Tour the defense

Agnes Tri Harjaningrum
Agnes Tri Harjaningrum
20 min readSep 16, 2011

Hari itu akhirnya datang juga. Hari dimana aku bisa submit final draft thesisku dan hari dimana aku dapat hasil review bahwa thesisku oke dan tinggal harus defense di depan 5 penguji di akhir Agustus lalu, tepat di hari lebaran 2011. Saat itu hatiku tak menentu. Ya senang karena satu perjuangan hampir selesai, senang juga karena bisa mengajak keluarga aku menemani defense ke Bordeaux sekalian jalan-jalan. Tapi juga sedih. Sedih karena harus meninggalkan dunia sekolah yang aku suka banget.

Aku selalu bilang sama semua orang bahwa aku sangaat sangat bersyukur bisa mencicipi sekolah master dengan topik yang masih nyambung sama bidangku dengan beasiswa Erasmus Mundus itu. Aku seneng buanget bisa balik sekolah dan bisa menikmati sekolah. Seluruh pengalaman yang aku dapat luar biasa dan betul-betul memperkaya aku luar dalam. Kisah sedih dan dukanya juga banyak, tapi tetap nikmat karena aku yakin semua akan indah pada akhirnya. Dan ternyata terbukti, semua benar-benar indah pada akhirnya. Hasil thesisku dapat nilai cukup memuaskan, bahkan abstract aku diterima buat presentasi poster di congres Barcelona bulan oktober nanti. Aku juga diminta untuk mempublish tulisanku ke jurnal karena hasilnya dianggap bagus. Alhamdulillah banget, tentu aku akan coba, semoga sama-sama di terima kaya abstract yang ke congress ini. Meskipun cuma poster tapi aku seneng buanget, berasa PhD. Congress kan biasanya maenannya para PhD. Dulu aku suka ngiler kalo suamiku ikut congres kesana dan kesini. Nah sekarang aku bisa dapat kesempatan itu, bukan cuma niat datang bayar dan menghadiri, tapi juga bisa mempresentasikan hasil kerjaku, seneng banget kan dan norak juga pastinya hehe maklumlah pemula gitu loh :D

Amsterdam-Lille-San Sebastian-Sarlat Le Caneda
Dan lalu, 5 hari sebelum hari H, pergilah kami sekeluarga memulai perjalanan dari Amsterdam menuju Bordeaux dengan mobil sewaan. Sengaja kami pinjam mobil karena biayanya ternyata jauh lebih murah dan lebih nyaman. Meskipun, anak-anakku yang ga pernah naik mobil itu, jadinya harus bolak balik muntah di dua hari perjalanan pertama. Untungnya mereka sudah terbiasa muntah, jadi tinggal sediain plastik dan tissue, beres, ga pake rewel.

Enaknya perjalanan naik mobil, kami bisa berhenti dimanapun kota cantik pilihan suka suka kami. Berhenti sekalian istirahat dan makan tentunya. Pemberhentian pertama kami adalah di kota Lille, Prancis, kota lumayan cantik yang jaraknya Cuma 3 jam dari Amsterdam. Kami sempat berhenti untuk cari tempat makan jam 3 sore karena perut keroncongan. Tapi ternyata orang Prancis memang strik, kalo belum jam makan , restoran ya ga buka, makanya orang Prancis kebanyakan langsing. Alhasil, sambil menunggu jam makan, main-mainlah kami ke old city centre Lille yang lumayan cantik. Yang paling terkenal tampaknya adalah main square, grand palace dengan bangunan-bangunan yang cantik.

Berhubung perjalanan bakal ribuan kilo, aku yang ga pernah setir kiri, mau ga mau harus mencoba sebagai supir cadangan, just in case suamiku ngantuk. Dan bener aja, ketahanan suamiku pasti ada batasnya. Apalagi setelah dari Lille arah San Sebastian, Spain, perjalanan masih sekira 8 jam. Aku memang membuat jadwal bahwa kami akan bermalam di mobil, ga mampir di hotel dalam rangka pengiritan dan kagok juga. Saat jalan malam, jam 1 pagi suamiku udah ga tahan, terpaksa aku ganti setir. Sampe jam dua malam, giliran aku ga tahan ngantuk. Dan tidurlah kami di dalam mobil dengan memarkir mobil di dekat sebuah pom bensin.

Matahari tiba-tiba menyilaukan mata, aku gelagepan. Ya ampuun udah agak siang dan badan pegal-pegal karena tidur di mobil memang ga nyaman. Setelah bersih-bersih, Isoma, sekira jam 8 pagi kami pun melanjutkan perjalanan ke San Sebastian.

