‘Aku’ yang Enggan juga Pergi

Agnes Tri Harjaningrum
Agnes Tri Harjaningrum
1 min readMar 14, 2017

Kebenaran hanya milik Allah. Tapi manusia kerap merasa menjadi orang yang paling benar. Semua orang memiliki ke’aku’an yang memang menjadi sifat dasar manusia. Sanggupkan keegoisan dalam diri itu luntur dan akhirnya sirna oleh tempaan kehidupan? Padahal, bila ia pergi, ‘pertemuannya’ dengan Tuhan hanya sejengkal lagi. Sulit. Sungguh sulit memang. Tentu saja butuh pengorbanan. Tenaga, pikiran, dan air mata mesti terkuras untuk melenyapkannya. Tapi ia — keegoisan dalam diri — tetap tak mau juga pergi.

Mengapa ia membandel? Mengapa ia suka sekali berdiam dalam jiwa manusia? Mengapa begitu sulit? Setelah badai bertubi-tubi datang, menghempas dan memporak-porandakan hati, tetap saja ia enggan pergi. Terkikis mungkin, tapi sedikit sekali. Sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali. Karena masih banyak lagi, ribuan bahkan jutaan manusia yang tetap mengeras seperti batu karang. Bahkan untuk sekedar menyadari bahwa ia memang ada pun sungguh sulit bagi manusia seperti ini.Bila ia telah pergi, apapun yang datang, manusia tentu tak kan lagi terpengaruhi . Cintanya betul-betul cinta mati. Cacian menjadi sama indahnya dengan pujian. Sakit sama rasanya dengan sehat. Bahagia bergandengan sama mesranya dengan duka. Semua menjadi tiada, tak lagi terombang-ambing kesana kemari, karena di ‘dalam’ sana ada kedamaian yang luar biasa, begitu indahnya.

--

--