Sketsa Guru & Murid (1)

Mengenang Fritz Brunner – Seorang Guru & Sahabat

Dudy D. Wijaya
7 min readMay 23, 2024

--

Pengarahan Pertama
suatu pagi yang cerah di bulan April 2006

Please Dudy, come in” sambutan ramah Prof. Brunner setelah kuketuk pintu ruang kerjanya yang terbuka. Ini adalah kali keduaku masuk ke ruang kerjanya yang cukup luas, terang dan asri karena dihiasi oleh beberapa pot bunga yang besar.

How was your first week here in Graz?” tanya beliau sambil tersenyum. “It was fine, Prof. Everything still looks different to me, but it is indeed enjoyable” jawabku berusaha untuk membalas keramahannya. “You‘ll get used to it soon” sambutnya.

Setelah selesai saling bercengkerama, beliau lantas membuka sebuah lemari cukup kuno yang di dalamnya terdapat dua kolom. Masing-masing kolom dibagi empat lapisan, dimana pada tiap lapisannya tersimpan buku-buku dan makalah-makalah yang tersusun rapih.

Look Dudy, the left column collects all books and papers that relates to your studies”, lantas beliau berdiri dan mengambil tiga buah buku tebal yang kemudian disodorkannya kepadaku. Ketika melihat judul-judulnya, ‘Classical Electrodynamic’, ‘Geometric Optic’, dan ‘Optic’, nafasku langsung sedikit sesak. Seketika kubertanya dalam hati, apakah aku salah masuk ke Prodi Teknik Elektro?

Prof, why all these books?” tanyaku dengan sedikit hat-hati. ”Dudy, tell me how GPS works?” beliau malah balik bertanya. Dengan cukup percaya diri kujelaskan prinsip kerja satelit GPS. “The satellite transmits its signals, and then we receive the signals in order to estimate the distance, and …” belum selesai penjelasanku beliau langsung menukas “Yes, it starts with the signals, Dudy”. “Oh, noted Prof” timpalku. Meski sudah bisa menangkap maksudnya, namun rasa gugup belum mereda.

Ketika rasa gugup itu masih ada beliau melanjutkan “I just also printed some papers for you, bring them to your desk”. Melihat judul-judul makalahnya, yang sangat jauh dari kata-kata kunci ilmu Geodesi, membuat rasa gugup makin tebal. Setelah kuambil semua buku dan makalah, lantas kuberdiri untuk berpamitan dan mohon izin kembali ke meja kerja sendiri.

Dudy, everything must be started from scratch” kalimat itu terdengar ketika kaki kiriku sudah melangkah ke luar dari ruangannya, lalu kuberbalik badan dan menjawab “Understood, Prof”.

Sesungguhnya, setelah keluar dari ruangan kerjanya, rasa gugup malah bertambah dengan rasa tegang. Gugup karena harus menguasai ilmu penjalaran sinyal, dan tegang karena mendengar kalimat terakhir dari beliau bahwa “semua harus dimulai dari ke-tidak utuh-an atau malah ke-tiada-an (from scratch)”.

Ketika beliau menyuruhku untuk menguasai ilmu penjalaran sinyal, hal itu masih bisa diterima dengan nalar dan hati terbuka. Nampaknya beliau menginginkanku supaya menyelami ilmu dan teknologi GPS sampai ke tingkat paling dasar. Namun, ketika memintaku untuk memulai semuanya dari ke-tiada-an, ini yang berat kuterima.

Pikiran dan dugaan mulai menerawang, nampaknya beliau menginginkanku untuk menggali ilmu dengan terlebih dahulu mengandaikan seolah-olah semuanya belum ada sama sekali, alias skeptis (meragukan). Ah, seandainya dugaan itu memang benar akan begitu adanya, maka Rene Descartes akan tersenyum di alam sana karena metode skeptisnya digunakan oleh Prof. Brunner untuk membinaku. Tetapi, senyumannya itu merupakan pertanda bahwa sebentar lagi kuakan melewati jalan terjal, tajam dan tandus¹.

Ketika arah melangkah sudah tidak bisa dibalik, hanya kata Bismillah yang dapat kulantunkan.