San Sebastian adalah kota pantai yang cantik di Spain, letaknya hanya 3 jam dari Bordeaux. Karena itu lah kami menyempatkan untuk main kemari, seperti pergi dari Bandung ke Jakarta, hanya beberapa jam perjalanan saja, tapi sudah pindah negara. Pantai utama kota ini berbentuk cekungan. Dengan dua pulau kecil menghiasi di kejauhan, membuat pantai di kota ini jadi tambah unik. Kami sampai disana sore hari. Kesan pertama yang muncul adalah bersih, mungil dan cozy. Di Sepanjang pantai tampak orang-orang berjemur dan bermain-main. Kalau di Lille maupun Bordeaux aku masih sering melihat wanita berjilbab, dua hari di kota ini sama sekali tak kulihat ada wanita berjilbab selain diriku. Artinya turis timur tengah berjilbab modern maupun berbaju hitam dan bercadar yang banyak kulihat di London, Munchen, Austria, Paris, Granada, atau kota-kota lainnya tak ada yang mampir ke kota ini. Artinya lagi, bukannya kegeeran, tapi aku jadi sering diliatin orang-orang, persis seperti ketika aku pergi ke tempat berenang raja di Budapest dimana orang berkerudung juga sangat langka dijumpai.

Salah satu yang khas di kota ini adalah Tapas, menu pembuka makanan berasal dari seafood, seperti di kota-kota Spain lainnya. Tapi disini tapas di jual satu-satu dan kita boleh ambil sesuka hati mau pilih yang mana asal bayar sesudahnya pasti. Ada roti isi ikan, calamaries, isi udang, macem-macem lah dengan harga ga terlalu mahal, tapi juga ga cukup mengenyangkan buat orang Indo yang terbiasa makan nasi ini.

Setelah sepanjang sore hingga malam menikmati San Sebastian, kami pun balik ke hotel. Besoknya, kami sempatkan lagi untuk pergi ke bukit paling tinggi di San Sebastian, Monte Igeldo, dari sini, pantai yang indah itu terlihat semakin cantik. Anak-anak juga sempat bermain-main basah basahan dulu di pantai. Alhasil kami telat tiba di Sarlat de la Caneda.

Sarlat de la Caneda, dibaca Sarla. Susah bener aku mengingat ingat nama kota ini sejak pertama kali temanku merekomendasikannya. Seperti San Sebastian yang tidak terkenal padahal cantik, begitu pula Sarlat. Dan di kota kecil ini aku juga tidak menjumpai jilbaber selain diriku. Sarlat adalah kota tua dengan bangunan-bangunan tua abad 1800 an yang tetap dipertahankan ketuaanya. Hampir semua bangunan terbuat dari batu berwarna krem abu-abu. Bangunan-bangunan itu dibuat megah diukir sana sini, cantik lah pokoknya, tapi menurutku mirip banget sama kota St Emillion, kota kecil pusatnya Wine yang deket banget sama Bordeaux. Bedanya Sarlat ini lebih jauh, sekira 2 jam perjalanan dari Bordeaux. Seperti kota-kota khas Eropa, di kota kecil ini juga ada pedestrian street lalu jalan-jalan kecil yang disana-sini berujung di square indah. Restorant-restorant, still stand, dan orang duduk kongkow kongkow menikmati suasana merupakan pemandangan yang biasa tampak di square.

Yang lebih menarik lagi selain melihat kota Sarlat, rupanya adalah bermain kano. Di Belanda, kano juga banyak sih, tapi bedanya, pemandangan sambil berkano di area ini indaaaah banget. Baru kali ini aku main kano dan aku suka sekali, ternyata asik, atau karena pemandangannya yang asik ya, ditambah cuaca yang perfect jadilah perjalanan kami berkano hari itu sungguh berkesan. Kalau mau berkano bukan di Sarlat old city tempatnya, tapi harus pergi ke desa-desa di sekitarnya, ada La Roque Gageac, Château de Beynac at Beynac-et-Cazenac atau tempat-tempat lain yang namanya susah-susah itu.

Kami memilih pergi ke La Roque Gageac, selain tempatnya paling dekat Sarlat, pemandangannya juga asik. Jadi sambil berkano, kita bisa melihat tebing-tebing yang dipahat dan dibangun jadi rumah tinggal yang unik berjejer-jejer. Lalu airnya juga jernih dan dangkal. Di situ kita bisa pilih mau berkano 1 jam atau berjam jam, dan kami tentu aja cuma pilih satu jam karena waktu terbatas. Sebetulnya ada area pre historic parc yang menarik juga untuk dikunjungi, juga semacam gua panjang tempat jaman pra sejarah yang masuk dalam list Unesco world heritage. Sayangnya waktu kami terbatas karena kami harus segera melanjutkan perjalanan ke Bordeuox. Tapi bersyukur banget, meski singkat, ternyata masih bisa menikmati keindahan kota-kota kecil Prancis yang sungguh menawan.

