Lala di Middlebare School

Agnes Tri Harjaningrum
Agnes Tri Harjaningrum
7 min readDec 25, 2011

Jam menunjuk angka delapan. Diluar masih gelap, ditambah hujan, angin, dingin, lengkaplah sudah suasana winter. Sebelum melangkah keluar pintu, Lala dengan jacket biru tebalnya, melengkapi asesorisnya dengan kupluk, sarung tangan syal, sepatu boot, plus ditambah tas sekolah besar yang isinya berat banget dipunggunya plus juga kadang masih ditambah tas olahraga bergambar helo kity warna merah miliknya.

Setelah cipika cipiki dan salam, tergopoh-gopoh Lala berjalan ke garasi belakang rumah mengambil sepedanya. Kehujanan, kedinginan, diterpa angin yang kadang bertiup sangat kencang, tapi untungnya setelah sekian tahun tinggal di Belanda, Lala sudah terbiasa. Tak ada keluh kesah atau pun rasa malas untuk pergi ke sekolah. Selalu setiap pagi ritual itulah yang dijalankannya, seburuk apapun cuacanya.

Kadang, aku yang melihatnya keluar rumah merasa nelongso,”Sak no rek anakku harus kehujanan kedinginan dan diterpa angin kencang hampir setiap pagi karena cuaca di Belanda yang tiga perempat dalam setahun isinya hanya gloomy dan abu-abu. Kalau di Indonesia, rasanya seger, matahari cerah ceria selalu menyambut, dan pasti anak ini ga perlu kedinginan dan susah payah naik sepeda, bakal ada pak sopir yang siap mengantar barangkali.” Lah tapi anaknya sendiri baik-baik saja kenapa aku harus merasa nelongso, justru harusnya aku bersyukur, mau ga mau anak ini sudah dididik untuk kuat, tahan banting melawan cuaca dan ga manja. Alhamdulillah.

Sejak sekolah di SMP alias middle bare school dan masuk dalam sekolah VWO gymnasium (sekolah yang nantinya bisa lanjut ke universitas), perubahan yang terjadi pada Lala sungguh nyata. Di SD dulu, sekolah terbilang ‘nyantai’, jarang sekali ada peer, anak-anak di rumah lebih banyak main. Malah saat mau ujian gurunya kerap wanti-wanti bilang pokoknya anaknya jangan disuruh belajar ya, biar maen aja, biar ga spannen (tegang). Dan aku juga ga pernah terlibat dalam urusan sekolah mereka, tahu-tahu mereka sudah bisa ngitung, kali-kalian, bagi-bagi, tahu sejarah dan lain sebagainya.Nikmeh lah pokoknya buat emaknya. Aku rasa kebijakan seperti itu diambil karena mengikuti filosofi perkembangan anak bahwa dunia anak adalah dunia bermain, jadi belajarnya juga harus fun dan tetap membuat mereka happy.

Tapi rupanya di SMP ceritanya lain, anak-anak beranjak remaja, dunia main harus sudah lebih sedikit. Anak remaja ini harus sudah diperkenalkan dengan pelajaran yang lebih serius dan mendalam. Alhasil sejak SMP ini Lala keseharian Lala jadi tampak sibuk sekali. Pekerjaan rumah selalu ada setiap hari, peernya pun dalem dalem bo!

Ketika awal masuk SMP, Lala sudah sangat antusias, sampai-sampai waktu liburan tour de defense, sejak 3 hari sebelum sekolah di mulai, di tempat liburan Lala sudah heboh ‘aku pengen pulang, aku pengen cepet-cepet sekolah’, pokoknya antusias banget lah Lala waktu itu. Dan jauh hari sebelum sekolah dimulai, ketika Lala sudah dinyatakan diterima di sekolah tersebut, kami langsung mendapatkan daftar barang apa saja yang perlu dibeli dan perlu dipunya oleh seluruh siswa. Alhasil saat itu Lala dan ayahnya hunting membeli semua perlengkapan sekolah diantaranya: tas ransel yang ukurannya juga sudah ditentukan harus minimal berapa inchi gitu, pokoknya yang cukup besar, lalu buku-buku, atlas, tempat pencil, peralatan pensil, penggaris, pokoknya daftarnya sudah tertulis lengkap dan masing-masing bebas mau beli dimana. Yang menarik juga, Lala juga diminta beli beberapa buku tulis berikut sampulnya, dengan ukuran yang sudah ditetapkan. Untungnya semua bisa beli di VnD, semacam mall disini.

