpang agar menghubungi nomor WA kondektur untuk menyerahkan tiket KA Pangrango dan identitas diri agar proses boarding lebih mudah. Karena jarak antara kedatangan KA Siliwangi dan keberangkatan KA Pangrango saat itu hanya berjarak 20 menit. Dengan keadaan stasiun yang selalu penuh saat kedatangan dan keberangkatan kereta. Akhirnya pada GAPEKA 2023 disesuaikan jarak kedatangan dan keberangkatan menjadi 40 menit. Saya tiba di Stasiun Sukabumi pada pukul 10:42 WIB.

Situasi di depan Stasiun Sukabumi setelah kedatangan KA Siliwangi dan jelang keberangkatan KA Pangrango
Situasi di depan Stasiun Sukabumi setelah kedatangan KA Siliwangi dan jelang keberangkatan KA Pangrango

Kondisi stasiun saat itu sangat ramai. Ditambah cuaca yang panas membuat saya merasa sangat gerah dan mencoba untuk keluar dari Stasiun Sukabumi.

Situasi di dalam lobi Stasiun Sukabumi setelah kedatangan KA Siliwangi dan jelang keberangkatan KA Pangrango
Situasi di dalam lobi Stasiun Sukabumi setelah kedatangan KA Siliwangi dan jelang keberangkatan KA Pangrango

Awalnya saya ingin berkeliling sedikit di sekitar Stasiun Sukabumi, untuk melihat-lihat. Tapi situasi yang menggerahkan dan juga padat penumpang membuat saya memilih untuk segera boarding ke KA Pangrango. Saya segera cetak tiket KA Pangrango dan mengantri masuk. Penumpang KA Pangrango dipersilahkan untuk menyebrang melewati bordes KA Siliwangi untuk naik ke kereta.

Di jalur 1, tersedia KA Siliwangi yang sedang bersiap untuk diberangkatkan kembali ke Stasiun Cipatat. Situasi di dalam yang saya lihat juga sudah penuh, semua kursi terisi. Di jalur 2, ada KA Pangrango yang juga sedang bersiap untuk diberangkatkan dengan tujuan Stasiun Bogor.

KA Pangrango kelas eksekutif hampir semua terisi di Stasiun Sukabumi

Kereta akhirnya diberangkatkan. Kondisi pada gerbong hampir semua kursi terisi. Untuk harga Rp 80.000 mendapatkan kelas eksekutif meskipun jarak dekat, saya rasa worth it.

Rute perjalanan KA Pangrango.
Rute perjalanan KA Pangrango.

KA Pangrango memiliki 11 pemberhentian yaitu Stasiun Sukabumi, Stasiun Cisaat, Stasiun Karangtengah, Stasiun Cibadak, Stasiun Parungkuda, Stasiun Cicurug, Stasiun Cigembong, Stasiun Maseng, Stasiun Batutulis, Stasiun Bogor Paledang, dan Stasiun Bogor.

Berbeda dengan jalur Cianjur-Sukabumi yang didominasi oleh persawahan, jalur Sukabumi-Bogor banyak didominasi oleh perbukitan. Ini juga bisa dilihat dari banyaknya tikungan-tikungan yang dilewati. Setelah melewati Stasiun Cibadak, jalurnya mulai naik-turun. Jalur ini diapit oleh dua gunung besar. Di sebelah timur, ada Gunung Pangrango, nama asal kereta ini. Lalu di sebelah barat, ada Gunung Salak. Saya duduk di sebelah kiri artinya akan lebih banyak melihat Gunung Salak. Andai saat itu puncak gunung sedang tidak dikelilingi awan, mungkin pemandangannya akan lebih indah.

Gunung Salak yang puncaknya tertutup awan.
Gunung Salak yang puncaknya tertutup awan.
KA Pangrango melewati salah satu sungai.
KA Pangrango melewati salah satu sungai.

Memasuki Kabupaten Bogor rel kereta menjadi double track. Meskipun ada beberapa bagian yang belum. Stasiun-stasiun pada jalur ini juga tengah mengalami perbaikan.

2 jam perjalanan akhirnya KA Pangrango tiba di Stasiun Bogor Paledang. Stasiun yang unik karena jaraknya dengan stasiun berikutnya, Stasiun Bogor, hanya sekitar 200 meter saja. Tiba di Stasiun Paledang ternyata banyak penumpang yang berhenti. Ketika kereta dijalankan kembali saya membayangkan ada tidak ya penumpang yang “iseng” naik dari Stasiun Bogor ke Stasiun Paledang ataupun sebaliknya?

KA Pangrango tiba di Stasiun Bogor pada pukul 13:30 WIB dan masuk ke Jalur 3. Di Jalur lain sudah menanti beberapa kereta Commuter Line Bogor yang siap diberangkatkan. Saat turun dari KA Pangrango, saya kaget dengan cuaca yang ternyata sedang panas. Segeralah saya menuju ke gedung stasiun yang ada di sebelah timur. Penumpang KA Pangrango yang ingin melanjutkan perjalanan ke arah Jakarta diarahkan untuk keluar terlebih dahulu sebelum nanti melakukan tapping in di Stasiun Bogor.

