Sorai — 128.

yourkukiess
6 min readFeb 17, 2022

--

© pict from pinterest

cw // kissing

Jimin membuka matanya perlahan, mengerjap pelan guna membiaskan cahaya redup pada ruangan penuh bau obat-obatan tersebut. Dia melirik sekilas infus di tangannya lalu menatap lurus pandangan di hadapannya yang berupa gorden, kembali mengingat apa yang terjadi padanya.

Hari ini tempat magangnya mengadakan seminar dan dia dengan anak magang lain ikut menjadi panitia. Walau suhu tubuhnya sejak pagi sudah tidak bagus, Jimin tetap memaksakan diri untuk mengikuti kegiatan tersebut. Setelah acara selesai, tentu dia dan lainnya juga ikut membereskan tempat tersebut. Walau sudah sempat makan sedikit dipaksa oleh Joshua dan Dika, juga minum obat seadanya sesuai dengan keluhannya, ternyata tubuhnya tetap berdemo meminta untuk istirahat yang berakhir dirinya tumbang kala merapikan kursi-kursi. Selebihnya dia tidak tahu kalau sampai di bawa ke rumah sakit.

Selesai mengingat kejadian tadi, tentu hal pertama yang dilakukan Jimin adalah menegakkan tubuhnya untuk mencari teman-temannya. Namun betapa terkejutnya dia ketika gorden coklat itu terbuka dan menampakkan pemuda yang sangat dia kenal, ingin dia hindari mungkin selamanya, sedang berdiri dengan wajah terkejutnya dan kresek hitam di tangannya.

“Gue habis dari minimarket depan. Gimana? Udah enakan badannya? Atau pusing?”

Jimin menggeleng lalu membuang mukanya kala sang empu duduk di kursi sebelahnya.

Tunggu, jangan bilang dia sudah ada di sini sejak tadi?

“Baru jam 1 pagi, mending lo tidur lagi. Gue temenin di sini.”

Tak menjawab, Jimin membiarkan keheningan melingkupi mereka. Ia pun berusaha untuk memejamkan matanya lagi namun sial, kepalnya terlalu berisik membuat banyak pertanyaan. Terutama pertanyaan besarnya, kenapa Yoongi berada di sini?

“Chat gue gak lo bales dari kemarin. Gue tadi telepon lo karena khawatir gak tahu kenapa, terus yang angkat temen lo. Mana beda-beda lagi suaranya.”

Refleks menoleh pada Yoongi, dahi Jimin mengernyit bingung. “Beda-beda?”

“Jangan keras-keras, bukan lo doang di sini,” peringat Yoongi yang diangguki Jimin. “Iya, mereka takut mau bilangnya kalau lo pingsan di tempat magang dan emang lagi sakit.”

“Lagian udah tahu sakit tapi maksain diri,” Yoongi menarik hidung Jimin membuat sang empu mendengus.

“Daripada di kos ndak ngapa-ngapain,” elak Jimin kembali membuang muka.

Yoongi menggeleng heran, “kata temen lo yang namanya Dika itu, lo bergadang sibuk ngerjain jokian, kadang lupa makan. Makan siang di tempat magang juga lo skip buat tidur. Cari penyakit itu namanya.”

“*Babahno.”

*biarin

Yoongi menghela napasnya, mencoba sabar dengan sikap keras kepala pemuda itu. Padahal jika Yoongi tahu, Jimin benar-benar berusaha membuat dirinya sibuk agar tidak terpikirkan tentangnya. Hening kembali menyelimuti mereka namun Jimin tak bisa segera menjemput kantuknya lagi. Rasa penasaran dengan Yoongi, juga Lea kembali timbul.

Haruskah dia bertanya? Tapi, bukankah semua sudah jelas?

“Sabtu balik?”

Jimin menggeleng, “ndak tahu.”

“Lah, pesta tunangan abang sendiri gak dateng?”

“Hah?”