Bordeaux

Sudah delapan lebaran aku tak pulang. Dan lebaran ke delapan di tahun 2011 ini adalah lebaranku yang paling garing sedunia. Meski garing, tapi juga tak terlupakan. Malam takbiran, kami bertanya pada seorang muslim penjual sebuah toko, di mana letak mesjid di Bordeaux dan jam berapa sholat Ied.”Jam 10 pagi,” kata orang tersebut sambil menunjukkan arah mesjid. Pergilah kami di pagi hari menyusuri place de la victoire, lalu menuju pasar Capuchin karena katanya mesjid berada di daerah itu. Setelah mendekati tempat tujuan, orang-orang berjubah putih dan berjenggot tampak sedang bersalam-salaman dan berpeluk-pelukan. Haa itu mesjidnya? Betul-betul hanya tampak seperti flat biasa, saking kecilnya, disebut musholla pun kurang tepat rasanya. Dan orang-orang sudah tampak bersalam-salaman, artinya sholatnya udah bubar dong huhuhu.

Aku tak berani mendekat, karena kulihat hanya para lelaki yang berada di situ, dan melihat pakaian serta jenggot panjangnya, sepertinya mereka adalah penganut aliran tertentu. Waktu aku minta suamiku memotret suasana mesjid untuk liputan yang ingin kukirim ke majalah, dugaanku terbukti. Salah seorang dari mereka dengan keras langsung melarang.”No! no pictures please!” Hmm persis seperti yang kutemui di Groningen dulu, no pictures, haram hukumnya memotret. Aku sempet ngomel-ngomel sama suamiku, “Duilee motret aja haram, gimana orang ga takut sama agama Islam,” protesku. “Hush! Ga boleh ngomong gitu. Kan sama kaya kalo kita liat anak kita makan babi, juga langsung dilarang kan. Mereka punya keyakinan seperti itu ya kita hargailah,” suamiku mengingatkan. Hmm oke deh. Aku lalu langsung bilang ke anak-anakku,”Agama Islam itu ya Nak, meskipun kitabnya sama, nabinya sama, tapi orang memahaminya lain-lain, rangenya mulai dari yang ekstrim kiri sampai ekstrim kanan, mulai dari yang semua serba tertutup sampe buka-bukaan. Kita harus memilih mau berada di range yang mana. Ikutin kata hati kita aja, karena Allah sudah kasih tugas tiap orang berada di range mana, okay.” Oke deh, ini ngomong ke anak-anak sebetulnya mengingatkan diri sendiri, mengingat diriku yang kadang masih susah untuk nerima perbedaan dan pandangan ekstrim seperti itu. Huf, pantas aja dunia ga pernah akur, menghargai perbedaan memang sulit bukan kepalang.

Alhasil, kami pun tak jadi sholat Ied karena rupanya sholat dimulai jam 9 pagi bukan jam 10 seperti informasi si penjual. Tak ada ketupat, tak ada opor lebaran, tak ada salam-salaman dengan family. Kami cuma berempat, menikmati roti prancis berbalut ikan salmon asap yang kami makan sambil bersantai di bukit pasir dune of Pyla, satu jam perjalanan dari Bordeuox. Di sanalah kami menghabiskan hari lebaran kami. Leyeh-leyeh tidur-tiduran, makan kacang sambil menemani anak-anak bermain pasir dan bermain air di pantai. Sungguh sebuah lebaran yang berkesan, berkesan karena garingnya luar biasa hehe. Tapi meski begitu, kami menikmati dune of Pyla bersama-sama, menikmati sebuah keajaiban sang Maha yang menciptakan bukit pasir menjulang di tepi pantai, juga di pinggir hutan. Paduan panorama menakjubkan yang tak mungkin dibuat oleh tangan-tangan selain Tuhan.

Malamnya, kami pergi dinner ke restaurant favoritku. Di restorant inilah setahun yang lalu, aku diajak makan malam bersama tim erasmus mundus ketika kami bertemu untuk meeting pertama kali. Restorant cukup keren di tempat cukup terkenal dan cozy, yang hanya dengan 15 Euro saja sudah dapat menu lengkap mulai dari appetizer, main menu dan desert dalam jumlah besar dan lezat. Appetizer favoritku adalah udang sepiring rasa bawang putih, duuh sedap bangeet, rasanya betul-betul meng Indonesia karena bawang putihnya kerasa. Meski kami berempat, pesan dua menu pun sudah sangat cukup, cukup kenyang dan cukup juga buat pengiritan tentu aja .

Setelah itu, kami sempatkan untuk berjalan-jalan menikmati kota Bordeaux, selain si kura-kura di La Victoire, mirror d’eau di tengah malam merupakan simbol kota Bordeaux. Di seberang bangunan kuno megah, terhampar genangan air sekira 2 cm yang kadang-kadang air mancurnya juga keluar. Sejauh mata memandang genangan air, gedung-gedung itu akan tampak memantul memancarkan warna keemasan di malam hari. Jadinya si air berfungsi seperti cermin, itulah kenapa tempat ini disebut mirror d’eau alias cermin air. Ide yang briliant kan, dan hasilnya, setiap orang memang akan berdecak kagum melihat pemandangan unik ini.