Gedung Stasiun Bogor di Sisi Timur.
Gedung Stasiun Bogor di Sisi Timur.

Gedung timur Stasiun Bogor yang baru dibuka kembali pada akhir 2021 ini langsung menghadap Alun-Alun Bogor yang ternyata, di tengah terik matahari juga ramai sekali. Kondisi di dalam stasiun pun sangat ramai. Benar-benar hidup. Tadinya saya tidak mau berlama-lama di sini, segera shalat duhur lalu beli makanan siang dan langsung berangkat kembali. Namun dengan keadaan ini sepertinya sulit. Akhirnya saya putuskan untuk sholat dulu di Masjid Agung Bogor, yang juga tengah direnovasi. Sembari istirahat, kemudian mencari makan siang di sekitar Stasiun Bogor.

Masjid Agung Bogor

Awalnya saya ingin makan di kafe Stasiun Bogor yang bernama “Warung Tepi Kereta”, tetapi saat itu sangat ramai dan antriannya juga panjang. Akhirnya saya memilih untuk jalan kembali ke arah utara karena tadi sempat melihat ada banyak pedagang kaki lima di luar gerbang Jalan Nyi Raja Permas. Pilihan saya tentukan pada Soto Mie. Saya baca sedikit, Soto Mie ini adalah makanan khas Bogor. Saya sebenarnya tidak begitu paham soal makanan, tapi yang saya ingin lakukan ketika sedang berada di suatu daerah adalah memakan makanan khas daerah tersebut. Saya menjadi tertarik.

Soto Mie, makanan khas Bogor.
Soto Mie, makanan khas Bogor.

Soto mie ini berisi urat kaki sapi, babat, kemudian irisan risoles berisi sayur dan bihun, tomat, kol, kentang, dan seledri yang dimasukan ke dalam kuah. Rasanya menurut saya enak, sudah itu saja. Dibandrol dengan harga Rp 20.000 tanpa nasi.

Puas makan siang, saya lanjutkan perjalanan ke Jakarta. Kali ini saya tidak perlu lagi memesan tiket karena sudah mempunyai KMT atau Kartu Multi Trip. Kartu ini merupakan KUE (Kartu Uang Elektronik) yang dikeluarkan oleh PT Kereta Commuter Indonesia. KMT bisa anda dapatkan di Stasiun-stasiun Commuter dengan harga Rp. 40.000 dengan isi saldo Rp. 10.000. Meskipun begitu, tidak perlu khawatir. Kita bisa menggunakan KUE lainnya seperti e-money, Brizzi, TapCash, dan KUE lainnya. Hanya pastikan saja saldonya selalu cukup. Isi ulang pun bisa dilakukan sendiri jika mempunyai ponsel dengan fitur NFC dan mobile banking, atau datang ke minimarket seperti Indomaret atau Alfamart.

Antrian ke dalam di Stasiun Bogor pun masih padat. Satu hal untungnya adalah gate yang ada lumayan banyak, ada 10. Sehingga antrian bisa lumayan terurai.

Antrian Tap in Stasiun Bogor.
Antrian Tap in Stasiun Bogor.

Kereta yang saya naiki sendiri tidak tahu nomor keberangkatan berapa. Saya hanya mengandalkan informasi keberangkatan kereta dari Stasiun Bogor ke Jakarta Kota memiliki headway rata-rata 5–10 menit saja dan berdurasi sekitar 1 jam setengah. Tidak tahu deh, yang penting sampai Jakarta.

Kereta akhirnya berangkat pada pukul 14:40 WIB. Dari Stasiun Bogor gerbong di mana saya berada tidak terlalu penuh, semua penumpang bisa dapat tempat duduk. Meskipun ada beberapa yang memutuskan untuk berdiri. Barulah banyak penumpang naik di Stasiun Citayam, Stasiun Depok dan Stasiun Depok Baru.

Karena mulai banyak yang membawa anak-anak kecil, akhirnya saya memutuskan untuk berdiri dan memberikan kursi tersebut ke yang lebih membutuhkan. Sulit untuk mengambil footage ke luar kereta karena saat itu sedang silau dan tidak enak rasanya jika membuka tirai jendela. Saya sempat kepikiran untuk turun di Stasiun Manggarai. Karena bagaimanapun, jalurnya adalah Manggarai-Padalarang. Namun saat kereta sudah sampai di Stasiun Manggarai, banyaknya penumpang yang akan naik mengurungkan niat saya. “Nanti saja deh”. Ternyata, banyak juga penumpang yang turun di Stasiun Manggarai ini. Tentu untuk melakukan transit ke Commuter Line Cikarang. Baik itu yang mengarah ke Stasiun Tanah Abang/Duri maupun yang ke Stasiun Cikarang.