Jimin menutup mulutnya yang refleks bersuara cukup keras. Kepalanya pun ikut menoleh, menatap Yoongi yang juga terkejut.

“M-Mas Seokjin tunangan?”

Yoongi mengangguk.

“Sama siapa? Kok tiba-tiba?”

Yoongi yang tadinya terkejut dan bingung dengan pertanyaan Jimin malah tersenyum. Tepatnya menahan tawa. Dia dan Seokjin pikir Jimin sudah melihatnya dan kesal sampai enggan membalas pesannya.

“Udah lihat undangan dari Lea belum?”

Jimin menggeleng.

“Coba sekarang cek.”

Yoongi mengambil ponsel Jimin yang dia simpan di saku jaket sejak datang. Sang pemilik menerimanya lalu menatap yang lebih tua dengan penuh curiga.

“Dilihat dulu undangannya baru buat kesimpulan.”

Mengabaikan Yoongi, Jimin segera mencari chatroom-nya dengan gadis tersebut. Terakhir kali dia benar-benar muak dan enggan membalas. Namun sekarang entah mengapa rasanya ada kabar baik yang harus dia ketahui.

Seperdetik kemudian matanya membola, kedua ibu jarinya sibuk bergesekan pada layar ponselnya. Tampak memperbesar gambar, tak percaya dengan apa yang tertulis di sana.

“Iki bohong, ya?” sangkalnya lalu menoleh pada Yoongi yang tersenyum penuh arti, “bukannya yang tunangan sampeyan sama Mbak—”

Ucapannya terpotong dengan benda lembut yang tiba-tiba menempel pada bibirnya. Menghentikan kesimpulan yang sejak kemarin menghantuinya, namun semakin menambah pertanyaan yang berdesakan di kepalanya untuk meminta jawaban.

“M-Mas!” pekiknya tertahan dan segera mendorong pundak sang empu agar memberi ruang keduanya.

“Yang tunangan abang lo sama Lea, bukan gue sama Lea.” Yoongi memperjelas siapa yang akan melaksanakan acara tersebut. Matanya menatap Jimin yang juga menatapnya bingung, bak anjing kecil yang tersesat dan tak tahu harus ke mana.

“Bukannya Mbak Lea orang yang pernah confess ke sampeyan? Terus dia dateng lagi ke sini buat berusaha luluhin sampeyan lagi? Kenapa tunangannya sama Mas Seokjin? Terus Mas Yoongi ngapain cium a—ku ….”

Pertanyaan beruntun itu terhenti kala Yoongi kembali mendekat. Kali ini dikecupnya kening yang lebih muda, berusaha meredakan emosi yang terselip di setiap ujarannya, menenangkan sang empu.

“Gue sukanya sama lo,” bisiknya tepat di hadapan wajah Jimin, “sejak empat tahun yang lalu, sampai sekarang.”

— 4 tahun yang lalu.

Tiap libur semester, Yoongi menghabiskan waktunya di kampung sekadar untuk melepas rindu dengan keluarganya. Sore itu Yoongi baru selesai bermain PS dengan Seokjin. Salah satu temannya di kampung ini sejak TK sampai sekarang di bangku kuliah semester dua. Dimintai sang mama untuk membeli salah satu bahan masak, ia pergi sekalian bersama Seokjin yang akan pulang.

Asyik mengobrol seolah tak pernah habis obrolan mereka, lalu suara melengking yang berasal dari pekarangan rumah Seokjin membuat keduanya menoleh. Tak lama seorang pemuda yang lebih muda dari mereka keluar pekarangan dengan tubuh penuh tepung. Diikuti oleh beberapa temannya yang membawa sisa tepung dan juga membawa selang tanaman.

“Adik lo?” tanya Yoongi melihat seongok manusia serba putih masih dengan seragam pramukanya itu terduduk di tengah jalan dan diguyur air selang.

