Pada Akhirnya, Hanyalah Antara Kita dengan Tuhan

Agnes Tri Harjaningrum
Agnes Tri Harjaningrum
4 min readApr 10, 2013

Aku tersentak di suatu pagi, membaca personal message yang masuk ke inboxku dan berbunyi:
“Bu Agnes yang baik, saya pengikut setia blog bu dokter. Jika heading dari blog Ibu adalah ‘mengenal diri berbagi inspirasi’ maka saya adalah bagian dari orang-orang yang telah terinspirasi dari tulisan Ibu, termasuk terinspirasi dalam mengejar mimpi, tentang konsistensi dalam menulis dan belajar menulis academic writing.
Saya hanya ibu rumah tangga biasa yang kebetulan berkesempatan kerja serabutan di ***. Karena seringnya saya baca blog bu dokter, akhirnya ikut-ikutanlah belajar nulis, belajar bahasa inggris dan iseng-iseng ikut call for paper dan akhirnya abstrak saya lulus. Memang baru abstrak. Dari abstrak saya yang lulus tersebut saya diminta membuat paper berbahasa inggris yang akan dipresentasikan dalam konferensi asean di jakarta awal April nanti. Tapi….dstnya”

Membacanya, tiba-tiba saja kedua bola mataku basah. Glek, kutelan ludahku berkali-kali. Diam. Haru. Tuhan..sebegitunya kah?

Menulis itu beresiko besar. Apalagi kalau menyebar banyak dibaca orang, tanggung jawabnya lahir batin, dunia dan akhirat. Aku memang bukan penulis sungguhan. Aku menulis hanya karena awalnya ‘terpaksa’ untuk membunuh kejenuhan saat tinggal di negeri orang. Berawal dari menuliskan kisah-kisahku dalam blog ini, siapa sangka jika akhirnya ada penerbit yang tertarik menerbitkan. Buku pertama lahir, buku kedua dan selanjutnya pun demikian. Katanya tulisanku banyak disukai orang (maafkan karena terpaksa sok-sok an).

Tapi tahukah kau Kawan, selayaknya kehidupan yang tak pernah datar, kehidupan penulisanku pun penuh gelombang. Ada masa-masa berat yang kadang membuatku sangat ingin berhenti, menghapus saja semua lembaran-lembaran dalam blog ini, meniadakan saja semua tulisan yang pernah aku goreskan. Tak sedikit yang memuji tapi tak kalah pula yang mencaci, apalagi kalau tulisanku sudah berbau privacy atau kontroversi. Sehati-hati apapun aku menulis, tetap saja komentar-komentar tak sedap itu datang.

Lama-lama aku memang terbiasa, tapi jangan tanya bagaimana sulitnya melewati semua proses itu. Kadang ketika masalah datang, aku bisa galau bermalam-malam. Hatiku tergores-gores berjam jam dan kepalaku senut-senut tak tertahan. Entah sudah berapa kali air mataku tumpah, entah berapa mendung silih berganti datang.

Disaat-saat seperti itu bahkan kadang aku memohon dengan sangat pada suamiku untuk mendelete semua yang pernah kutulis. Disaat-saat itu pulalah kemudian kadang aku merengek pada Tuhan,”Tuhan andai sejarah boleh kuulang, ingin rasanya buku-buku yang pernah kutulis itu tak pernah ada. Ingin rasanya kembali ke pusaran waktu dan membuat takdir baru untuk tidak menjadi seorang penulis, meskipun bukan penulis sungguhan. Bukankah aku tak pernah meminta untuk menjadi penulis, Tuhan?”

Namun, suamiku tak pernah setuju. Meski malam-malamnya kadang terganggu karena harus mendengarkan resahku dan mengusap air mataku, pada akhirnya dia selalu berhasil meyakinkan aku. “Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat. Menurut Ayah, tulisan-tulisan Mama itu bermanfaat. Jangan pernah hiraukan apa kata orang Sayang, selama yakin apa yang kita lakukan benar, be your self,”katanya. Dan pada akhirnya dia pun selalu berhasil meyakinkan bahwa aku memang telah dilahirkan dan ditakdirkan untuk memenuhi hidupku dengan dunia penulisan. Hingga kini, setelah hampir sembilan tahun sejak pertama kali menulis dalam blog ini, tulisan-tulisanku masih bertebaran disini.

Menulis itu menyembuhkan, menulis itu mengasah hati dan pikiran, menulis itu mengikat makna kehidupan, menulis itu merekam sejarah, menulis itu kegiatan yang produktif, mencatat ide, gagasan dan kekreatifan karena otak manusia tak kan pernah mampu mengingat semua kejadian.

Menulis itu jika bermanfaat akan menjadi amal sholeh yang tak pernah putus. Menulis itu kata Pramudya Ananta adalah bekerja untuk keabadian. Kata-kata pak Pram menohokku :
Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis, suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari… Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama dia tak menulis, Ia akan hilang dari peradaban
Kata-kata itu membuatku masih ingin menulis dan terus menulis disaat luang, hingga tiba masanya nanti Tuhan tak lagi memampukan.

Meski begitu, tetap saja ketika gelombang itu tinggi lagi, kadang keinginan untuk berhenti masih saja datang. Namun penggalan pesan dalam inbox diatas, dari seseorang di Jogjakarta sana yang telah membuatku terharu biru, menanamkan sebuah pelajaran besar dalam hatiku untuk selalu kembali ke dalam diri dan menjadi diri sendiri. Kita tak pernah tahu dampak yang terjadi dari apa yang kita lakukan. Kadang ada suara miring yang menjatuhkan, tapi kadang dampak positifnya bahkan diluar nalar. Apapun itu tetaplah lakukan, tetaplah berikan hal terbaik yang kita bisa. Selama yakin apa yang kita lakukan benar dan bermanfaat, jangan hiraukan suara-suara sumbang di sekitar. Karena seperti yang ibu Theresa katakan:

If you are kind, people may accuse you of ulterior motives. Be kind anyway. If you are honest, people may cheat you. Be honest anyway.If you find happiness, people may be jealous. Be happy anyway.The good you do today may be forgotten tomorrow. Do good anyway.Give the world the best you have and it may never be enough. Give your best anyway. For you see, in the end, it is between you and God. It was never between you and them anyway.” — mother Theresa

Sungguh, pada akhirnya memang hanyalah antara kita dengan Tuhan.

--

--