Kereta diberangkatkan kembali, ternyata saat itu banyak juga penumpang yang turun di Stasiun Juanda. Saya baru sadari bahwa Stasiun Juanda ini tersambung juga dengan Halte Transjakarta Juanda yang juga merupakan pemberhentian banyak koridor Transjakarta. Itu pun bisa menjadi alasan banyaknya penumpang yang turun di Stasiun Juanda.

Situasi Commuter Line Bogor setelah dari Stasiun Juanda. Ramai namun tidak penuh.
Situasi Commuter Line Bogor setelah dari Stasiun Juanda. Ramai namun tidak penuh.

Dari Stasiun Juanda menuju Stasiun Jakarta Kota tidak membutuhkan waktu lama, hanya 8 menit saja. Akhirnya kereta sampai juga di Stasiun Jakarta Kota tepat pada pukul 16:00 WIB.

Stasiun ini sendiri melayani kereta Commuter Line dan KA jarak jauh. Commuter Line Bogor yang baru saja saya naiki, lalu ada Commuter Line Tanjung Priok yang mengakhiri perjalanannya di Stasiun Tanjung Priok, juga Commuter Line Cikarang namun hanya untuk perjalanan dini hari saja, itu pun hanya satu. Untuk KA jarak jauh yang dilayani di Stasiun ini pun hanya satu juga untuk saat ini, yaitu KA Kutojaya Utara (Kutoarjo-Jakarta Kota). Sebelumnya ada KA Menoreh (Semarang Tawang Bank Jateng — Jakarta Kota), dan KA Jayakarta (Surabaya Gubeng- Jakarta Kota). Namun kedua KA tersebut dikembalikan ke Stasiun Pasar Senen per GAPEKA 2023.

Stasiun Jakarta Kota yang masih menjaga arsitektur lama.

Suasana Stasiun Jakarta Kota ramai naik turun penumpang. Satu hal yang saya sukai dari Stasiun Jakarta Kota adalah… i don’t know, the vibes is just good. Stasiun ini masih mempertahankan arsitektur dari jaman Belanda-nya. Di tambah saat itu dengan efek sinar matahari sore memberikan kesan “Golden Hour”. Sayang sekali kamera ponsel tidak bisa memberikan justice pada situasi yang saya lihat dengan mata saya ini.

Suasana di Pintu Utara Stasiun Jakarta Kota. Ramai oleh masyarakat yang tengah berlibur panjang.
Suasana di Pintu Utara Stasiun Jakarta Kota.

Suasana di luar Stasiun Jakarta Kota pun sangat ramai. Mengingat ini adalah hari libur pertama dari libur panjang 4 hari. Di sekitar Stasiun Jakarta Kota ini adalah kawasan pedestrian yang dibangun oleh Pemprov DKI Jakarta guna meningkatkan aktivitas sosial dan menjaga marwahnya. Jalan Lada yang dulu bisa dilewati oleh kendaraan bermotor kini ditutup sebagai kawasan pedestrian menyambung ke Taman Fatahilah yang menjadi bagian utama dari kawasan Kota Tua Jakarta.

Jalan Lada yang kini menjadi kawasan pedestrian. Suasana ramai oleh masyarakat yang sedang bersosialisasi.
Jalan Lada yang kini menjadi kawasan pedestrian.

Alhamdulillah, akhirnya perjalanan “Heritage” etape 1 sudah selesai. Perjalanan sejarah bagi saya dari Bandung menuju Jakarta dengan menggunakan jalur kereta pertama penghubung keduanya yang selesai dibangun dan dibuka pada 139 tahun yang lalu. Selanjutnya, saya akan berjalan-jalan ke suatu tempat yang dulu hits pada jamannya kemudian menjajal berbagai moda transportasi berbasis rel baru yang ada di Jakarta. Namun sebelum itu, saya ingin check in dulu ke sebuah hotel di kawasan Kota Tua yang sudah saya pesan untuk menyimpan barang-barang saya agar tidak berat saat jalan-jalan nanti… dan mandi.

Taman Fatahilah, Kota Tua.

Terima kasih.

Referensi

[1] Staatsspoorwegen (1921–1932). Verslag der Staatsspoor-en-Tramwegen in Nederlandsch-Indië 1921–1932. Batavia: Burgerlijke Openbare Werken. (Dikutip dari Wikipedia “Jalur kereta api Manggarai–Padalarang”)
[2] LPSE Kemenhub “DED Jalur dan Jembatan Kereta Api lintas Cipatat — Padalarang
[3] Wikipedia : Terowongan Lampegan
[4] Suganda, Her.2007.Jendela Bandung, Pengalaman Bersama Kompas. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. (Dikutip dari Wikipedia)

--

--

Wahannu Kalingga

A football fans and transportation enthusiast. Sometimes anything.