Hakim & Jaksa

macaw
5 min readSep 18, 2023

Suasana hati Skala sebenarnya tidak begitu baik setelah sidang selesai, tidak ada penundaan agar dakwaannya diterima, Ganiar telah mengetuk palu tiga kali, sebenarnya tidak ada yang menang maupun kalah untuk sebenar-benarnya sidang, hanya saja Skala selalu antusias untuk menang argumen, sama seperti dirinya dulu sebagai wakil ketua debat.

“Bu Jaksa!” seru Ganiar kewalahan, namun wanita itu tidak menghiraukan dengan terus berjalan ke arah luar, kadang terlintas dalam benak Ganiar bahwa wanita dihadapannya ini sebenarnya baru berusia lima tahun, gemas, pikirnya.

“Tunggu.. tunggu..” cegah Ganiar panik, Skala menghembuskan nafasnya, “Bu Jaksa tolong yang masuk diakal saja, jangan begini!” Skala menirukan cara bicara persis Ganiar saat sidang tadi, dirinya masih dilingkupi rasa dendam, Ganiar terkekeh, “Ya, maaf dong. Itu kan lagi kerja,” Ganiar mengusap tengkuknya, “Mau ke suatu tempat gak?” tanya Ganiar menaik-turunkan alisnya, beda sekali dengan sifatnya satu jam yang lalu di ruang sidang.

“Mau mesum kah?” tanya Skala kelewat polos, Ganiar menanggapi dengan tawa, “Perpustakaan, tapi bacanya di loud room, aja biar bisa ngobrol. Ini, gua udah masakin buat kita makan nanti kok,” Skala mengerjap melihat tas ransel Ganiar yang isinya kotak bekal makan siang dengan dua susu kotak, “Hah? Kok bisa Hakim ada waktu bikin ginian?” Skala keheranan, ia saja tidak pernah memiliki waktu untuk memasak, “Mau gak nih?” tawar Ganiar langsung pada intinya saja, “Eh mau dong, baunya enak soalnya,” Ganiar kembali tertawa, menurutnya Skala ini sangat cepat bisa merubah suasana hatinya.

Suasana dimobil Ganiar tentu saja dua kali lipat lebih heboh, namun Skala terus nyeletuk karena sang Hakim tidak berpihak kepada dirinya kali ini, “Ini penculikan kah?” Skala mengernyit mengedar pandangan, dirinya kebingungan kenapa mereka berhenti disebuah tempat yang asing untuk ia kenali, “Yah, gak tau hidden library, cupu. Kalau mau makan di Perpustakaan, cuma disini bisanya,” setelahnya Ganiar melepas sabuk pengaman dan keluar lebih dulu untuk membukakan pintu kepada Ibu Jaksa yang masih mencoba memahami keberadaan mereka.

Skala terperangah, mulutnya membulat dengan tatapan kagum sejenak, sebuah tempat classic bergaya mexico dan sediki sentuhan inggris-lawas membuatnya riang, ia sangat menyukai tempat seperti ini, disana ada beberapa billiard, meja bundar tempat minum atau sekedar lempar bidik pada tembok, didalam cukup ramai, namun Skala masih mencari-cari dimana perpustakaan itu berada karena sepertinya tempat ini tidak memiliki lantai atas.

“Sohib Gani!” seru pria paruh baya yang langsung setengah memeluk Ganiar, disambut dengan baik oleh sang empu, “Ini siapa?” tanyanya saat menyadari kehadiran Skala dengan senyumannya, “Ibu Jaksa ini, Skala namanya,” Ganiar memperkenalkan, “Loh yang sering kamu ceritakan — ”

“Eh! Kebetulan mau ke hidden library hari ini, without menu, ya. Bikin bekel soalnya,” potong Ganiar dengan canggung, pria paruh baya itu mengangguk dan memberikan sebuah kunci, “Semoga berada dipelukan mu ya,” ucap pria paruh baya itu, Ganiar terkekeh, Skala mengernyit, sebenarnya konteks pembicaraan mereka ini apa? Skala penasaran.

“Siapa nama kakek-kakek itu?” tanya Skala mengekori Ganiar yang mulai mambawakan tas ransel juga tas selempang milik Skala, “Mike, naksir kah?” Ganiar bertanya jahil, Skala memukul pelan pria dihadapannya, “Maksudnya tadi apa? Semoga berada dipelukan mu tuh apa?” cicit Skala penasaran, Ganiar menggeleng kecil, “Kode minta peluk kah?” Ganiar balik tanya, sukses membuat wanita dibelakangnya bungkam.

Keduanya tiba disebuah ruangan yang lebih mirip gerbang istana, Skala terperangah ketika pintu itu dibuka dengan kunci yang dibawa oleh Ganiar, pintu itu kembali dikunci namun Ganiar membawa kuncinya, didalam ternyata ramai membuat Skala kembali berdecak kagum, “Wow, keren banget sih tau tempat ginian..” Skala berputar kesana-kemari dari rak buku satu ke rak buku lain, namun Ganiar kewalahan menangkap wanita yang kata orang sih, Ibu Jaksa.

