Co-Working Space Lamongan, Mau Seperti Apa?

Wahyu Pratama Putra
4 min readFeb 24, 2022

--

Soto Lamongan atau Kapal Van Der Wijck? manakah yang lebih menyentuh memori anda jika mendengar kata Lamongan? Sebagaimana daerah lain di Indonesia, Lamongan menyimpan potensi pembangunan yang sangat besar, baik itu dalam hal pariwisata, ekonomi, ataupun industri. Potensi pembangunan yang besar tersebut harus didukung dengan sumber daya yang memadai dan saling bersinergi sebagai motor penggeraknya. Salah satu bentuk sinergi yang beberapa tahun belakangan mulai populer di Indonesia adalah berupa kolaborasi tempat kerja (Co-Working Space).

Sumber: https://www.masakapahariini.com/resep/resep-soto-ayam-lamongan/

Konsep ‘Work’ dan ‘Workplace’ berkembang dalam beberapa dekade belakangan seiring dengan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Perkembangan teknologi mengubah pola kerja banyak orang dari pola ‘kaku’ menjadi lebih ‘fleksibel’, baik dalam artian tempat yang fleksibel maupun waktu yang fleksibel. Jika konsep perkantoran tempat bekerja secara tradisional dipahami sebagai suatu gedung dengan ruangan-ruangan maupun sekat-sekat yang membatasi manusia berdasarkan jabatan ataupun tugas dengan orang-orang yang bekerja dari pagi sampai sore selama lima hari seminggu, co-working space dapat diartikan sebagai kantor tanpa gedung baku ataupun waktu yang baku. Konsep perkantoran yang baru ini dapat meningkatkan produktifitas pekerja karena sifatnya yang menghilangkan batasan fisik dan batasan waktu sehingga meningkatkan kolaborasi antar karyawan di dalam satu organisasi maupun antar organisasi.

sumber: https://id.pinterest.com/pin/68257750592860415/

Keunggulan-keunggulan yang ditawarkan konsep co working space tersebut seharusnya dapat juga diterapkan untuk meningkatkan produktifitas di lingkup Kabupaten Lamongan. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimanakah konsep co-working space yang ideal untuk Kabupaten Lamongan? Survei yang diadakan oleh tim survei kabupaten Lamongan sejak tanggal 11 Februari lalu melalui link https://docs.google.com/forms/d/1P3Z8ol2-lP46cBxG21AS527vfd-WKXd3lOEQKYBPezs/edit?usp=forms_home&ths=true dapat menjawab sebagian besar pertanyaan ini. Secara garis besar, 25 pertanyaan yang diajukan oleh survei menggambarkan empat hal utama: (1) target konsumen co-working space; (2) persepsi konsumen mengenai urgensi co-working space; (3) preferensi bentuk co-working space; dan (4) preferensi fasilitas.

Dari jawaban 173 responden, dapat disimpulkan bahwa target pasar mayoritas atas Co-Working Space Lamongan (CSL) mayoritas berusia lebih dari 35 tahun, berpendidikan Sarjana, dan berprofesi sebagai ASN. Sehingga sebisa mungkin konsep dari CSL haruslah mengakomodasi kebutuhan golongan tersebut, tentu saja tidak melulu memenuhi kebutuhan mayoritas konsumen tanpa memperhatikan kebutuhan konsumen terbanyak kedua, ketiga, dan seterusnya. Mayoritas konsumen golongan tersebut secara moderat mengenal teknologi serta secara ekonomi cukup mapan. Oleh karena itu sebaiknya CSL selain disediakan secara gratis, disediakan pula fasilitas-fasilitas tertentu dengan pengenaan biaya untuk mengakomodir kaum yang secara ekonomi cukup mapan dan perlu fasilitas tertentu.

Sebanyak 76,5% responden akan memanfaatkan CSL dalam waktu kurang dari lima hari per minggu dan 36,9% responden menginginkan penyewaan secara harian. Hasil ini terlihat cukup sepele tetapi dapat berarti besar. Artinya, apabila Pemerintah Kabupaten Lamongan sebagai penyelenggara tidak mempunyai cukup sumber daya untuk membuka CSL secara 24/7, CSL dapat dibuka cukup selama lima hari per minggu. Layout CSL berdasarkan hasil survei adalah berupa ruang bersama, ruang tertutup, dan ruang workshop serta fasilitas untuk perokok. hal ini penting untuk diakomodasi karena beragamnya kebutuhan pengguna CSL akan jenis ruangan sehingga CSL akan dapat menjangkau konsumen yang luas.

Untuk mendukung fleksibilitas dan mobilitas, CSL haruslah memiliki koneksi internet, cafetaria, ruang hiburan, dan tempat parkir yang memadai. Desain bangunan haruslah berkonsep greenhouse dan eco-friendly karena konsep hijau akan mengurangi kejemuan akan bangunan kubus dan dinding. selain fasilitas-fasilitas tersebut, CSL akan lebih hidup dengan diadakan acara-acara yang bermanfaat dan tentu saja gratis. Acara yang dimaksud dapat berupa pelatihan-pelatihan yang diadakan secara periodik maupun Talk show, Mini conference, Start-up meet, Tech Forum, dan Business meet.

Lastly, perwujudan konsep-konsep tersebut membutuhkan seorang desainer arsitektural yang dapat mewujudkan CSL menjadi nyata, arsitek yang ada haruslah dapat menerjemahkan kebutuhan pengguna dan mengkolaborasikan dengan nilai-nilai lokal yang ada. Satu di antara arsitek yang menurut penulis sesuai adalah Muhammad Egha, seorang arsitek muda yang telah melahirkan berbagai karya ikonik seperti DPD Golkar Jakarta di Cikini dan rumah hunian The Twins project.

sumber: https://delution.co.id/en/project/detail/dpd-golkar-jakarta
sumber: https://delution.co.id/en/project/detail/the-twins

--

--