Bagian Dua

Aii🥀
6 min readMay 5, 2024

--

Gemini menandaskan americano dingin yang tiga puluh menit lalu ia beli. Gelas plastik kosong tadi ia simpan di samping tubuh, tepat di atas jok kulit dari taksi yang ia naiki saat ini.

Kaca jendela taksi yang tak tertutup membuat sepoi angin di siang hari itu menampar halus wajah tampan sang dominan. Pikirannya berkelana, pergi kembali ke tempat dimana ia mengalami insiden yang cukup memalukan selama ia hidup dua puluh tujuh tahun ini.

Jatuh, ditabrak oleh seseorang.

Bagaimana perasaan Gemini saat itu? Entahlah. Awalnya dia ingin marah. Jujur saja, rasa sakit yang punggungnya terima akibat menghantam kursi di kafe waktu itu membuat mood-nya anjlok seketika. Dia benar-benar sudah tidak ingin mempedulikan image sebagai penyanyi solo terkenal yang baik hati, ramah dan tidak sombong. Yang ada dipikirannya hanya memarahi orang ceroboh dan tidak hati-hati itu.

Tapi, saat suara halus berucap maaf dengan nada panik dan khawatir terdengar masuk ke dalam rungu, saat itu pula Gemini memutuskan untuk sedikit lebih lunak. Tapi dia akan tetap menegur tingkah tidak sopan orang itu, jangan pikir jika dia hendak melunak maka dia akan memaafkan tanpa mengomel dulu.

Ia akan tetap memberi ceramah pada orang itu, sampai orang itu sadar dan tak melakukan hal bodoh yang sama dikemudian hari.

Keputusannya sudah bulat, kepalanya ia toleh untuk melihat rupa orang yang baru menabraknya. Lelaki itu tertunduk, buat Gemini perlahan duduk. Rasa sakit yang teramat di punggung membuat dia tanpa sadar mendesis. Sumpah demi apapun, kursi kafe ini terbuat dari apa? kenapa punggungnya bisa sakit separah ini?

Tapi syukurnya, rasa sakit itu hanya ia rasakan saat di kafe saja. Sekarang ini, Gemini cukup merasa nyaman karena punggungnya sudah tak sesakit tadi.

Kala empat roda taksi memasuki area jalan yang di sisi kanan kiri terdapat pohon-pohon besar yang menggugurkan serbuk bunga berwarna kuning, membuat lagi-lagi kepala Gemini teringat pada kejadian di kafe. Lebih tepatnya, pada orang yang menabraknya, lelaki manis dalam balutan sweater hangat berwarna kuning lembut yang memandangnya dengan binar khawatir begitu jelas dipancar mata.

Saat itu, Gemini serasa bodoh.

Sebagai seorang penyanyi yang sudah berkecimpung di dunia entertain selama sepuluh tahun lamanya, bukan tidak mungkin seorang dominan seperti Gemini bertemu dengan perempuan dan submisif cantik nan manis yang juga aktif bekerja di bidang yang sama dengannya. Bahkan tak jarang Gemini akan melakukan project bersama artis-artis cantik. Tapi tak ada satupun dari mereka yang berhasil membuatnya tertegun hanya karena pertama kali bertatapan.

Gemini ingat, sewaktu ia mendapat tawaran membintangi sebuah series romansa lembut dan mendapat lawan main yang sudah tak dapat diragukan lagi kecantikannya, tapi dia tidak memberi reaksi seperti saat ini. Jantungnya bahkan tidak berdetak kencang saat dia dan si cantik itu harus mengambil peran layaknya sepasang kekasih yang saling mencinta dan mendamba sambil memagut bilah bibir dengan manisnya.

Gemini biasa saja.

Tapi kenapa, sewaktu bertatapan dengan si pemilik mata berbinar itu buat jantungnya tak berhenti berdegup kencang?