The defense

Defenseku dimulai jam dua siang. Paginya kami hanya beristirahat di apartemen temanku yang sangat baik hati meminjamkan apartemennya untuk kami. Aku juga sempat berlatih presentasi sekali lagi di depan anak-anak dan suamiku. Suamiku bilang,”Udah bagus Ma.” Sementara komen anak-anakku,”Bagus siih tapi saaai (boriiing)”, hehe ya iyalah boring, buat mereka sih topik yang enggak banget pastinya.

Jam dua siang tiba. Perutku mulai menggeliat-liat mules. Untungnya temanku mempresentasikan thesisnya pertama, jadi mulesku sempat berkurang. Tapi ketika giliranku tiba, tetap saja jantungku berdegup-degup kencang seperti derap kuda. Untungnya presentasiku lancar dan tepat 20 menit sesuai aturan. Aku sudah berlatih belasan kali sejak di rumah. Sharingnya pak Steve Jobs, mantan CEO apple itu sangat membekas dikepalaku. Katanya, pak Steve Jobs bisa presentasi dengan sangat keren karena dia selalu berlatih bahkan hingga puluhan kali sebelum presentasi. Bayangkan, sekelas Steve Jobs aja latihannya puluhan kali, kebayang kan kalo ga latihan atau kurang latihan, pasti belepotan jadinya. Tapi tips itu memang ampuh, selain membuatku tambah percaya diri karena sudah merasa siap, presentasiku pun lancar dan tenang. Practise betul-betul membuat perfect, thanks buat pak Steve Jobs yang sudah memacu aku untuk berlatih dan terus berlatih. Pertanyaan-pertanyaan bisa kujawab dengan lancar dan aku pun dapat hasil yang cukup memuaskan, alhamdulillah buanget!

Malamnya, kami mengadakan picnic party kecil-kecilan di taman pinggir sungai. Seperti biasa party ala Prancis, orang-orang boleh membawa apa aja. Umumnya yang dibawa roti prancis yang panjang itu, berikut keju, salmon selai, wine, chips, kacang, coklat, pizza, cemilan apa aja okey. Aku datang bersama anak-anak dan suamiku pake batik, baju yang sama ketika kami datang ke defense. Kami semua berbaur, ngobrol sana sini. Anak-anakku lebih banyak bermain dan mengamati. Seperti ketika di ruang defense, mereka sangat anteng ga ribut sama sekali karena aku sudah wanti-wanti agar mereka membawa buku bacaan. Ketika komik doraemon Aik udah habis dibaca, aku kasih buku gambar dan pensil. Alhasil dia tetep anteng sambil menggambar komik. Di pesta picnic lebih gampang, karena mereka bisa main bola dan lari-lari di taman.

Sejak aku pertama kali menginjakkan kakiku di Bordeaux, aku memang berjanji pada diriku sendiri dan berdoa,”Ya Allah ijinkan aku membawa keluargaku kemari, melihat defenseku nanti dan menikmati indahnya kota ini.” Aku sangat ingin anak-anakku menyaksikan sendiri bagaimana ibunya defense, apa itu defense, bertemu dengan teman-temanku dari berbagai negara, mendengar suara-suara dalam berbagai bahasa. Aku yakin semua pengalaman itu akan berbekas untuk mereka dan akan membuka mimpi mereka selebar-lebarnya. Jadi ketika semua itu terealisasi, aku sangat sangat bersyukur, perjuanganku dan mereka, perpisahan yang cukup lama, tak sia-sia, semua betul-betul indah pada akhirnya.

Keesokan harinya, lagi-lagi aku senang karena anak-anak bisa ikut duduk mendengarkan presentasiku yang lain. Mereka berbaur dengan para student dari banyak negara. Kali ini presentasiku termasuk presentasi ringan, aku diminta berbagi tentang pengalaman menjadi mahasiswa Erasmus. Aku berbicara di depan para student Erasmus mundus jurusan MIH baru angkatan 2011, dan juga bicara di depan para dosen dari Bergen yang ikut datang. Karena sudah melewati tahapan presentasi defense yang lebih berat, kali ini aku sangat rileks. Untungnya, aku banyak mempresentasikan foto-foto pengalaman selama kuliah, jadinya cukup menyegarkan suasana. Terbukti anak-anakku bilang,”Presentasi yang ini beter Bun, ga terlalu saai, ada fotonya.” Dan tanggapan orang-orang pun demikian, pictures talk a thousand words. Aku belajar dari dosen favoritku di Berlin, yang presentasinya membuat kami melongo dengan gambar-gambar dan cerita yang disampaikannya. Kata suamiku, aku mungkin tidak seekspresive temanku yang lain ketika presentasi, karena aku rasa, aku memang tidak punya bakat sebagai seorang pembicara yang baik. Aku lebih piawai menulis dan sering gagap ketika bicara. Tapi dengan gambar dan isi materi yang dibuat tidak monoton, kekurangan dalam hal bicara bisa tertutupi, malah presentasi bisa jadi lebih kelihatan berisi. Jadi, lagi-lagi pengalaman presentasi ini membuatku yakin, tidak ada sesuatu yang tidak bisa dipelajari, bakat mah nomor kesekian, yang penting mau belajar dan terus belajar. Hopefully someday, aku bisa jadi presentator yang lebih baik.