Mendapatkan lima buah buku, keduanya berjalan ke arah outdoor, luas menghampar suasana Jakarta yang padat, namun tetap sejuk.

Terdapat banyak meja dan kursi yang berisikan orang-orang ambis akan literasi, ada yang hanya sibuk makan atau sekedar mengobrol, namun tetap ada buku dihadapan mereka.

Keduanya sudah duduk, namun Skala lebih antusias dengan bekal yang dimasak oleh Ganiar, isinya omlette dengan spaghetti dan sosis bakar, “Kok bisa sekeren ini sih?” tanya Skala yang sudah mulai melahap makanan setelah disuruh Ganiar untuk berdoa, “Apanya yang keren?” Ganiar menaikkan alisnya, membersihkan mulut Skala yang berantakan dengan tangannya dengan izin.

“Makanannya, tempatnya, kamunya,” jawab Skala jujur, Ganiar tersedak sedikit, salahnya hanya membawa susu, untung Skala membawa air mineral satu botol. Iya, diminum untuk berdua.

“Ini kenapa buku hukum semua? Coba lepas dulu tentang hukum dan tetek bengeknya, apa gak gumoh?” Ganiar keheranan, ia saja gumoh makanya ke tempat ini untuk mencari bacaan fiksi bahkan dongeng anak-anak, jangan heran.

“Ya.. gumoh sih..” Skala akhirnya sadar, namun Ganiar sudah menjukkan beberapa buah buku dongeng dengan hard cover elok dilihat, “Mau pinjam ini semua? Biar nanti minta di nota,” tawar Ganiar, Skala mengangguk riang, “Tapi ini bukan anak-anak banget, maknanya dalam,” tutur Ganiar lagi, Skala ikut menelisik, “Malah bikin pusing gak?” tanya Skala cemas, Ganiar tekekeh, “Gak lah. Maksudnya, ini bisa dipahami semua umur cuma untuk mencari pesan tersirat dari ceritanya, emang agak susah, tapi kalau dibaca pakai batin, bisa kok,” tutur Ganiar lagi menatap wanita yang dihadapannya tadi beralih ke sampingnya secara kilat, “Aku mau pinjam dua ini,” Skala menujuk dua buku dengan hard cover cantik berwarna bilu beledru dan coklat kayu, dengan judul Purnama Dua Rusa dan Putri Kembang.

“Sebentar ya,” pinta Ganiar, Skala menurut. Menunggu dengan memakan sisa omelette-nya, tak lama Ganiar kembali, sudah membawakan dua buku tadi dengan paperbag cukup besar, “Ini tempat emang sebagus itu ya, minjem buku doang diginiin,” puji Skala, Ganiar mulai duduk, “Disini mau baca?” tawarnya, Skala menggeleng, “Ngobrol yuk, gumoh lihat huruf-huruf,” pinta Skala, Ganiar mengangguk senang.

Keduanya menghabiskan waktu hingga hampir memasuki malam hari, karena sudah hampir tutup, keduanya memutuskan untuk pulang karena besok akan menghadapi sidang lagi, “Nanti, kita coba ke hidden dessert juga, tapi bulan depan deh, soalnya jadwal padat gini,” tutur Ganiar, “Skala?” panggilnya, ia menoleh, mendapati Skala tertidur dengan tenang, Ganiar tersenyum kecil, mengambil jaket yang ia sampirkan pada kursi kemudi dan menyelimuti Skala dengan perlahan, takut membangunkan raga yang sedang terlelap, mengalihkan posisi ac agar membuat Skala lebih nyaman.

Tiba dirumah, Ganiar sebenarnya tidak tega membangunkan, jadi ia turun untuk membawakan tas juga paperbag yang dibawa lebih dulu ke dalam rumah, hanya ada Ibu Skala yang menunggu kepulangan anaknya, Ganiar meminta izin untuk menggendong Skala untuk masuk, tak tega membangunkan.

Mendapat izin, Ganiar berlari ke mobilnya, mengangkat leher juga lutut Skala agar raga itu terangkat dalam rengkuhannya, menggendongnya masuk ke dalam rumah, “Tolong angkat ke kamarnya, ya.. Ibu gak kuat kalau ngangkat ke kamarnya dari ruang tamu..” pinta wanita paruh baya itu, Ganiar mengangguk dan menurut.

“Kok gak sama Janu?” tanya wanita paruh baya itu, “Mayor mah sibuk terus,” jawab Ganiar diiringi tawa, mengingat temannya itu sudah seperti sedang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia kembali, “Ganiar pamit, terima kasih untuk Skala, ya. Bilangin, bu.”

--

--