Seokjin mengangguk, “lagi ulang tahun. Biasalah.”

“Oh, pantes.”

“Ya wis, aku balek, yo?”

Yoongi mengangguk dan membiarkan Seokjin mendekati rumahnya yang tersisa beberapa langkah lagi, sedangkan warung yang sedang dia tuju sudah berada di sampingnya. Bukannya segera melaksanakan perintah ibu ratu, dia asik memperhatikan Jimin yang merengek sebab teman-temannya terus mengerjainya.

Dia pun ikut terkekeh setelah melihat jika serbuk putih itu bukan hanya tepung biasa tapi juga tepung tapioka. Pantas saja pemuda yang tak berdaya itu terus merengek bak bayi yang tak diberi susu. Pasti lengket sekali di rambutnya itu.

Kesan pertama yang dia lihat dari pemuda itu adalah menggemaskan. Sayang, dia tidak tahu nama pemuda itu siapa. Yang dia tahu hanya Seokjin mempunya adik yang dua tahun lebih muda dari mereka. Namun dia tidak tahu jika adiknya semanis itu.

“Tanya Seokjin deh nanti dichat.”

flashback end.

“Aku pas iku cemong banget loh, Mas!” Jimin segera menarik selimutnya untuk menutupi wajahnya, bahkan tak peduli infus di tangannya terus bergerak.

Yoongi terkekeh, “Gak apa-apa. Gemes lihatnya.”

“Gemes dari Hongkong?” sekarang dia mengibaskan selimutnya, menunjukkan wajahnya yang sebal. Labil memang.

“Waktu itu gemes pengen nambahin tepungnya sih, kebetulan lagi di warung.”

“Ih, Mas Yoongi!!”

“Stt, jangan berisik.”

Jimin mendengus sembari menutup mulutnya. Matanya melotot kesal pada Yoongi seolah ini salah yang lebih tua.

Yoongi mengambil tangan tersebut, terutama tangan yang terdapat infus itu, menaruhnya di paha sang empu lalu menggenggam tangan lain yang bebas dan diusapnya dengan sang ibu jari.

“Biarin itu infusnya habis. Jangan banyak bergerak,” ujarnya lembut bermaksud mengingatkan.

Namun sang empu yang mendapatkan afeksi tersebut terpaku di tempat, sibuk meredakan detak jantungnya yang mulai berdetak dengan tak waras, juga mulas pada perutnya. Sungguh, dia ingin memuntahkan kupu-kupu yang bersarang di perutnya sedari tadi setelah mengetahui jika sang kakak yang bertunangan dan cerita Yoongi tengang dirinya.

“Terus Mas Seokjin sama Mbak Lea?”

Yoongi tersenyum, “mereka udah kenal dari kuliah. Waktu kuliah, Seokjin pernah iseng ke Jakarta nyamperin gue dari kosnya. Lea temen gue dari kecil di Jakarta dan dia bukan orang yang pernah confess ke gue. Kalau masih penasaran, tanya aja ke mereka nanti.”

Jimin mengangguk samar, pipinya tampak mengembung untuk menghindari rona merah malunya yang muncul. Yoongi yang melihatnya hanya tersenyum memaklumi.

“Jadi, Sabtu balik gak?” tanya Yoongi, “biar gue gak sendiri nanti. Males diledek terus sama abang lo.”

Anggukan Jimin membuat pemuda di hadapannya tersenyum lebar. Namun sedetik kemudian senyumnya luntur kala Jimin menggeleng dengan wajah menuntut.

“Jelasin dulu tentang Mbak Lea yang ngaku gitu dan semua pokoknya yang buat aku bingung. Baru aku mau.”

Yoongi mengangguk berkali-kali, mengecup punggung tangan yang sedari tadi dia usap, membuat Jimin semakin terbang dan sadar bahwa ini bukan sekadar mimpi atau alam bawah sadarnya.

© yourkukiess, 2022.

--

--