Menjadi Manusia Publik: Should You Do Your Personal Branding in Social Media?

Nurist Holmes
Akal Notes
Published in
6 min readNov 11, 2023

Sebuah Refleksi

Gambar karya Austin Chan di Unsplash

Akhir bulan November ini, saya menginjak 27 tahun. Tidak ada judul menginjak umur baru tanpa refleksi diri sendiri. Begitu setidaknya aturan tak tertulis yang saya tetapkan dalam hidup. Kali ini, saya ingin meracau perihal satu saja. Tentang menjadi manusia publik.

Biar tampak seperti insan intelektuil lainnya, mari kita beri definisi dulu apa itu manusia publik.

Manusia publik adalah manusia yang menjadi barang publik. Artinya nama, kata yang keluar, sikap, tindak-tanduk, menjadi milik publik. Yang implikasinya adalah menjadi contoh, role-model, penguat opini, penyuara utama. Mudahnya, zaman sekarang adalah judulnya influencer atau key opinion leader.

Sudah 3 tahun saya resmi menjadi pengusaha. Dan sejak awal mula, Obed, temanku, memberi saran padaku untuk menjadi manusia publik.

“Mbok kamu ni bikin konten yang sering-sering di medsos”

Dia tidak sendirian. Dhanti juga berujar, lalu mentor-mentorku, oh, dan timku lainnya. Dan selalu bulat-bulat kukatakan, “aku ingin jadi orang kaya raya berdampak dan tidak terkenal kecuali di kalangan sesama pengusaha, seperti pak Hartono”.

Saya merasa geli dengan banjirnya CEO Founder startup di medsos yang gagah-gagah tapi bisnisnya nggak jalan hehe. Saya mulanya merasa superior dengan menjadi manusia privat (kebalikan dari kata publik), karena merasa tidak punya risiko dan semacam kewajiban untuk “mengurusi” masyarakat/ publik.

Anehnya, justru di sepanjang tahun ini, kalimat itu diuji. Entah ini ujian, atau ini bentuk hidayah (?).

Riwayat Hidup Saya dengan Kepublikan

Gambar karya Tanaphong Tuchinda di Unsplash

Secara historis, hidup saya lumayan dekat dengan publik. Pertama, saya di masa kecil (TK-SD) adalah anak kepala desa perempuan yang prestatif di Kabupaten Mojokerto. Terkenal lah kira-kira di lokal lingkup desa, kecamatan dan secuil pejabat daerah (di desa saya soalnya ada perusahaan asing yang melantai di bursa efek dan penyumbang pajak terbesar se-Kabupaten). Rumah saya selalu dilingkupi lalu-lalang orang. Dan kehidupan sehari-hari saya selain sekolah, ya ikut ibu dinas di berbagai tempat dan selalu dikenalkan ke orang-orang, “ini si kecil”.

Kedua, saya waktu SD tumbuh di pesantren modern dan menjadi dai cilik yang diorbitkan secara sistemik. Hampir setiap minggu, aktivitas saya adalah berbicara di depan publik (ceramah). Dari sekecil kegiatan muhadhoroh (semacam aktivitas seni di pesantren, isinya bisa baca puisi, drama, suluk, juga dai), ke perayaan-perayaan sederhana (maulid nabi, tahun baru Islam), kompetisi dai dari level kecamatan sampai mal ke mal di bilangan Surabaya, hingga ke acara-acara besar seperti diundang ngisi mauidhoh khasanah pernikahan (wkwk), muwaddaah (wisuda akbar pesantren), dan pengajian besar. Salah satu portofolio saya setidaknya pernah ceramah di depan 2000 orang sebagai dai cilik pembuka sebelum Cak Nun tampil. Aktivitas ekstrakurikuler yang lumayan produktif dan publicis untuk anak umur 8–12 tahun.

Minimal dari 2 masa SD itu, saya tau rasanya bagaimana menjadi manusia publik di lingkup daerah. Menyenangkan. Hidup mudah, dan punya banyak akses kemana-mana.

Membuka Box Pandora Luka-Luka Kepublikan

Gambar karya Sara Bakhshi di Unsplash

Di masa yang lebih tua dari SD (apasi diksinya T.T); saya ada setidaknya 2 pengalaman kebalikan dari yang indah-indah.

SMP kelas 8, saya bertemu guru BK yang mengatakan, “kamu ini pinter banget ya bicara”. Umurku saat itu ternyata menganggap kalimat ini berkonotasi buruk. “Ternyata pinter bicara itu sebuah kelemahan”. Begitu kesimpulan pikiran anak usia 14 tahun waktu itu. Saya yang terbiasa ikut storytelling dan speech competition, jadi mendadak ngga bisa ngomong.

