BURN THE WALL #1: Sebuah Gigs Perdana yang Kami Garap Secara Swadaya Bersama Sarsetarian

Zero Nowhere
5 min readJan 20, 2024

--

Cerita ini dimulai pada sekitar satu bulan yang lalu, tiga pemuda yang hobi bermusik dan juga gemar mendegarkan bahkan mengikuti musik-musik favorit dari setiap musisi yang mereka sukai mempunyai ide gila untuk merancang sebuah acara gigs yang tentunya bersifat underground di kota Bekasi. Gagasan bikin gigs itu muncul secara tiba-tiba. Yah, anak-anak ini sungguh naif, tidak profesional namun sangat emosional.

@bridgesubcrew

Tekad mereka hanya satu saat itu, “Jangan sampe kita hidup gak pernah ngelakuin apa-apa dari hal yang sama-sama kita sukai”. Yah, se-sederhana itu aja. simpel dan naif. Sebuah cita-cita luhur yang sangat perlu di-amini. Setelah beberapa kali berunding untuk ngobrolin persiapan acara tersebut dari satu tempat ke tempat lainnya, akhirnya mereka sepakat untuk menunjuk venue gigs yang akan ditempati. Meskipun terlihat mudah untuk membagi tugas dengan mengambil peran untuk memiliki tanggung jawab, nampaknya malah tiga pemuda itu mengambil eksekusi metode bekerja secara sporadis. Jelas saja karena mereka sama sekali bukan orang-orang yang berpengalaman di bidang Event Organizer. Meski segilintir anak pernah mencicipi rasanya bikin event kecil pada masa sekolah ataupun kuliah di agendanya masing-masing.

@aveda.kedavra

Singkat cerita akhirnya titel acara pun sudah diputuskan. Simpel namun powerful. Yaitu, Burn The Wall. Berasal dari ide, “Gapeduli lu berasal dari tongkrongan mana, abang-abangan lu siapa, band lu keren atau ngga. Semua nya berhak bersenang-senang, saling bercengkerama satu samalain dan tentu nya buat diri senyaman mungkin tanpa harus mengecilkan, dan merugikan individu-individu lain nya.”. Akhirnya, Band pengisi acara juga sudah di-list. Sebagian besar justru dari kalangan dalam yang memang mereka kenal dan mempunyai relasi juga — hingga seolah-olah ini seperti proyek bikin acara sendiri, main-main sendiri, dan ditonton sendiri. Bahkan salah 2 dari mereka yang kebetulan punya band juga harus ikut main demi memenuhi desakan kebutuhan menyewa sound system dan lain nya. Sponsor? Fuckin hell! mana ada korporat ataupun brand-brand mentereng mau untuk support acara yang gak jelas ini. Modal acara murni swadaya ; ya patungan anjeng! Bahkan band yang main pun musti bayar untuk menutupi dana sewa alat dan sound. Semua dana yang masuk langsung abis untuk menambahi dana sewa, urus ijin, publikasi, dll. Selebihnya dimodali oleh semangat dan tekad bulat. Mereka udah kontrak mati siap bekerja keras, rela banting tulang dan begadang. Semua saling membantu dengan rasa solidaritas dan kekeluargaan. Gak akan pernah mundur, proyek ini harus terwujud!

@gegar_ina

Mereka bertiga mulai bagi tugas ; ada yang tiap hari kontak band sana-sini untuk ngajak main di gigs tersebut, sementara yang lain sibuk untuk lebih mematangkan acara ini dengan narasi dan persiapan live record yang rencana nya akan di jadikan “mixtape” dalam format Kaset Pita. Sayang seribu sayang, ampun seribu ampun hal yang satu ini gagal. Live record dibatalkan karena salah satu dari ketiga orang tersebut memiliki tape yang sebelumnya bisa mereka andalkan untuk membuat “mixtape” malah tiba-tiba ngerengek minta jajan (ya rusak kudu di service lebih tepatnya!). Salah satu kawan yang jago desain grafis (kalo lagi mabok) juga membantu bikin sketsa pamflet, tiket, dan backdrop — yang hasilnya langsung di print sendiri. Ada juga seorang kawan yang gemar motret ikut membantu mendokumentasikan acara tersebut dengan di beri imbalan “cap nuhun” kurang lebih nya berbunyi, “Tengkyu ya, sori nih ga bisa ngasih apa-apa” karena minim nya anggaran untuk gigs tersebut. Yang doyan jalan dan begadang ditugasi untuk terus berkoneksi dengan kawan-kawan yang memiliki venue berupa kedai coffee di salah satu daerah Bekasi juga. Ada juga yang rajin ngurus band dan rundown seolah-olah dia seorang stage manager yang handal. Sisanya standby untuk siap menjalankan tugas yang lain!