***
Laporan Bulanan
suatu siang yang hangat di bulan Mei 2006

Prof. Brunner memaksa kami (para mahasiswanya) untuk menulis laporan riset setiap bulan. Ketika beliau meminta laporan tertulis, maka secara tidak langsung beliau memaksa kami untuk membaca. Akhirnya kegiatan membaca dan menulis menjadi rutinitas harian kami. Beliau sering berkata “Dudy, by reading and writing you will get something”, dan kuamini perkataannya karena kurasakan “Si something” itu sampai sekarang.

Beliau akan membaca, menelaah dan mengoreksi semua laporan mahasiswanya. Tahapannya: (1) Beliau menelaah laporan awal kami dan selalu memberikan coretan-coretan tangannya pada laporan kami, (2) beliau undang kami (secara terpisah) untuk mendiskusikan laporan awal, (3) kami revisi laporan dan menyerahkannya kembali kepada beliau, (4) beliau baca laporan akhir (yang sudah direvisi), tanpa mengundang kami untuk diskusi kembali. Jadi setiap bulan, selalu ada laporan awal dan laporan akhir (yang direvisi).

Siang itu, beliau memintaku datang ke ruang kerjanya untuk mendiskusikan koreksi dan komentar beliau terhadap laporan awalku (Tahap 2). Dua hari kemudian, laporan awal kuperbaiki dan revisinya kusimpan di meja sekretaris (Tahap 3). Tidak seperti biasanya, setelah beliau membaca laporan akhirku (Tahap 4) beliau memanggilku.

Dudy, there is something wrong in your revised report. Look at this page” sambil telunjuknya mengarah kepada sebuah kalimat agak panjang di halaman 4 laporan akhirku. “Yes, Prof. It is wrong and it comes from your comments on my previous report. I simply added your comments to the revised one, as they are” begitu jawaban jujurku waktu itu.

Ketika menyusun laporan akhir, memang telah terjadi kegalauan batin atas kalimat itu. Kutahu kalimat itu salah, tapi kalimat itu adalah coretan tangan beliau pada laporan awal. Tanpa pikir panjang, kumasukan saja coretan beliau pada laporan akhirku. Selain ada rasa takut menyalahkan guru, kuyakin beliau mesti lebih hebat dariku dan malah pengertianku yang salah, begitu pikirku.

Setelah jawaban jujurku itu, beliau menutup laporan akhirku dan mulai menatapku dengan sorot mata yang tajam. “Dudy, there are three things that you have to understand. First, you are here is not to pleasing me. Second, you should not treat my words as a bible. Third, if you think that I am wrong, you must correct me”.

Kalimat terakhir beliau menyadarkanku tentang cara pandang beliau (baca: umumnya orang Eropa) terhadap relasi guru dan murid. Guru bukan seseorang yang harus selalu digugu dan ditiru oleh muridnya. Guru harus juga terbuka untuk “ditantang” oleh muridnya.

Setelah kejadian itu, pola diskusiku bersama beliau menjadi lebih cair, serasa berdiskusi dengan seorang sahabat. Dia hanya tersenyum jika kukatakan “Your understanding is incorrect, Prof”.

***
Parameter Statistik
suatu pagi yang hangat di bulan Agustus 2006

Pagi itu, beliau mengajak diskusi laporan awal yang kutulis. Salah satu topik diskusi adalah terkait sejumlah parameter statistik yang kupakai untuk menguji perbedaan dua variabel. Pada salah satu tabel, kupakai sejumlah parameter Mean Deviation, Standard Deviation, Root Mean Square Deviation.

“Dudy, why do use all of these parameters?” tanyanya, dan kujawab dengan singkat “I see at some papers, many people use these parameters. I just follow them”. Dengan suara yang sedikit meninggi, beliau berkata:

“But you are Dudy. You are different one!”.
“I do not care on what other people do, but I do really care on how you think. In your final report, I want you to choose only two parameters that you think they are best for your cases”.

Itu menjadi perintah terakhir dari beliau pada diskusi kali itu.

***
Sebuah Tamparan
suatu sore yang mendung di bulan September 2006

Di fakultas tempatku belajar (Fakultät für Mathematik, Physik und Geodäsie) terdapat program bertajuk Doctoral School yang telah berjalan sangat lama. Program itu merupakan ajang para mahasiswa doktor se-fakultas untuk memaparkan progres risetnya masing-masing di depan semua civitas akademika fakultas. Tapi, terkadang program itu menjadi sebuah killing field bagi sebagian mahasiswa, termasuk bagi diriku.