Annecy, Zemartt, dan Interlaken

Jam 3 sore setelah presentasi, kami meninggalkan Bordeaux untuk melanjutkan perjalanan ke Swiss. Boleh dibilang perjalanan ini adalah hadiah kelulusanku, setelah berbulan-bulan berjibaku kembali menuntut ilmu. Aku sangat menikmati perjalanan ini, perjalanan impian yang sudah kurindukan sejak lama. Dan mobil kami pun lalu selama delapan jam melaju hingga membawa kami ke kota perbatasan Prancis dan Swiss yang bernama Annecy. Annecy masih termasuk bagian negara Prancis, tapi bermobil setengah jam saja, kita sudah bisa pindah ke kota Geneva yang merupakan negara Swiss.

Aku tak pernah mendengar kota ini dan tak ingin pergi kemari jika seorang kawan tidak merekomendasikan tempat ini. Dan ternyata sungguh tak rugi. Memandangnya sejak pertama kali, aku betul-betul jatuh cinta pada kota ini. Selama menyusuri pusat kota tuanya, mulutku tak berhenti berdecak kagum. Ya ampuun, koq bisa ya orang jaman dulu mencipta pusat kota dengan suasana yang sangat cozy dan indah begini. Duh susah aku melukiskan keindahan kota ini. Sungai, jembatan, bunga, bangunan tua, dimana-mana selalu dibuat sedemikian rupa sehingga memberi daya tarik hampir di setiap kota di Eropa. Tapi Annecy menawarkan tampilan yang berbeda. Bangunan unik di tengah sungai, sungai jernih yang dihiasi angsa, lorong-lorong jalan kecil, pasar rakyat dan bagaimana kreatifnya orang-orang membuat toko-toko unik di lorong-lorong ini yang membuat aku terpesona. Sayangnya, aku tak bisa lama-lama, padahal aku baru melihat sebagian saja. Duh andai kota ini berbahasa Inggris dan menawarkan beasiswa phd, mau rasanya aku tinggal di kota ini.

Perjalanan pun harus dilanjutkan kalau tidak ingin ketinggalan melihat kota-kota lain sesuai jadwal. Sore harinya kami tiba di Zermatt, salah satu kota termahal di Swiss. Secara umum Swiss sudah mahal, jadi aku cuma melongo saja melihat harga-harga di kota ini. Tempelan kulkas yang biasanya harganya 1 atau 2 euro-an, paling mahal 5 euro lah di kota-kota tertentu, disini harganya antara 8–9 euro. Itu baru suvenir belum barang-barang lain, apalagi tempat menginap, di tempat ini paling murah hotel butut aja harganya 300 euro ke atas buat berempat. Jadi kami ga sanggup lah menginap dan makan di kota ini. Alhasil kami mencari penginapan jauuuh dari Zermatt, dan makan pun sudah siap-siap beli roti prancis plus ikan salmon asap. Itulah menu favorit berhari-hari selama di Swiss dalam rangka pengiritan, oiya plus ditambah pop mie bawaan dari Amsterdam hehe.

Uniknya, di Zermatt ga ada orang yang boleh bawa mobil, kalau nekat bisa didenda 350 euro tanpa babibu. Pemberhentian mobil terakhir adalah di desa Tasch. Untung parkirnya murah 5 ChF saja untuk seharian. Nah dari situ, kita harus naik kereta lagi selama sekira 15 menit ke Zermatt. Pokoknya pergi ke kota ini siap-siap bangkrut lah, transportasinya mahal buanget. Untuk anak-anak dibawah 15 tahun worthy banget beli Junior card, harga awalnya lumayan, tapi nanti bisa gratis untuk naik yang lain-lainnya.

Akhirnya setelah naik kereta api yang berliku-liku ke atas karena Zermatt ketinggiannya 2000 meter, sampailah kami di kota kecil Zermatt tempatnya orang main ski yang juga cantiiik! Duh duh pantes aja Swiss kaya, karena memang pemandangan alamnya oke dan orang-orangnya bisa menata rumah dan bangunan dengan indahnya. Yang aku perhatikan selama di Swiss, semua WC nya, termasuk di tiap rest area, bersihnya bersiiih banget, perjalanan jadi nyaman banget pokoknya.

Dan kalau sebelumnya kami melihat bangunan tua dari batu, nah di sini rumah-rumah kebanyakan dari kayu dan khasnya di depan rumah pasti ada segerombolan bunga warna warni yang di pasang berjejer-jejer matching banget sama nuansa bangunan kayu. Aku suka banget sama komposisi si kayu dan bunga ini, ditambah background salju abadi , pohon, bukit menjulang dan awan, akhirnya melihat semua ini cuma bisa berucap, subhanallah dan alhamdulillah bisa dikasih kesempatan melihat ciptaanNya, melihat tebaran warna berbeda nan indah dimana-mana.

