Kenapa (Menurut Saya) Membaca dan Menulis itu (Bisa) Berbahaya.
Setiap orang bisa menulis, setiap orang bisa membaca, freely, dengan bebas. Karena “bebas” itulah malah tersimpan benih bahaya. Kenapa? Berdasarkan pengalaman pribadi, saya menemukan ada dua orang yang membaca satu bacaan yang sama, dan hasilnya kedua orang tersebut mengintepretasikan/memahami bacaan itu dengan berbeda, bahkan berbeda 180 derajat.
Bayangkan jika ada 100 orang yang membaca, akan ada 100 pemahaman yang berbeda. Kenapa bisa terjadi? Saya rasa ini terjadi karena setiap orang mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda-beda, sesuai dengan pendidikannya, pengalaman hidupnya, lingkungannya, siapa panutannya, apa saja bacaannya, bagaimana dia dibesarkan, situasi kehidupannya, dan masih banyak aspek lainnya.
Kata-kata dan tulisan adalah salah satu media yang paling mudah untuk menyampaikan buah pikiran, tapi kata-kata dan tulisan juga terlalu luas dan personal sehingga rawan dalam penggunaannya. Contoh: Ketika saya merekomendasikan teman saya “Jus mangga di toko pengkolan sana Enak loh, Manis.” Lalu teman saya mencobanya, dan dia berkata “Apaan, Ga Enak, terlalu kentel dan terlalu Manis!” Enak dan Manis merupakan kata yang saya pilih dan gunakan dalam menyampaikan pengalaman saya terkait jus mangga tersebut, sayangnya Enak dan Manis versi saya sangat erat kaitannya dengan personal taste yang dibangun dari pengalaman hidup saya bertahun-tahun, yang tentunya berbeda dengan pengalaman hidup teman saya, bagaimana dia melabeli hal-hal yang menurut dia Enak dan Manis.
Melalui dua contoh kata sederhana, Enak dan Manis, ini saja sudah bisa memberikan banyak interpretasi, bagaimana jika kata atau kalimatnya lebih kompleks, seperti contoh: “Kita harus menerapkan Work-Life Balance agar hidup kita lebih baik.” Arti kata Work bagi setiap orang berbeda-beda, beban dan kapasitasnya pasti berbeda-beda. Belum lagi kata balance, keseimbangan bagi setiap orang jelas berbeda-beda. Arti kata Work-life balance di setiap kepala orang akan berbeda, sesuai dengan kehidupan dan situasinya. Satu kata, tidak terikat dengan satu realita.
Pada dasarnya, setiap penulis pasti mempunyai latar belakang dan maksud yang menjadi landasan tulisannya, kita tidak bisa serta merta mengartikan tulisan tersebut dengan latar belakang pemahaman kita seorang. Saya rasa pun juga sebaliknya, penulis perlu hati-hati dan sadar dalam menuliskan maksudnya, agar bisa meminimalisir dampak negatif dari tulisannya, meskipun tidak bisa dihindari, sebuah keniscayaan.
Saya pernah membaca, beberapa orang suci, menolak (memilih untuk tidak) menuliskan ajarannya, karena akan menimbulkan terlalu banyak kesalah-pahaman bila pembacanya belum mencapai tingkat pemahaman yang dibutuhkan. Mereka lebih suka mengangkat murid yang mereka anggap sudah mampu untuk mencerna kata-kata dan tulisan mereka, agar tidak terjadi hal-hal negatif yang tidak diinginkan. Tentunya kamu ingat dengan film-film kungfu, seperti Kungfu Panda contohnya (hahaha), seorang guru akan menyembunyikan ajarannya dalam sebuah segel, hanya murid-murid terpilih yang diizinkan untuk membaca, karena apabila dibaca oleh seorang murid dengan kapasitas yang belum matang, akan rawan untuk disalah-artikan. Bahkan ketika isi gulungan ajaran tersebut kosong, murid dengan kapasitas yang cukup, bisa memahami arti kosongnya gulungan tersebut.
Karena itu, saya berpendapat, membaca dan menulis itu (bisa) berbahaya. Kita bisa membaca satu tulisan yang sama, satu kitab yang sama, tetapi mempunyai dua pemahaman yang berbeda. Saya berharap kita semua bisa dipandu dan dimudahkan oleh semesta dalam memahami dengan bijaksana semua hal yang pernah dan akan kita baca.