Pada hari itu, jadwal paparanku diagendakan pada pukul 15:00 CET dan semua orang sudah berkumpul di ruangan itu. Setelah bel berdentang tiga kali, moderator mempersilahkanku menuju mimbar. Mulailah progres riset kutunjukkan yang terfokus pada formula matematika yang baru saja kubangun. Ada rasa bangga dalam diri, kemudian berguman “Ah, ternyata bisa juga aku membuat teori dan rumus sendiri”. Nampak terlihat, rumus matematika yang cukup panjang hingga harus memenuhi hampir separuh halaman PPT (power point template).

Ketika sesi tanya jawab dibuka, pertanyaan pertama malah justru datang dari Prof. Brunner. Kali ini dengan gestur dan mimik yang tidak seperti biasanya, dia bertanya “Dudy, I have not seen your very long formula. How do you prove that the X variable is eliminated in your formula?”. Saya jawab “I have proven it using empirical simulations, Prof”. Seketika gestur dan mimik beliau makin tidak seperti biasanya “Dudy, why don’t you prove it theoretically? instead of using empirical calculations”. Belum sempat kurespon pertanyaannya, beliau lantas berdiri dan membalikkan badannya menghadap audience, kemudian berkata dengan keras dan tegas “I think, all of you have to know. Before Dudy came here, he wrote me an e-mail asking me to do theoretical research. Can you believe if he can be a theoretician? I don’t think so!”. Seketika itu pula, ruangan menjadi hening sehingga forum harus ditutup lebih awal karena tidak ada lagi pertanyaan apalagi komentar. Sebelum meninggalkan ruangan, beliau berkata “Dudy, we should talk tomorrow!”. “Yes, Prof” jawabku dengan gelisah sambil terus berpikir di mana letak salahku.

Ah, presentasi pertama di benua Eropa dan di hadapan orang yang umumnya belum kukenal (tapi mereka tahu bahwa jiwaku NKRI) harus berakhir dengan nestapa. Dari ruang presentasi, aku langsung turun ke sebuah basement yang menyediakan mesin penjual kopi dan asbak yang besar. Di tempat itulah, selama berjam-jam, kuhisap nikotin dan kutenggak kopi pahit dengan harapan nestapa itu bisa segera hilang.


Sesuai janjinya, keesokan harinya, beliau memanggilku masuk ke ruang kerjanya. Dengan berat hati dan tegang, kupaksakan duduk berhadapan dengannya. Mimiknya sudah tidak seperti kemarin, senyumnya kembali muncul. Beliau lalu berkata “Dudy, your presentation, yesterday, was really very bad!”, kemudian beliau melanjutkan:

“A scientific presentation is not to show up your ego, but to share your clear and concise ideas and thoughts. It was obvious to me that you tried to show up your ego by presenting your complicated mathematical formula. It seemed that you want to tell anyone how good you are. Believe me, it won’t be useful for you and the other!”

Kalimat beliau telah menampar relung jiwaku. Sebuah tamparan yang menyadarkan bahwa tingginya ilmu tidak seharusnya meninggikan hati.

***
Penghujung

Tulisan ini selain untuk mengenang 2 tahun kepergian seorang Guru dan Sahabat, juga untuk mengenang kebodohan dan ketololan yang pernah kuperbuat ketika menjalani masa sekolah di Institute of Engineering Geodesy and Measurement System (IEGMS)- Technische Universität Graz, Austria (April 2006 — November 2009).

Semoga anda dapat belajar dari kebodohan dan ketololanku pada waktu itu. Jika berkenan, mohon ditunggu cerita selanjutnya.

— Rest in peace, Dear Fritz.

— — —
Catatan Kaki
¹ Setelah berbulan-bulan menjalani program doktor, dugaan itu memang benar demikian adanya. Fritz selalu meminta dua hal: (1) ragukan isi buku/makalah yang akan dibaca, dan (2) uji secara kritis dan ketat setiap poko bahasan pada buku/makalah itu sehingga secara perlahan kita bisa menilai apakah isi buku/makalah itu semuanya benar atau masih ada kekeliruan. Tentunya sangat sulit mengikuti “gaya bermain” Fritz yang selalu skeptis, diperlukan pengetahuan dasar yang kuat. Namun, ketika sudah terbiasa itu akan bermanfaat untuk menjaga pemikiran kritis, memperkuat dasar dan tubuh keilmuan, dan mengasah kemampuan “melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain”. Kemanfaatan tersebut masih saya rasakan hingga saat ini.

--

--