Sebetulnya, kami pengen ke Jungfrau, top of Europe di Interlaken. Tapi harganya gila-gilaan. Untuk bisa naik ke atas, satu orang harus bayar 150 euro alias hampir 2 juta rupiah ya. Sebenernya ticket semahal itu bisa berlaku untuk 6 hari berturut-turut dan bisa kemana aja naik kereta di daerah interlaken dan sekitarnya. Tapi buat kami yang cuma beredar sehari dua hari, rugi banget lah bayar segitu. Nah untungnya kalo di Zermatt sistemnya bisa ketengan, jadi jatohnya ga semahal itu. Yang merupakan highlight di Zermatt adalah Materhorn. Jadi ada paket-paket tertentu, kita tinggal pilih mau paket apa. Ada paket ke Sunnega misalnya, ngeliat Materhorrn, bukit salju abadi yang bentuknya seperti ada tanduknya. Rupanya Materhorn ini adalah gambar bukit salju yang ada di coklat toblerone, bener-bener jadi salah satu simbol Swiss juga tampaknya. Lalu ada paket naik kereta api ke atas gunung salju pake kereta yang umurnya udah ratusan tahun, namanya paket Zermatt- Gornergatt Bahn. Kami memilih paket Materhorn Glacier Paradise (MGP), sebab ngeliat review orang-orang, ini nomor satu paling highlight yang kudu dicoba kalo ke Zermatt.

Meski harus mengeluarkan kocek cukup banyak demi merasakan paket MGP ini, tapi kami sungguh ga menyesal. Sepanjang jalan melihat pemandangan dari cable car, kami cuma bisa berucap Subhanallah Allahu Akbar. Cable car ini juga sesuatu yang mengasikkan banget, bisa membawa kami ke ketinggian 4000 meter dan menyaksikan salju abadi di tengah suasana musim panas. Saat itu cuaca di Zemartt 27 derajat Celcius, tapi di MGP, cuacanya 0 derajat. Untung kami udah siap-siap bawa perlengkapan musim dingin. Meski anak-anak agak rewel kedinginan, tapi tetap bisa menikmati lah. Dan anak-anakku yang sensi itu, rewel buanget waktu kita sudah mencapai puncak MGP. Gara-garanya, ayahnya cerita kalau di ketinggian, oksigen akan berkurang. Wajah mereka tiba-tiba mengerut semua sambil manyun. ”Ik kan niet adem halen…Ik kan niet adem halen (aku ga bisa napas, aku ga bisa napas..) ihik ihik ihik.” Haduuh lebaynya heheh, sugesti banget. Salah ngomong niy si ayah heheh.

Untungnya mereka happy waktu kami masuk ke Glacier Paradisenya. Jadi itu semacam museum dalam gua es, ada display-display semua terbuat dari es, seperti rusa dari es, bangku dari es, dan ada serodotan dari es juga. Baru deh mereka bisa rada-rada ketawa lagi.

Jadwal perjalanan selama di Swiss ini memang tergolong padat, maklumlah pengen dapat banyak dalam waktu singkat lagi lagi dalam rangka pengiritan heheh. Jadi setelah selesai menikmati Zermatt yang satu hari pun cukup sebetulnya (kecuali kalau mau hiking dan main ski), kami langsung meluncur ke Interlaken. Sebelum berangkat, waktu aku googling bikin jadwal, katanya di Swiss itu tempat yang paling recommended adalah Zermatt, Luzern dan Interlaken. Karena itu lah aku berusaha mengejar ketiga tempat itu, meskipun kota-kota lain juga masih banyak yang bagus-bagus dan jauh lebih mahal lagi seperti Davos dan St Moritz. Nanti deh perjalanan honey moon di masa tua sama suamiku aja itu mah kalo udah kaya hehe.

Dua jam perjalanan, sampailah kami di Interlaken. Sayang seribu sayang, interlaken menjadi tidak indah karena dua hari kami disana isinya cuma hujan dan kabut. Jadi pemandangan ga ada indah-indahnya. Masih untung di Lauterbrunen, tempat kami menginap yang jaraknya 12 km dari Interlaken, keesokan harinya hujan sempat mereda dan sedikit terang selama 1 jam. Jadi kami masih sempat melihat indahnya tempat itu. Pokoknya kalau kabut tersingkap, cuaca terang, wuah indahnya luar biasa. Rumah kayu cantik penuh bunga di tepi jalan bertebing yang dihiasi air terjun, dan sejauh mata memandang gunung-gunung berjejeran dihiasi gumpalan awan. Gunung itu pun memanjakan mata dengan memberi warna hijau pepohonan atau batu coklat dengan serpihan salju putih di puncaknya. Indah, sungguh. Namun ketika cuaca tak mendukung segala keindahan itu segera sirna, yang tampak hanya kabut putih semata. Membuatku kian merasa bahwa sejatinya keindahan abadi itu memang tak ada dan sangat mudah sirna.