@roaringhead

Crowd? Gak terlalu banyak. Sekitar 60 atau bahkan 70 kepala datang dengan sangat antusias. sayangnya masih banyak individu yang (mungkin) ngerasa “ah ngapain juga gua beli tiket acara gembel kaya begini? lagian juga gampang kok kalo mau bobolan”. Kontolan buat lo semua yang suka dateng ke gigs yang bersifat swadaya tapi ga beli tiket nya, persetan dengan semua alasan lo. Kalo mau banyak gigs-gigs underground nampilin band yang genre nya lo demen, support lah dengan cara beli tiket. Lagipula dengan beli tiket di gigs-gigs underground ga bikin panitia nya bisa liburan a la selebgram ke Bali juga kok. Jika ditanya tertib atau enggak nya untuk urusan datang ke acara dan membayar ticket, itu masih jauh dari ekspektasi tertib ataupun menghargai.

@merowiseband

Tapi tak kalah pentingya dari hal itu, mereka yang datang memang penuh totalitas seperti sedang merayakan lebaran-nya. Untuk pertama kalinya tiga pemuda ini baru saja menyadari terjadinya konsentrasi massa yang cukup masif. Lengkap dengan dandanan khas dan nyeleneh seperti kaos metal item-item, rambut gondrong dan mendadak bule, masker wajah, rambut mohawk warna-warni hasil karya lem kayu & zat pewarna kue, atribut rantai, peniti dan kalung gembok. Ya, hari itu seperti hari raya underground di kedai coffee ahaha. Semua tampak menggairahkan dan cukup menyentuh.

@poisonpowerx

Lalu untung berapa tiga pemuda tersebut? Huh, balik modal aja enggak! Tapi mereka cukup puas dan tidak pernah menyesali proyeknya. Sebab mereka akhirnya mewujudkan sebuah hal yang selama ini di idam-idamkan. Itu jadi langkah awal yang monumental. Karya kecil yang berdampak luar biasa dan penting bagi mereka bertiga. Itu kalo kita mau riset berapa anak muda yang akhirnya memutuskan membentuk band setelah menonton acara tersebut. Atau berapa anak yang akhirnya merasa yakin bahwa bikin gigs itu ternyata mudah dan bisa dilakukan. Juga hitung berapa banyak anak yang akhirnya memutuskan betah dan eksis di scene cadas dan tak manja ini hingga sekian lama. Hingga mendorong scene tiap daerah sendiri lebih aktif dan produktif dalam berkarya.

@deadwithpuritans

Yah, ini hanya sekedar cerita dari ketiga pemuda yang ingin melampaui batas maksimum pada dirinya di kejadian satu bulan yang lalu. Anggap saja sebuah pencapaian sederhana yang memang patut dirayakan dari sebuah pembelajaran hidup untuk saling menunda kekalahan dan memilih untuk terus hidup dengan sepenuhnya. Memang kisah kecil yang mungkin gak penting buat anda. Jaman sudah berubah. Biarlah ini jadi catatan dan sejarah. Untuk kamu yang masih eksis di sini, ambil saja semangatnya. Buatlah sejarah-mu sendiri dan terlibatlah di dalamnya. Jadilah pionir, jangan mau jadi pengekor saja. Lakukan yang terbaik meski itu hanya sebuah tindakan sederhana untuk lingkungan terkecil di sekitar anda. Sekian.

--

--