We All Need Someone to Stay

z
4 min readAug 19, 2023

--

Raline celingak-celinguk menunggu kedatangan Dimas. Ia menunggu Dimas di taman dekat apartemennya. Sudah tiga puluh menit ia menunggu kekasihnya itu, tapi belum juga ia melihat batang hidungnya. Haripun sudah mulai sore, sebentar lagi sudah masuk waktu malam.

Raline memeluk badannya. Ia sedikit kedinginan. Selain kota ini habis diterpa hujan, semalam pun tidurnya hanya sedikit. Dikarenakan tiga jam sebelum waktu ia tidur, ia melakukan hal ekstrem dulu. Ia juga tak pernah membayangkan akan melakukan hal gila itu. Karena bagi ia sendiri, speak up bukan hal yang tepat untuk berdamai sama masa lalu.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi ia salah mengartikan. Lebih baik speak up dibanding harus memendam luka dan trauma itu terus-menerus. Karena kalau terus dipendam pun, gimana mereka tahu kalau hidupnya tidak baik-baik saja setelah mereka melakukan hal seperti itu pada dirinya lima tahun yang lalu?

Jauh di lubuk hati, ia sempat ketakutan saat meminta tolong pada Thasya untuk mengirimkan kalimat terima kasih itu pada mereka. Karena ia takut dengan tanggapan mereka, dengan balasannya mereka. Ia juga takut kalau mereka hanya menganggap apa yang ia rasakan selama lima tahun terakhir hanyalah candaan, hanyalah ilusi.

Atau bahasa kasarnya, ia sedang mencari perhatian pada mereka agar mereka bisa sadar dan segera meminta maaf pada sang korban.

Padahal nyatanya tidak seperti itu.

Ia jelas merasakan traumatis mendalam selama lima tahun yang lalu. Banyak ketakutan yang menghampirinya, banyak juga mimpi-mimpi buruk yang berdatangan tiap kali ia tertidur. Apa lagi di mimpi-mimpi buruk itu, mereka hadir lagi, mereka melakukan hal yang kasar lagi padanya. Dan itu adalah sebuah luka mendalam yang belum bisa ia lupakan sampai saat ini.

Memaafkan memang mudah. Tapi untuk melupakan? Tidak semudah yang dibayangkan. Banyak rintangan yang harus ia lewati, banyak jalan yang ia harus datangi, tapi belum ada satupun perbuatan mereka yang hilang dari pikirannya. Belum ada satupun trauma yang bisa ia sembuhkan.

Tapi setelah tahu mereka merasa bersalah dan juga sudah meminta maaf, mungkin Raline akan menghilangkan perbuatan mereka secara perlahan. Mungkin Raline akan melupakan semua yang ia dapatkan pada lima tahun yang lalu. Dan mungkin Raline akan menyembuhkan satu-persatu trauma juga ketakutan yang ia terima.

Raline tersentak kaget dari lamunannya ketika ada jaket yang tersampir di bahunya. Ia mendongak, mendapati seseorang dengan tubuh jangkung dan hidung mancung sedang tersenyum dihadapannya.

Laki-laki tersebut menarik bangku kecil yang tak jauh dari tempat Raline duduk, kemudian dia dudukkan dirinya dihadapan Raline. Agar bisa melihat jelas wajah gadis itu.

“Lagi ngelamunin apasih? Kok seserius itu wajahnya?”

“Aku lagi berpikir aja. Gimana ya, kalau mereka gak tahu soal hidup yang aku terima setelah mereka lakuin itu? Apa mereka akan terus menganggap kalau yang mereka perbuat itu gak kelewatan? Ataukah mereka malah nganggap mereka gak pernah ngelakuin perbuatan itu? Gimana menurut kamu Dimas?”

Ya, laki-laki dihadapannya itu adalah Dimas. Laki-laki baik yang telah menemaninya selama lima tahun belakangan ini.

“Aku gak tau mau bilang apa. Soalnya aku heran deh sama kamu. Kenapa kamu perlu mikirin ini? Toh, mereka juga udah sadar sama kesalahan yang mereka lakukan pada kamu itu udah sangat kelewatan. Dan aku akui juga mereka cukup berani untuk meminta maaf pada korbannya. Meski gak lewat kamu secara langsung. Tapi setidaknya mereka sudah berusaha sadar. Mereka sudah berani mengakui kesalahannya.”

“Tapi Dim, aku salah gak sih, bilang seperti itu pada mereka? Pagi tadi aja aku kayak orang bodoh, kenapa aku harus bilang kayak gitu.”

Dimas tidak menjawab. Justru merengkuh tubuh kurus itu ke dalam pelukannya. Mengusap kepalanya, mengusap punggung kuat itu, dan menenangkan pikiran gadisnya. Dimas tahu betul seperti apa ketakutan yang gadisnya terima tadi malam. Walaupun ia tidak ada disisi gadis itu, tapi ia merasa kalau Raline punya banyak ketakutan setelah menerima permintaan maaf dari pelaku yang telah mengguncang hebat dunianya lima tahun belakangan ini.

“Kamu gak salah. Justru kamu hebat, sudah berhasil keluarin semua keluh kesah kamu pada mereka, meski harus diawali kata terima kasih. Tapi menurut aku, itu sudah menjadi jalan yang benar untuk mengakhiri masa lalu kamu dan memulai kembali hari-hari kamu tanpa memikirkan perbuatan mereka lagi. Aku yakin kamu akan bisa melawan semua trauma dan ketakutan yang kamu terima selama lima tahun terakhir. Karena kamu dan mereka juga sudah selesai. Mereka sudah meminta maaf dan kamupun sudah menerima maaf itu.”

“Meski gak mudah yang aku katakan, tapi ayo sama-sama berjuang untuk melupakan semua hal yang telah kamu terima. Ayo sama-sama berjuang untuk menghapus pikiran-pikiran buruk itu. Ayo sama-sama berjuang untuk menyembuhkan trauma itu. Ayo sama-sama berjuang untuk menghilangkan semua ketakutan itu. Pelan-pelan gapapa, asal satu-persatu mulai hilang dari pikiran kamu.”

Raline melepas pelukannya. Lalu menundukkan kepalanya, membiarkan air mata itu menemaninya. Air matanya telah jatuh seiring Dimas berbicara. Raline tidak tahan untuk menangis dan Dimas membiarkannya. Biarlah Raline meluapkan semua emosinya.

Lebih baik begitu, daripada Dimas harus melihat wajah tegar itu tidak mengeluarkan air mata. Daripada Dimas harus melihat Raline memendam emosinya. Daripada Dimas harus melihat Raline berpura-pura tegar dihadapannya.

Dimas lebih memilih Raline menangis dibanding Raline menegarkan dirinya. Palsu, ia tidak suka ketika Raline harus berpura-pura dihadapannya.

Karena dihadapannya, ia ingin Raline menjadi dirinya sendiri. Bukan menjadi orang lain.

“Ayo, berjuang bersama.”

--

--