Hujan Sebagai Pengingat
Sebelum baca tulisan ini, jangan lupa buat hidupin suara dari video di bawah untuk dapetin suasana kalian lagi di mobil atau bis ketika di luar hujan, ya. Kalau kebetulan baca ini sambil lagi di jalan dan lagi hujan, sepertinya gak perlu.
Petrikor. Aroma sehabis hujan yang membasahi tanah yang lama kering. Terlihat sangat menyejukkan kalau dipikir-pikir ya. Gue sendiri merasakan kalau aroma ini berbeda dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Petrikor Jerman sama petrikor Jakarta bakalan beda jauh, tentunya.
Karena aroma nya beda, makanya ini jadi salah satu hal yang bikin gue inget sama rumah. Gak main-main sampe hal sesepele hujan pun bisa beda feel nya. Kenapa tiba-tiba nulis? Entah ya, padahal kalo dipikir-pikir harusnya nulis tesis, tapi kebetulan lagi pengen nantang diri sendiri dengan nulis dalam one-take, tanpa edit atau percantik tulisan, dan dalam waktu singkat.
Paling dikit-dikit lah editnya sambil on the way gitu, bukan yang sampai harus ubah struktur kalimat. Kalau kata kak Theoresia Rumthe di kelas yang diikuti beberapa jam yang lalu sebelum tulisan ini tayang, berusaha untuk jujur ketika menulis itu jadi pelajaran baru buat gue. Sama hal nya ketika menulis di jurnal/blog yang udah berumur 7 tahun ini, jurnal ini adalah satu-satunya entitas yang nggak akan pernah menilai kejelekan tulisan gue.
Membandingkan hujan dan petrikor setiap tempat yang pernah gue tinggali ini rasa-rasanya menjadi hal yang klise untuk gue tulis saat ini, namun perlu aja entah kenapa. Favorit gue tentu saja hujan Jakarta yang kadang bikin meringis, soalnya kalo udah deres, bakalan ngerepotin orang-orang yang tinggal di kota berpenduduk lebih dari 10 juta manusia itu, terlepas siapapun mereka.
Tapi aroma sehabis hujan di kota yang dulunya bernama Batavia ini selalu menyimpan banyak hal atau memori yang dulu-dulu gue pernah sengaja hapus dari kehidupan gue, sesimpel karena mikir kalau hujan bisa membasuh dan memusnahkan hal-hal yang menurut gue nggak menyenangkan.
Hujan Jakarta bikin gue lebih tenang karena setidaknya beberapa hal seperti panas dan lembabnya kota ini pun seketika musnah, namun nggak bisa dipungkiri kalau sehabis hujan itu, elemen-elemen yang musnah itu bakalan balik lagi.
Sama dengan halnya yang tadi gue sebut di paragraf-paragraf sebelumnya, memori itu bakalan dateng lagi. Karena ya hujan sendiri nggak bisa memusnahkan itu. Mungkin cuman bisa bikin adem doang sesaat. Tapi nggak apa-apa, lah.
Setidaknya hujan dan petrikor di Jakarta masih lebih menyenangkan karena punya aroma tersendiri yang selalu bikin hal-hal keruh jadi sejuk, hal-hal yang panas bikin adem.
Kalau pas naik bis, kereta, mobil, atau apapun itu pas di jalan dan lagi hujan, bunyi rintik yang kena ke atap masing-masing transportasi itu punya suara berbeda. Suara yang melindungi.
Setidaknya hujan dan petrikor Jakarta masih bisa menghubungkan seseorang dengan akarnya, dengan keluarganya, atau dengan dambaan hatinya.
Setidaknya kesejukan itu ada, walau sesaat.
-SR