Selain itu semua, Lala juga diberi agenda dari sekolah, dan ketika aku liat isinya aku takjub wow buku agendanya keren dan komplit banget. Disitu sudah tertulis aturan apa saja yang harus diikuti di sekolah diantaranya: harus menghargai sesama teman, tidak boleh ngomongin teman dengan kata-kata negatif alias ga boleh ngegosip, ini aturan Islami banget yang keren, terus ada aturan tidak boleh menghina, tidak boleh terlambat ke sekolah, dan lain-lain soal disiplin. Nah yang paling penting disitu juga ada aturan bahwa tiap anak harus bikin peer minimal 1,5 jam sehari. Selain itu di agenda juga diajarkan bagaimana bikin plan jangka panjang dan jangka pendek. Wah pokoknya aku terkagum-kagum melihat isi agenda ini. Dan ternyata dengan kesepakatan semacam itu, anak-anak ga perlu disuruh sudah bikin peer sendiri dan belajar sendiri.

Aku perhatikan, tanpa disuruh Lala setiap hari pasti berusaha menyelesaikan peernya. Kalau sorenya banyak teman dan main, dia akan kerjakan sebelum tidur, lalu kalo ga selesai dia bangun jam 6 pagi lalu menyelesaikan peernya. Pokoknya dia atur jadwalnya sendiri karena kadang pulang sekolah dia langsung maen ke rumah temannya. Dan herannya, kalo main di rumah teman seringnya mereka bikin peer bareng meskipun ga selesai semua. Lalu isi peernya juga dalem-dalem banget. Aku pernah baca tentang peer bahasa Inggrisnya, ternyata anak-anak itu disuruh baca buku bahasa Inggris lalu bikin review, disuruh bikin surat ke pengarang bukunya, lalu disuruh bikin essay dalam bahasa Inggris 300 kata, wuah takjub lah pokoknya. Kalo dulu aku belajar bahasa Inggris perasaan isinya grammar melulu, tapi Lala langsung diajarkan untuk hal-hal yang aplikatif. Dalam pelajaran bahasa Belanda juga gitu, ada tugas disuruh baca 1 buku lalu nanti bulan Januari Lalu disuruh presentasi tentang isi buku itu.

Pernah juga peernya disuruh bikin makalah dan presentasi bertiga temannya, atau membuat game, atau menggambar lukisan diri, menggambar karya pelukis terkenal. Nah Lala paling suka pelajaran bahasa Prancis, antusias banget belajar mendengarkan videonya, merangkumnya dan membacanya, ga heran kalo nilai lala bagus-bagus untuk bahasa Prancis. Lalu peer pelajaran apa gitu, Lala pernah disuruh bikin semacam peta kota dan disuruh mikir kira-kira mau ditambahain tempat-tempat apa aja di kota tersebut. Ada restoran, salon, tempat main, tempat workshop, terserah sesuai ide masing-masing.

Soal mata pelajaran, di Gymnasium Lala banyak banget dapat pelajaran bahasa. Selain bahasa Belanda Lala juga dapat pelajaran bahasa Inggris, Jerman, Prancis, dan bahasa Latin. Pelajaran lainya Lala dapat matematika atau rekenen, cultuur geschiedenis dan gecshiedenis atau budaya dan sejarah budaya, juga dapat pelajaran biologi, teknik, informatika, ajaran hidup (perbandingan agama-agama), menggambar dan musik.Di pelajaran teknik Lala belajar bikin-bikin alat kaya tukang gitu, kalo informatika diajarin bikin webstie dan program-program. Tapi untuk kelas satu ternyata mereka belum dapat pelajaran science alias Fisika Kimia gitu, ajaib ye.

Bedanya lagi dengan SD, di SMP Lala sering ujian, beberapa kali pulang sekolah Lala lapor,”Bunda aku dapat 10 untuk bahasa Jerman! Aku seneng!” atau, “Bunda aku dapat 7,4 untuk IPA, tapi itu udah bagus lho Bun karena itu susah yang paling besar dapat 8”. DI lain waktu Lala melaporkan dengan sedih,”Bunda aku dapat 4 untuk pelajaran bahasa latin, aku ga suka, itu susah. Tapi masih bisa ngulang sih.” Dengan ulangan yang sering dan nilai yang bervariasi Lala jadi belajar banyak hal. Aku dan suamiku ga pernah nuntut dia macem-macem yang penting sudah berusaha. Justru kami bersyukur nilainya Lala nano-nano, ga bagus terus kaya waktu di SD, jadinya Lala belajar bagaimana mengatasi rasa kecewa. Pernah suatu hari Lala cerita gini:

“Bun, aku dapat 5 untuk geschiedenis. Tadi aku sedih sebentar tapi sekarang udah engga lagi. Kenapa ya Bun minggu lalu nilaiku bagus-bagus semua, aku dapat 10 untuk Nederland, dapat 9,7 untuk France, dapat 8,1 untuk…tapi minggu ini aku dapat jelek.”

“MUngkin karena mba lala ga suka pelajarannya atau kurang belajarnya?”
“Aku udah belajar Bun!”
“Hmm kenapa ya kalo gitu coba dievaluasi lagi.”
“Tapi aku udah bikin table mana yang kurang mana yang bagus nanti aku akan belajr yang kurang-kurang.”
“Wah bagus bagnet mba, mba lala diajarin begitu di sekolah?”
“Iya, jawab lala.”
“Kan dari sini mba lala juga belajar ya La, hidup itu ga mulus-mulus aja, kadang naik kadang turun, hidup itu ga lepas dari masalah kan mba.”
“Iya Bun.”

