Dimusuhi Para Dokter?

Agnes Tri Harjaningrum
Agnes Tri Harjaningrum
5 min readApr 12, 2011

“Anda tau tdk tulisan anda di buku menyinggung perasaan banyak dokter di indonesia dan membuat masyarakat indonesia makin tidak percaya kepada dokter indonesia? Semoga anda sadar.”

Membacanya, aku lemas. Pesan itu masuk ke inboxku, dari seorang dokter di Indonesia. Saat itu aku baru pulang kuliah jam 8 malam, sangat suntuk karena aku kuliah dari jam 9 pagi. Ditambah lagi, aku sedang stress karena minggu ini jadwal begitu padat, harus segera kirim deadline proposal untuk ijin penelitian, siap-siap ujian hari Jumat yang bahannya minta ampun banyaknya, siap-siap harus presentasi, siap-siap harus bikin essay yang semua deadline numpuk di hari Jumat. Gimana aku ga lemes baca email seperti itu.

Sebelumnya aku juga dapat laporan yang sama,’banyak dokter gerah dengan buku smart patientku,” katanya. Tapi baru kali ini aku dapat pesan langsung ke inboxku. Karena aku lagi suntuk setengah mati, habis membaca pesan itu, rasanya aku pengen berhenti menulis daripada cari masalah. Rasanya aku kembali ingin jadi seperti dulu, saat aku sendiri tanpa ada keramaian seperti saat ini.

Ya Allah, dimana salahku? Aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk menulis cover both side dan memilih kata yang tidak menyinggung. Aku sudah menuliskan sumber-sumber, bahkan sekarang aku ambil jurusan International health, temannya public health, aku bisa membeberkan jurnal-jurnal ilmiah tentang kebenaran yang aku tulis dengan lebih seksama lagi. Barangkali aku memang masih harus banyak belajar tentang bagaimana menulis kritik yang baik, bahasaku kurang santun mungkin, padahal aku menulisnya dalam rentang 3 tahun, ah entahlah, aku memang tidak akan bisa memuaskan semua pihak.

Aku menulis karena hatiku selalu tergelitik. Aku tidak bisa diam saja melihat ketidakbenaran yang aku tahu terjadi di depan mata. Aku cuma ingin berbuat sesuatu, berkontribusi mengurai benang kusut permasalahan kesehatan di Indonesia. Salahkah bila aku mengikuti apa kata WHO, panduannya para dokter untuk menjadi rasional dalam pengobatan? Salahkah bila aku mengungkapkan hak-hak pasien supaya medical error bisa dikurangi? Padahal kalau pasien cerdas yang diuntungkan juga dokter, tolong jelaskan dimana salahku? Dan beri aku feed back apa yang seharusnya aku bisa lakukan untuk mengurai permasalahan. Bila aku memang salah aku mohon maaf dengan sangat, dan aku siap kalau buku itu memang harus ditarik dari peredaran. Aku ga keterima PPDS gara-gara masalah ini juga ga masalah buat aku, paling resikonya, aku ganti plan, aku ga jadi balik forgood, menetap di LN seterusnya karena disini ga ada yang membelenggu kebebasan aku untuk berekspresi.

Aku sangat menikmati kuliah di LN, aku belajar banyak sekali disini. Aku yang selama ini ga punya nyali untuk bicara, karena belasan tahun pendidikan di Indo membuat pikiran dan mulutku kerap bungkam, mati ide untuk berkata-kata, hanya manut aja apa kata pak dan bu guru, sekarang belajar banyak sekali. Dan sekarang aku sadar kenapa selama kuliah ini aku dipertemukan, dan mau ga mau harus ketemu setiap hari dengan 2 orang wanita temanku yang sangat pemberani dan kritis. Aku memang cukup berani dalam menulis, tapi tidak dalam bicara. Aku adalah seorang wanita pendiam yang lebih memilih mengalah daripada berdebat cari masalah. Tapi dua orang wanita teman baikku itu mengajari aku untuk menjadi wanita pemberani dalam bicara dan bersikap. Aku belum bisa seperti mereka dan tentu tidak akan bisa seperti mereka. Tapi setidaknya mereka telah menularkan sesuatu pada diriku.

