Sikut-Menyikut Itu Biasa?

Ahmad Firdaus
A Father’s Will
Published in
2 min readMar 11, 2017

Sewaktu liburan kuliah, saya pulang ke Bandung. Lagi asyik-asyiknya baca koran di ruang TV, tiba-tiba Bapak datang menghampiri. Duduk, *noel* saya, dan langsung bicara tanpa basa-basi.

Bapak: Ehmm… semalam Bapak mimpi aneh nih.

Saya: Mimpi apa? *penasaran* …. (Bapak termasuk orang yang kurang percaya mimpi, jadi penasaran kalau beliau bisa terusik dengan salah satu mimpinya)

Bapak: Bapak mimpi, suatu hari kamu pakai pakaian bagus — kelihatannya sudah sukses. Kita berdua ada di koridor suatu gedung lantai 12, sedang ingin turun menggunakan lift. Kamu menekan tombol turun untuk memanggil lift.

Saya: Dimana letak anehnya? *bingung*

Bapak: Anehnya tombol lift kamu tekan terus. Sewaktu Bapak tanya, kamu jawab, “Supaya cepat Pak. Lift-nya kan di lantai 20. Kalau tombolnya ditekan terus, lift akan meluncur langsung ke lantai kita. Meski ada orang lain di lantai 13–19 yang menekan tombol turun, lift tidak akan berhenti di lantai itu. Mereka juga tidak akan tahu kalau saya melakukan itu. Itu trik yang nggak semua orang tahu”

Saya: Loh… lift kan nggak bisa dibegituin???

Bapak: Memang tidak bisa. Bapak cuma mau bilang, kalau nanti kamu sudah bekerja, jangan sampai keinginan kamu untuk sukses dicapai dengan merugikan orang lain ya.

Saya: Mmm.. *mikir*

Dua puluh tahun sudah berlalu sejak Bapak menyampaikan pesan tersebut. Sekarang saya paham kenapa peringatan itu sangat penting. Dalam banyak kesempatan, sebenarnya kita bisa saja mencurangi orang lain, tanpa yang bersangkutan tahu bahwa kita pelakunya. Ketidaksabaran dan keserakahan adalah dua penyebab utama orang berbuat curang. Berbekal ilmu ngeles dan pembenaran, kecurangan bisa disulap jadi kewajaran.

Mungkin Bapak cuma mau bilang, “Meski tidak ada orang yang tahu, Tuhan tetap Maha Tahu” 😊

Pada kenyataannya, meski kita tidak berbuat curang/buruk terhadap orang lain, bukan tidak mungkin kita menjadi korban perbuatan buruk orang lain. Dalam buku Coopetition (Adam M. Brandenburger) dituliskan, “Kita harus berpikir win-win (sama-sama untung / tidak merugikan orang lain), tapi jangan berasumsi bahwa orang lain juga pasti berpikir win-win”. Tidak boleh merugikan orang lain, tetapi pada saat yang bersamaan, harus melindungi diri dari potensi dirugikan orang lain.

Prinsip ini saya pegang selama bertahun-tahun sampai dengan suatu hari dikerjain orang to the max. Mau membalas juga nggak mampu. Piufff… capeek deeeh 😖

Beberapa tahun setelah Bapak meninggal, mamah (ibu) bilang, “Kata alm. Bapak, biar saja orang berbuat buruk sama kita, asal jangan kita yang berbuat buruk pada orang lain”. Faktanya, sekuat apapun kita membangun benteng pertahanan, tetap ada batasnya juga. Kalau kita beriman bahwa Tuhan itu Maha Adil, mestinya kita percaya….

Segala perbuatan akan berbalas. Bisa tunai di dunia dengan rejeki yang lain, atau minimal sebagai pengurang timbangan dosa kita yang sudah pasti bejibun.

Lagi pula,

What doesn’t kill you, makes you stronger, kan? 😁

--

--