Salah satu yang kuinginkan dari Swiss adalah membeli pisau dapur victorinox, Swiss Army yang terkenal itu. Aku pernah dapat dari seorang kawan dan terbukti pisau ini memang ampuh tajamnya meskipun harganya tak terlalu mahal, cuma lima puluh ribu rupiah sajah. Berdasarkan hasil review, di Interlaken harga pisau ini katanya terbilang murah di beberapa toko. Alhasil, selama di Interlaken aku hanya berburu pisau dapur. Kami juga sempat keliling-keliling kota. Menurutku kotanya sendiri biasa aja. Danau Thun dan Brienz yang katanya cantik juga tampak biasa karena terhalang kabut. Dan menurutku pemandangan bermobil di Norway ke arah Bergen lebih indah daripada bermobil di Swiss.

Pengalaman yang unik adalah ketika suamiku terserang kantuk hebat dan aku terpaksa menggantikannya. Sepertinya aku kualat, karena setelah beberapa kali jadi supir cadangan, aku sesumbar,”Wah nyetir di Eropa ga menantang, terlalu teratur, ga bisa nyalip-nyalip truck, maksimal 130 km, jalanan juga bagus datar dan rata, hmm.” Duh belagunya diriku. Maklumlah dulu aku mantan pembalap amatir, sering nyetir kaya supir, salip sana salip sini bahkan di jalan bergunung-gunung dan kelokan tajam. Untungnya sejak nyetir bawa anak, aku sudah insap. Nah saat itu, kami mencari taman bermain yang kata review cukup besar dan menyenangkan untuk anak-anak, letaknya di Bort, tak jauh dari Interlaken. Lalu kutulislah nama ‘Bort’ di GPS, suamiku udah tepar terkapar ga tau apa-apa. Lala juga tidur, yang bangun hanya Malik.

Awalnya jalanan biasa aja, hujan dan kabut. Lama-lama, loh koq jalan makin berkelok-kelok ke atas. Makin lama lagi, loh koq tempat ini seperti ga berpenghuni, sunyi, senyap dan suasana tambah gelap, padahal masih sore hari. Makin lama dan lama lagi, loh koq jalannya makin sempit dan sempiiit, duh mati aku! Aku mulai nyetir sambil deg deg an. Jalan mobil hanya cukup untuk satu mobil, sempitnya luar biasa. Sementara, aku harus menyupir berkelok-kelok terus ke atas bukit. Jantungku tambah berdegup kencang ketika sadar bahwa yang tampak di depanku cuma kabut dan parahnya lagi, di sisi jalan yang luar biasa sempit itu, ga ada penghalang sama sekali. Kalau kabut tersingkap sekali-kali, aku hanya melihat hamparan hijau berundak seperti undakan sawah. Artinya,kepleset sedikit aja, mobil yang kutumpangi ini bakal langsung jatuh berguling-guling seperti masuk jurang, wadaw! Menyadari semua itu hatiku langsung ngilu, sambil terus berdoa supaya ga ada mobil lain di depanku, aku menyetir pelan-pelan kayak siput. Ga kebayang kalau ada mobil lain, aku harus jalan turun mundur di jalan berkelok, sesempit dan setinggi itu, wuah mati aku! Mau membangunkan suamiku pun aku ga tega. Aku hanya bisa sesekali tanya ke Malik apakah aku sudah belok sesuai petunjuk si tomtom. Akhirnya, kata si tomtom, kami sudah tiba di tempat tujuan. Syukurlah, jalan pun sedikit melebar, jadi kami bisa berhenti dan berputar.

Klik! Mesin mobil kupadamkan. Penasaran, kuamati lebih jauh dimana kami berada. Dan apa yang ku lihat disana? Bukannya play ground seperti yang kami harapkan, tapi jalan buntu di atas gunung berkabut yang dingin dan sunyi senyap! OMG!

Suamiku bangun gelagepan,”Haa tempat apa ini Ma? Dimana kita?” katanya terkaget-kaget.”Somewhere, out there, in the middle of nowhere.” Aku mesam-mesem. Ketika keluar dari mobil, melihat plang jalan buntu, dan kabut tersingkap memperlihatkan keindahan alamnya sejenak, suamiku langsung berucap,”Nih liat hasil karyamu, jalan buntu di atas gunung nan indah, seperti negeri di awan, hehe.” Dan ketika si kabut semakin tersingkap, pemandangannya memang luar biasa indah, awan bergumpal-gumpal ditengah, dibawahnya hamparan undak-undakan hijau dihiasi rumah-rumah mungil terpajang. Memandang ke kejauhan, gunung-gunung pun menebarkan pesonanya. Wah betul-betul perjalanan nyasar mendebarkan yang berbuah keindahan! Inilah salah satu nikmatnya traveling, menyaksikan hal-hal tak terduga yang menantang.

