7. Perjuangan Menepati Janji

writtenbygi
4 min readNov 10, 2021

--

Selasa, 16 Februari 2021

SBMPTN sudah dalam hitungan bulan. Semua murid kelas 12 yang bercita-cita masuk perguruan tinggi negeri bekerja keras. Banyak yang lupa tidur, banyak juga yang lupa makan. Rutinitas sejuta pelajar mendadak menjadi hanya bangun-belajar-makan-tidur. Tidak terkecuali Jeriko dan Aruna. Keduanya bekerja keras di tempat bimbingan belajarnya.

Sekarang sudah lewat dua minggu sejak berakhirnya pentas balet Black Swan. Aruna kini dapat memfokuskan diri seutuhnya pada pelajaran sekolah dan bimbingan belajar. Namun, dirinya mengalami kesulitan mengejar pelajaran. Ya, jelas. Absennya selalu bolong-bolong. Baik di sekolah maupun di tempat bimbingan belajar.

Kesulitannya itu terlihat nyata pada detik ini juga. Try out mingguan. Kini, suasana kelas di tempat bimbingan belajar sedang sangat hening. Semuanya berfokus pada lembaran kertas di hadapan mereka. Saking heningnya, suara detikan jam dinding terdengar sangat jernih.

Selama mengerjakan, mata Jeriko sesekali melirik Aruna yang duduk di seberangnya. Ia terlihat berkali-kali mengganti posisi tumpuan tangannya. Keningnya tiada henti mengerut. Sering kali penanya terlihat tidak bergerak sama sekali. Masih ada satu lembar yang belum tersentuh. Bayi baru lahir juga tahu bahwa perempuan itu sedang kesulitan. Melihat Aruna yang seperti itu, Jeriko sesekaki menghela napas. Pacarnya itu memang selalu begitu. Jika dibandingkan teman-teman sekelas, Aruna sedikit lebih lambat. Jika Jeriko selalu berada dalam peringkat lima besar, Aruna pasti berada dalam dua puluh lima besar. Dua puluh lima dari tiga puluh murid.

Kring!

“Waktunya sudah habis,” kakak pengajar memeringati. “Kertasnya boleh dikumpul sekarang dan kalian boleh pulang. Terima kasih,” sambungnya.

Peringatan itu membuat beberapa murid kalang kabut. Termasuk Aruna. Ia terlihat asal menyilang beberapa nomor. Bahkan cap-cip-cup saja tidak sempat. Setelah menyilang semua nomor, barulah mereka mengumpulkan lembar kerja mereka. Anak-anak sudah berhambur keluar dari ruang kelas. Kini tersisa Jeriko yang sedang menunggu Aruna merapikan tasnya dan si kakak yang sedang merapikan lembar jawab.

“Yuk.” Aruna menggendong tas ranselnya dengan bahu kanannya. Tangan kirinya menggenggam botol minum 3 liter andalannya. Kakinya mendahului Jeriko melangkah menuju pintu.

Belum saja kakinya melewati ambang pintu, Aruna sudah dipanggil oleh kakak pengajarnya. “Aruna!”

Dipanggil, Aruna pun berbalik badan. “Ya, Kak?”

Beliau menggaruk tengkuknya. Terlihat ragu untuk bicara. “Kamu… selain mau ke Psikologi UI, mau ke mana lagi?” tanyanya setelah jeda lima detik.

“Saya gak ada rencana isi pilihan kedua di SMPTN besok sih, kak,” jawab Aruna dengan mantap.

Jawaban itu membuat empat mata yang menatapnya membulat sempurna. Bahkan Jeriko baru mengetahui keputusan itu. “Oh… ya, udah. Nilainya ditingkatin lagi ya, Aruna,” pesan beliau sebelum akhirnya meninggalkan Aruna dan Jeriko berdua.

Begitu sudah ditinggal, Aruna menoleh pada Jeriko dengan senyuman besar di wajahnya. “Mau makan di warung tenda depan?” tawarnya.

Jeriko mengembalikan ekspresinya. Bibirnya kembali terseyum. “Yuk,” balasnya.

Sepasang kekasih jangkung itu berjalan keluar dari gedung bimbingan belajar. Kaki mereka menyeberangi jalan yang sepi kendaraan itu. Di depan mata, terdapat sebuah warung tenda pecel lele. Ini bukan kali pertama keduanya makan malam berdua di sana sehabis bimbingan belajar. Mereka selalu makan di sana jika sudah tidak kuat mendengar perut mereka meraung-raung.

“Eh, Neng Aruna, Mas Jeriko,” sapa sang pemilik warung. Lihat. Bahkan sang pemilik warung sudah akrab dengan keduanya. “Kayak biasa?” tanyanya.

Kepala Jeriko dan Aruna mengangguk bersamaan. “Iya, kayak biasa,” jawab keduanya sambil duduk di meja andalan.

“Oke. Tunggu sebentar, ya,” ucap pemilik warung sebelum melengos untuk menyiapkan makanan.

Ditinggal berdua, Jeriko dan Aruna bisa bebas bercakap. Jeriko menumpu kepalanya dengan tangan. Matanya tertuju pada matahari yang tidak tenggelam walau sudah malam. “Kamu… beneran gak bakal isi pilihan kedua?” tanya Jeriko setelah puas menatap Aruna.

Kepala Aruna mengangguk pelan. “Abisnya aku gak mau yang lain. Kan gak enak kalo aku kuliah di tempat atau jurusan yang aku gak mau,” balasnya. Sinar di matanya meredup melihat tatapan Jeriko. “Ke…napa? Kamu gak yakin aku bisa masuk UI, ya?” tanyanya pelan. Aruna tahu kemampuannya. Maka dari itu, agak sulit untuk membangun kepercayaan diri. Apalagi jika melihat tatapan orang. Mungkin mereka tidak mengatakan apa pun. Namun, matanya seakan mengejek, “Hah? Yakin? Lu kan bego.”

Jeriko menggeleng sambil tersenyum. “Yakin, kok.” Dengan tangan kanannya, Jeriko meraih tangan Aruna. “Aku bakal bantuin kamu ngejar pelajaran yang ketinggalan selama kamu balet,” janjinya.

Mendengar kalimat itu, sinar di mata Aruna kembali muncul. “Beneran? Yey! Jujur, aku kurang nangkep kalau diajarin guru. Kalau sama kamu mungkin langsung ngerti!” serunya.

“Hm…” Jeriko menggerak-gerakan bibirnya. “Gimana… kalo kita belajar bareng setiap gak ada les?” usulnya.

Kepala Aruna mengangguk semangat. “Boleh!” jawabnya. “Awan ikut, ya? Dia kan otaknya 11/12 sama aku,” tawanya. Aruna tidak berbohong. Di kelas, ia dan Awan duduk bersama di meja paling belakang. Percakapan mereka setiap hari hanyalah, “lu ngerti, gak?”, “enggak. Lu?”, dan “sama”.

Tawa Jeriko lepas. “Oke. Oke. Kita bikin kelompok belajar bertiga,” janjinya.

Percakapan tentang pelajaran berhenti sampai di situ. Malam itu, keduanya membicarakan banyak hal. Mulai dari gossip di sekolah hingga gossip artis luar negeri. Ikan lele di hadapan mereka pasti iri. Ingin ikut bergossip. Setelah puas makan dan bergossip, Jeriko mengantar Aruna pulang. Ia bercakap sedikit bersama sang ibu sebelum akhirnya pamit pulang.

“Ya. Gue harus bisa bikin Aruna sama Awan lolos SBMPTN!”

--

--