Lala juga cerita yang sama ke ayahnya, terus kata suamiku, Lala bilang gini,”Tadinya aku sedih sebentar yah tapi habis itu engga lagi. Aku tahu itu keseimbangan.”

Wuah gaya banget kaan, syukurlah, Alhamdulillah banget kami sudah berhasil membawa Lala yang dulu gampang paranoid, suka ekstrim kiri atau kanan, sekarang sudah bisa seimbang. Kalo ada sesuatu yang bikin kecewa reaksinya juga sudah ga berlebihan. Sekarang temannya di sekolah juga banyak, hampir ga ada masalah lagi dengan sosialisasi dan komunikasi.

Tapi herannya dengan tugas seabrek gitu, kalo ditanya seneng ga La sekolah,”Iya aku suka, aku ga mau ke Indonesia Bun.” Hadeeuh tinggal emaknya deh yang pusing hehe.

Oya, waktu itu di awal sekolah kami orangtuanya juga pernah diundang ke sekolah dan dikasih pengarahan apa yang terjadi di SMP ini. Saat itu kami diwanti-wanti bahwa selama 6 bulan pertama adalah masa adaptasi dan wajar kalo agak menegangkan buat anak-anak. Kami juga diminta untuk mengajari anak-anak membuat plan, menyiapkan peralatan dari malam hari supaya ga telat ke sekolah dan teknis-teknis gitu deh. Lalu berikutnya lagi, kami juga datang ke acara seminar sekolah,”Bagaimana berkomunikasi dengan anak puber’ Acaranya menarik banget. Pesan disampaikan oleh dua orang pemain teater yang melakoni drama ibu dan anak atau ayah dan anak. Lalu disampaikan juga tentang otak remaja yang memang sedang mengalami ‘kelainan’ jadi harus maklum dan harus tahu gimana cara nanganin anak remaja.

Intinya, masuk SMP meskipun sangat berbeda dengan SD, jauh lebih sibuk, tugas banyak Lala malah kelihatan lebih menikmati dan senang. Lala juga keliatan berkembang tambah mandiri dan dewasa cepat sekali. Masalah-masalah yang dulu kami hadapi karena kegifted-annya, terutama masalah perfectionis, sosial emosional, terlalu ke kiri ke kanan sekarang sudah hampir ga ada lagi. Mengasuh anak yang gifted dengan discrepancy awalnya memang bikin sakit kepala, tapi dengan belajar, dapat sharing banyak, bantuan dari guru dan psikolog, kami jadi tahu cara-cara menghadapinya. Dan alhamdulillah sesuai dengan teori, di masa puber, kenjomplangan antara kognitif dan hal lainnya pelan-pelan seimbang, dan sekarang Lala selalu bilang,”Sekarang aku ga kaya dulu lagi lo Bun. Aku kan sekarang bisa empati dan banyak teman.” Hehe aku tentu senang dengarnya. “Iya La, mba Lala sekarang pokoknya udah oke banget deh.

Jadinya aku pun sekarang tenang dan tidak pernah menyesali pilihanku dulu untuk menunda karir demi anak-anak. Walaupun dulu aku sempat stress karena kehilangan karir dan full ngurus anak-anak di rumah, tapi puas rasanya melihat perkembangan mereka sekarang walaupun tentu saja perjuangan belum berakhir dan masih panjang. Yang pasti aku tambah yakin dengan teori psikologi dalam Islam untuk pendidikan anak sesuai dengan hadits dari Ali ra,: “Ajaklah bermain anakmu pada 7 tahun (pertama), didiklah pada 7 tahun (kedua), temanilah pada 7 tahun (ketiga), kemudian lepaslah kendalinya”. Ibu Elly Risman dulu saat bertemu aku pernah bilang kalau bisa 7 tahun pertama kita sendiri yang pegang anak, 7 tahun kedua mungkin secara waktu bisa lebih longgar tapi ini juga saat penting untuk mendidiknya. Kalau tahun-tahun ini sudah kepegang, anak-anak akan melewati masa remajanya dengan lebih mudah, kira-kira begitu penjelasan beliau. Semoga saja demikian adanya. Yang pasti pengalamanku berbicara asal kita terus mau belajar jadi orangtua, selalu ada jalan terhadap permasalahan pada anak yang kita punya. Anak berproses dan berkembang, ga perlu jauh-jauh hari sudah ketakutan dan menjudge duluan si anak bakal begini atau begitu, karena seiring waktu rupanya mereka tumbuh menuju kesempurnaan, menemukan dirinya sendiri, asalkan kita selalu berusaha mengarahkannya sesuai jalur yang benar.

--

--