Unek-Unek Malik

Agnes Tri Harjaningrum
Agnes Tri Harjaningrum
3 min readMar 14, 2017

Saat jerih payah mulai menuai hasil, hati seolah membumbung ke langit. Melihat anak-anakku tumbuh dengan segala keajaibannya, ragaku serasa terbang, bahagia tentu saja. Entah itu merupakan hasil jerih payah mengasuh mereka selama ini, ataupun memang begitu semestinya. Yang jelas, aku merasa senang dan takjub. Ya, anak-anak memang makhluk luar biasa. Mereka dikirim Allah dari surga.

Barangkali ini perkara sepele. Bahkan tak berhubungan dengan surga. Tapi entahlah, aku merasa suka karena Malik melakukannya. Kami sedang berjalan-jalan ke sebuah toko di sebelah V&D, Sabtu lalu. Malik mengikutiku masuk ke toko pakaian itu, sambil berlari-lari membawa pisang kesukaannya. Setelah berlarian kesana kemari, tiba-tiba seorang ibu tua pemilik toko menegurnya. Tak tahu dia bicara apa, aku tak fasih berbahasa Belanda. Tampaknya ibu itu menegur Malik karena pisangnya. Aku tak menyangka, ternyata Malik ‘tersinggung’. Ia merasa bahwa ibu itu mengomelinya. Hmm… rupanya betul, anak-anak sangat paham bahasa tubuh dan intonasi lawan bicaranya.”Ik, pulang yuk… tokonya udah mau tutup sayang” seruku mengajak Malik pulang. Namun, tubuhnya enggan bergerak. Dia hanya duduk di pinggir tangga, dengan wajah marah khas Malik — mata nyureng dan mulut sedikit manyun ke depan.

“Aik nggak mau pulang!”

“Kenapa sayang, Aik marah ya. Sini di peluk bunda yuk…”

“He-eh” katanya sambil mengangguk

“Oo bunda tau, Aik marah sama nenek itu kan?”

“Iya” jawab Aik sambil tetap belum ingin pulang

“Mmm…gimana ya biar marahnya Aik hilang? kita pulang aja yuk”

“Nggak mau! Aik nggak mau pulang!”

“Jadi gimana dong biar Aik mau pulang dan marahnya hilang? Aik mau bilang sama nenek itu kalo Aik marah?”

Eh… ternyata dengan pe-denya Malik mengangguk. Ah, ternyata, kebiasaanku untuk selalu meneguhkan perasaannya dan menyelesaikan masalah yang timbul dengan perasaannya itu telah diserapnya. Aku menggandeng tangan Malik menghampiri ibu tua itu.

“Aik yang bilang sendiri ya, sini digendong sama bunda” Lagi-lagi Aik mengangguk. Dari bibir mungilnya langsung saja keluar ‘unek-unek’ di hatinya. Hi hi, aku geli sekali melihatnya.

“Nek, Aik marah sama nenek” kata Aik sambil bicara dan menatap wajah ibu tua itu. Tentu saja si nenek tak mengerti bahasa Indonesia. Kontan dia menjawab “Wat zeg je? (kamu bilang apa?)” Aku langsung menjawab pertanyaan si nenek.

“Can you speak English?”

“Yes, I can speak English”

“He said, he was angry with you” he he aku berkata sambil cengar cengir kepada si nenek. Tentu saja si nenek ikut geli mendengarnya.

Ha ha… si nenek tertawa sambil menjelaskan perkara tersebut kepada teman di sebelahnya. Hi hi aku pun tak kuat menahan tawa. Lantas aku meminta Malik untuk say good bye kepada si nenek. Aik pun tersenyum dan melambaikan tangan pada si nenek

“Dag…” kata Aik.

“Dag…I love you!” jawab si nenek kepada Aik yang masih menatapnya lucu.

“Aik masih marah nggak sekarang?”

“Enggak bun…” jawabnya.

Hi hi ajaib deh rasanya, ternyata Aik langsung lega dan mau pulang. Aik… Aik…ada-ada saja ulahnya. Di luar toko aku menceritakan semua kejadian di dalam tadi kepada ayah. Hi hi ayah juga geli mendengarnya. “Berarti Aik sudah mulai terbiasa untuk mengkomunikasikan perasaan yang dialaminya dan menyelesaikannya saat itu juga. Bagus kan ma” ujar ayah.

Ya, ternyata kebiasaan berkomunikasi dengan empati — dari pelatihan KPA yang aku terapkan pada Malik — mulai tampak hasilnya. Tentu saja aku senang. Semoga aku dan ayah masih tetap diberi kesabaran untuk selalu mengembangkan kebiasaan itu. Tak mudah memang, apalagi dalam keadaan lelah. Namun kapan lagi kalau bukan sekarang. Inilah saatnya untuk menanam dan selalu menanam. Baru berbuah seperti ini saja rasanya sudah selangit. Bagaimana kalau lebih ya? Mmm… tapi aku masih tetap berpijak di bumi koq :-). Mudah-mudahan aku tak menjadi lalai karenanya, dan anak-anakku bisa menjadi manusia seperti yang diinginkan Tuhannya.

--

--