Hmh…aku ga tau, bagaimana nasibku dan nasib buku ku itu selanjutnya. Aku tahu konsekwensi menjadi penulis. Aku tahu, ga mungkin semua berjalan mulus-mulus aja. Hukum alam pasti bekerja, kutub negatif dan positif selalu ada. Aku hanya bisa berdoa dan mengembalikan semua padaNya. Aku menulis karena Dia dan aku yakin Dia juga yang tahu mana yang terbaik. Aku hanya mohon untuk diberi kekuatan, karena aku sedang lemah, terlebih disaat aku sendirian dan dipenuhi banyak persoalan seperti sekarang.

Ya, at least aku dapat kekuatan baru setelah suamiku mengirimkan smsnya:”Mama hanya menjadi tangan Tuhan untuk menulis, biarkan Dia yang bekerja dengan rencanaNya. He will protect you. Ini ujian, kepada siapa mama takut, dan seberapa besar keyakinan mama kepadaNya, Where do you put your faith?”

“ We can only know light when we have seen darkness. We can only understand heaven if we have experienced hell. If life did not provide us with these opposites, how could we understand anything?” suamiku mengutip kata BM. Membacanya mataku basah. Hiks ya Allah, sungguh ini memang ujian keimanan, kenapa masih ada kekhawatiran dalam diriku?

Lalu suamiku juga menuliskan cerita lala untukku:
“Sebelum tidur tadi ayah cerita tentang mama trus tanya ke Lala, “apa yang akan mbak Lala lakuin kalo jadi bunda?” Lala dengan semangat bilang gini, “Bunda ndak usah takut, bunda ndak usah sedih. Bunda nulis karena benar. Yang bunda tulis benar. Dokter yang benar tidak perlu takut sama tulisan bunda. Itu salah dokter kalau mereka hanya ingin cari uang banyak.” .. we all love you, bunda..”

Alhamdulillah keluargaku dan teman-temanku sangat mensupport aku, menguatkan aku. Meskipun dalam kondisi sedang sendiri begini dan lagi stress begini kadang semangatku melemah. Aku hanya bisa berdoa, Ya Allah apapun yang terjadi selanjutnya, hendak dimusuhi teman sejawatku atau tidak, keterima PPDS atau tidak, dan apapun yang berdampak ke masa depanku, aku pasrah…Aku yakin semua Engkau sudah atur. Hanya satu yang kumohon, semoga aku diberi kekuatan. Hanya kepadaMu aku takut dan hanya kepadaMu aku berlindung.

Actually, I just follow my heart, karena aku percaya kebenaran ada di dalam hati. Andai saja aku bisa bicara pada para dokter yang tidak suka dengan buku aku, aku tidak berharap banyak, aku hanya minta, tolong dengarkan suara hati yang terdalam karena disanalah letaknya kebenaran, dan coba lihat buku panduan yang selama ini jadi kitab kedokteran. Kalau ternyata apa yang aku tulis salah, beri tahu aku dimana salahnya, dan aku akan dengan senang hati menarik bukuku dari peredaran.

Ps: Satu hal penting sebagai catatan, aku dengan senang hati akan menerima kritikan dan saran atau komentar untuk buku ini yang bisa ditulis lewat website buku smart patient atau mengontak aku japri. Tapi aku juga minta tolong, bagi yang yang ingin mengajak diskusi, kasih masukan, kritik ataupun saran tentang buku aku, tolong baca bukunya dulu secara menyeluruh. Kalau belum benar-benar baca bukunya secara keseluruhan mohon maaf aku akan menolak untuk berdiskusi atau berkomentar lebih jauh. Karena buku itu ada konteksnya yang sudah aku tulis secara spesifik di halaman depan. Yang sering terjadi, orang sangat gampang menggeneralisir alias menggebyah uyah suatu permasalahan, ini termasuk mengingatkan diriku sendiri yang juga suka begitu. Selain itu, dari perjalanan panjang proses thesis aku, aku semakin banyak belajar betapa kita memang harus sangat hati-hati dan tidak bisa dengan mudah menggeneralisir suatu persoalan. Jadi lesson learned nya, buat yang belum baca, mau baca atau sudah baca buku aku ataupun baca tulisan ini, plis liat konteks baik-baik, supaya tidak terjebak dalam prasangka dan hal-hal negatif yang mungkin sebenarnya tidak perlu.

--

--