Luzern dan Heidelberg

Hari terakhir 10 hari perjalanan ‘tour the defense’ tiba. Perjalanan dari Swiss ke Amsterdam memakan waktu 8 jam. Sebelum langsung ke Amsterdam, kami sempatkan dulu mampir ke Luzern, kota yang jaraknya cuma 1 jam dari Interlaken. Luzern lebih cantik dari kota Interlaken. Pemandangan khas yang ditawarkan kota ini adalah sebuah jembatan kayu beratap, memanjang menyebrangi sungai, yang pinggiran kayunya penuh dihiasi bunga warna warni. Uniknya lagi, di penghujung jembatan ada bangunan kayu serupa menara. Jadi dari kejauhan, tempat ini sungguh cantik, apalagi kalau cuaca cerah, background pegunungan Alpen akan membuat suasana tambah indah. Dan angsa-angsa putih di sekitar jembatan itu, duh, cantik sekali. Mereka seperti penari latar yang memperindah suasana panggung. Kami hanya mengitari sebentar tempat ini dan berfoto sejenak. Lalu perjalanan pun harus dilanjutkan pulang ke Amsterdam karena esoknya anak-anak sudah sekolah dan suamiku harus kembali ngantor.

Sebetulnya tak ada niatan sama sekali untuk berhenti di kota Heidelberg Germany. Yang aku tahu, jalur pulang terpendek adalah lewat Jerman, tapi kami tak niat untuk menikmati salah satu kotanya. Tapi berhubung harus berhenti untuk isi perut, kami pun melihat peta dan melihat kota apa yang layak untuk dijadikan tempat persinggahan. Tadinya mau ke Frankfrut, tapi teringat kata teman-teman bahwa Heidelberg adalah kota yang cantik, jadilah kami putuskan untuk mampir ke Heidelberg.

Berhubung beberapa hari sebelumnya sudah disuguhi pemandangan indah, kami pikir Heidelberg hanya biasa-biasa saja. Tapi ternyata old city nya memang lumayan cantik. Lagi-lagi sungai, jembatan, bangunan tua cantik, menara dan square adalah sajian utama di old city ini. Yang istimewa adalah pemandangan dari sebrang jembatan, selain bisa melihat jembatannya yang indah, juga bisa melihat castle di atas bukit. Square Heidelberg juga asik buat kongkow-kongkow. Anak-anak sempet beli crepes dan setelah shock melihat harga-harga di swiss, harga-harga di Jerman jadi tampak murah. Yang tadinya hanya niat sebentar di kota ini, tetap saja kami menghabiskan 3 jam berikut makan malam. Alhasil, perjalanan molor panjang. Kami baru tiba di Amsterdam jam 2 pagi! Phfuih…

Untunglah, semua lancar, selamat sampai tujuan. Perjalanan yang menutup perjuangan ‘mommy back to school’ ku selama setahun ini menjadi perjalanan puncak yang sungguh mengesankan. Setelah kami sekeluarga, berjuang penuh suka dan duka, akhirnya semua berujung indah. Mimpi-mimpiku terlaksana : merasakan defense yang mendebarkan bersama keluarga, mendapatkan hasil yang cukup memuaskan, juga menikmati kota-kota di Prancis dan Swiss yang sungguh menawan. Kebanyakan orang pasti bergumam, enak nya jadi diriku ya bisa merasakan semua itu. Yak betul, alhamdulillah banget, aku sangat mensyukuri semua itu. Tapi jangan lupa, sebelum merasakan yang indah-indah, lika-liku perjalanan juga sangat tajam dan sering kali membuat air mataku berlinang-linang.

Satu pesan yang kuserap dalam-dalam : jangan pernah berhenti di saat-saat puncak kegentingan, disaat dunia serasa gelap, disaat kita megap-megap, disaat kita merasa bahwa kita lah orang yang paling sengsara di dunia. Karena jika kita tak berhenti, jika kita terus bergerak dan berbuat, tak lama sesudahnya, setelah kepasrahan itu datang, setelah kita tak tahu lagi harus berbuat apa, setelah kita menggantungkan semua hanya padaNya, pertolongan itu pun lalu datang tanpa pernah disangka-sangka. Tangan-tangan semesta yang tiba-tiba merengkuh, memeluk dan menyelamatkan kita, yang membuat air mata berderai-derai menyadari betapa lemahnya kita dan betapa Dia memang sang Maha. Hal-hal seperti itulah yang kerap kualami selama setahun ini, yang membuatku semakin yakin dengan pola alam, pola Tuhan, bahwa perjalanan hidup memang begitu adanya, tak pernah rata. Moral of the storynya lagi-lagi sama, hidup akan selalu penuh warna, penuh perjuangan. Tapi semua akan berakhir indah asalkan kita yakin, haqul yakin, bahwa tangan-tangan semesta tak akan pernah berhenti meninggalkan kita, asalkan kita tak pernah berputus asa, dan selalu berusaha! Jangan, jangan pernah berhenti, meski gelap terasa semakin pekat, meski nadi seperti tak lagi hendak berdetak, karena percayalah… cahaya itu selalu menunggu disana…

--

--