Sejujurnya Gemini tidak percaya akan keberadaan cinta pada pandang pertama yang selalu diagung-agungkan oleh Pakin —manager pribadinya— yang menemukan pasangan karena itu. Bagi Gemini yang cuma pernah merasakan berpacaran dua kali selama dua puluh tujuh tahun ia hidup, perlu waktu lama untuk jantung dan hatinya bereaksi terhadap afeksi yang pasangannya berikan sampai menciptakan benih berupa perasaan cinta.

Tapi lelaki di kafe itu ... berhasil membuat perasaan yang dikiaskan sebagai kupu-kupu beterbangan di dalam perut, ia rasakan. Lelaki itu berhasil, membuat Gemini linglung hanya karena tatapan penuh khawatir yang ia tampilkan ke arahnya. Lelaki itu, dengan titik tahi lalat kecil di pipi, berhasil membuat Gemini nyaris kehilangan kendali diri untuk beri satu buah kecupan singkat tepat di mana titik itu berada.

Gemini merasa, saat itu ia seperti bukan dirinya.

Keinginan untuk membawa lelaki itu mendekat padanya. Keinginan untuk mendekap si cantik itu dengan lengan kekarnya. Keinginan untuk mengecupi bibir merah meronanya berkali-kali, sampai kedua pipi putih bersih itu menampilkan semburat merah malu-malu.

Dia ingin melakukan itu semua.

Membuat logika dan hasrat Gemini berperang kala itu. Itu juga yang membuat Gemini segera beranjak dari dalam kafe saat minuman yang ia pesan sudah berada di tangan.

Sumpah ...

Yang tadi itu ... beneran jatuh cinta pandang pertama atau apa? Kenapa Gemini merasa kalau dia malah lebih mirip orang mesum yang tiba-tiba nafsu hanya karena bertabrakan dengan orang cantik.

Iya ... lelaki yang menabraknya itu cantik. Sangat cantik sampai membuat Gemini pening.

Dering nada panggilan masuk ke dalam gawai membuat lamunan Gemini melebur. Tangannya cepat meraih benda pipih itu dari dalam saku hoodie. Nama Mark Pakin tertera sebagai si pemanggil membuat Gemini tanpa pikir dua kali langsung mengangkat panggilan.

Gawai ia dekatkan pada telinga, bibirnya cepat melontarkan kalimat yang berhasil membuat orang di seberang sana terdiam beberapa saat sebelum membombardirnya dengan omelan.

"Gak cukup lu buat gua puyeng mikirin bayar denda variety show yang lu batalin sepihak itu huh? Sekarang lu mau nambah masalah? Dating?!! Gua bolehin lu dating, asal lu jago main petak umpet. Tapi lu kagak jago anjing, endingnya apa?!! Ketauan, pacar lu minta putus, terus yang riweuh gue!!!”

"Habis ini mau bikin masalah apa lagi lu? Mau nikah tiba-tiba?!! Udahlah, jangan banyak tingkah. Mending lu balik ke apart, lu masih punya tiga jadwal yang —”

Gemini mematikan panggilan secara sepihak. Kupingnya berdenging mendengar teriakan managernya.

"Dasar submisif tua cerewet," dengusnya.

Gawai yang tadi masih asik bergetar karena spam panggilan dari Pakin membuat Gemini mematikan ponselnya begitu saja. Perjalanannya menuju rumah orang tua sudah dekat, dan dia ingin menikmati waktu tenang sebentar sebelum harus menghadapi ibunya yang tak akan pernah berhenti mengajaknya bicara saat sudah ada ia di rumah.

Ekspektasi Gemini meleset. Bukannya mendengar kehebohan dari mulut ceriwis sang ibu yang akan bercerita tentang segala hal kegiatan yang dia lakukan baik di rumah maupun di luar rumah, tapi dia malah dihadapkan dengan sosok kepala keluarga yang kini tengah menatapnya dengan tampang serius.

Ada apa ini? Apakah dia akan dipaksa untuk membantu mengurus perusahaan?

Ah, jadi bagaimana dengan rencananya berliburnya mengelilingi berbagai negara satu tahun ke depan?

"Ayah," panggil Gemini pelan. "Ada yang pengen Ayah bicara-in??"

Si kepala keluarga tak langsung menjawab. Wajah tua dengan garis kerutan di sisi kedua matanya menajam, menatap putra bungsu-nya itu lamat-lamat sebelum berujar.

"Kamu sudah 27 tahun ‘kan?"

Apa dia benar-benar akan diberi mandat untuk mengelola perusahaan? Ayahnya sudah membawa-bawa umur dalam obrolan. Tapi dia belum genap menginjak kepala tiga, sedang perjanjian dalam surat warisan adalah ‘Gemini mulai mengurus dan mengembangkan bisnis keluarga Titicharoenrak saat berumur 30 tahun’. Jangan bilang keputusan dalam surat warisan dipercepat? Oh tidak!!

Dengan kedua bahu merosot, Gemini menganggukkan kepala sebagai jawaban. Hangus sudah rencana berlibur satu tahunnya dengan hanya malas-malasan dan menghabiskan uang keliling dunia.

"Kamu juga pasti punya banyak uang dari hasil pekerjaanmu, 'kan?"

Sekarang dia ditanya soal uang. Apa dia akan diminta untuk mengelola saham dan menanamkan saham pribadi di perusahaan? Tapi dia sudah memiliki persenan saham disana, apa harus ditambah lagi?

"Cukup banyak untuk hidup sampai berapa tahun?"

Pertanyaan selanjutnya yang keluar dari bilah dominan yang lebih tua membuat Gemini terdiam beberapa saat, sebelum menjawab. "Cukup untuk membiayai Gemini 10 tahun ke depan kalau gak boros." Iya, jika dia tidak dapat merealisasikan rencana berlibur keliling dunia-nya.

"Hm, banyak juga." Lelaki yang lebih tua memangku dagu dengan kepalan tangan. Matanya menatap lurus pada sang putra bungsu lamat-lamat, "Terus, kamu punya pacar?"

Kenapa menanyakan perihal pacar? Gemini sekarang bingung tujuan Ayahnya meminta untuk mengobrol itu apa.

"Gak ada."

"Perusahaan tempat kamu kerja ngelarang pacaran?"

"Enggak, Tapi artis yang belum empat tahun debut gak boleh pacaran dulu.”

Lagi-lagi Gemini dapat melihat Ayahnya itu hanya mengangguk-angguk sambil berdeham panjang. Kini kepalan tangan yang tadi memangku dagu sudah ia bawa untuk mengelus jambang tipisnya ke bawah. Khas ayahnya sekali jika sedang ribut mempertimbangkan segala sesuatu di dalam otak.

"Berarti kamu gak masalah dong kalau nikah? Ayah mau lihat kamu menikah Gemini. Kamu gak keberatan ‘kan?”

"Hah?"

Dan kali ini, Gemini total tak sanggup memikirkan segala spekulasi di otaknya lagi. Matanya membola dengan rahang terbuka lebar.

“Nikah, Ayah?" tanyanya memastikan.

"Hm. Kamu gak masalah nikah sama laki-laki ‘kan? Dia submisif kok.”

APALAGI INI YA TUHAN?!!!!

Bye-bye rencana liburan setahun penuh, Gemini sepertinya akan tetap sibuk walau sudah memulai waktu hiatusnya.

"Pikirin ya, Nak. Ayah tau kamu gak bakal ngecewain, Ayah."

Gemini mau menangis rasanya.

Menangisi gagalnya rencana liburan setahunnya mengelilingi dunia. Karena perintah ayahnya, tidak akan pernah bisa ia tolak walaupun dia tidak setuju dengan keputusan yang kepala keluarga Titicharoenrak itu buat.

"Perasaan aneh yang gua rasakan di kafe saja masih bikin gua bingung ayah, lah sekarang malah disuruh nikah? Calon gua siapa?”

“Hadeuh, gagal liburan.”

Bersambung ...

--

--