Kedua, waktu saya umur 22 tahun, ibu maju lagi jadi kepala desa di desa yang berbeda. Jika dulu waktu TK, ibu menang >70% suara, kali ini ibu sangat kalah. Saya ingat betul momen menggandeng tangan ibu yang kalah sekali di Balai Desa Pesanggrahan, disaksikan ribuan mata. Dan sesungguhnya, saya sudah mimpi duluan soal ini. Mimpi yang kira-kira maknanya adalah, ibu kalah karena rumah tangga ibu tidak sukses, dan itu dianggap portofolio yang buruk oleh publik.

Foto milik TopSphere Media di Unsplash

Tapi sepertinya, kejadian nomor dua ini membekas begitu besar dalam diriku. Itu baru lingkup daerah dan tidak di media sosial. But I know how exactly the feeling of being hated, of being massive public opinion in terms of bad news. Berbulan-bulan pula. Kesimpulanku sejak saat itu,

“Aku ramal masalah hidup yaaa kalau tidak karier, keluarga, ekonomi, hubungan sosial dan mungkin nambah satu variabel kalau dia adalah tokoh public: publik itu sendiri.”

selengkapnya di tulisan ini

https://nurist-holmes.medium.com/https-medium-com-nuristholmes-ohello-22-tentang-masalah-scene-tauhid-musik-sampai-slip-gaji-485ac9e5dcb4

Padahal sebenarnya, jika bisa di ulur, bisa aja kan mindsetnya diubah menjadi, “how to manage the risk of being public figure?”

Ujian atau Hidayah Perihal Publisitas: Kebersyukuran, Kebermanfaatan dan Keberkahan Usia

Suatu hari di kantor DNVB, saya bertanya pada Alwi, kamus berjalanku perihal ngaji-ngaji.

“Fajri, apa makna bersyukur? apakah mengucap alhamdulillah itu bukan definisi bersyukur?”

“Bersyukur itu tidak bermaksiat atas nikmat yang Allah berikan. Dan memanfaatkan setiap nikmat itu untuk beribadah sebaik-baiknya. Berperan sebaik-baiknya. Punya gadget Apple itu nikmat. Punya pekerjaan terhormat itu nikmat. Punya ilmu pengetahuan itu nikmat. Punya fisik yang sehat itu nikmat”

Lalu soal keberkahan ilmu,

Banyak ulama-ulama yang usia meninggalnya muda, tapi kebermanfaatannya luar biasa besar.

Ada yang meninggal umur 40, dan sudah menulis banyak buku yang jika di convert, keknya 40 tahun umurnya ga akan cukup untuk menghasilkan itu buku. Mana jaman dulu ga ada gadget, ga ada internet. Untuk menulis buku, orang harus berjuang di tengah cahaya lilin yang temaram. Untuk menghapus kata, orang tidak bisa sekadar CTRL Z”.

Sunan Ampel dan 8 wali lainnya. Meninggal saja mereka bermanfaat. Makamnya menumbuhkan titik-titik ekonomi baru, menjadi sumber pendapatan bagi pedagang dan tentu ada dampaknya pada program pariwisata daerah

Dan Sunan Kalijaga,

“Sunan Kalijaga itu berdakwah pake wayang. Itu hal paling kekinian pada masanya. Buya Hamka memilih jalur kebermanfaatan dengan memanfaatkan kepintaran intelektualnya dengan menulis karya-karya dari roman ke tafsir Alquran. Keknya kalo hidup di jaman sekarang, Sunan Kalijaga dan Buya Hamka akan jadi content creator Tiktok”.

Saya tertegun nyaris setahun mendengar kalimat-kalimat ini. Saya mendengarnya di umur 26.

Dan ditutup dengan kalimat yang pasti lazim kita dengar, tapi kali ini kudengar syahdu dikutip Habib Jafar di satu podcast,

“Nasihat terbaik saya adalah ‘khairun nas an fauhum linnas’. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”.

Jika diurai, saya punya banyak nikmat ilmu pengetahuan, apa lagi yang terkait, “menjadi barang publik”. I know exactly how to execute a great content, how to create viral marketing campaign, how to make the world moves through crafting public opinion, how to grow social media followers dari yang paling fundamental sampai ke hal yang sangat praksis.

Singkat cerita, saya bisa dibilang adalah manusia tidak bersyukur di urusan ini. Sudah tidak bersyukur, victim blaming pula. Padahal yang terakhir adalah sifat yang sangat kuubah mati-matian di umur 22 ke 23.

Bayangkan, masak berhenti berkarya hanya karena ada kejadian masa lalu yang buruk perihal publisitas?

Apakah Nurist akan terus memilih mengisolasi kaki rapat-rapat, padahal kakinya sangat pesat dan canggih jika dipakai untuk berlari maraton?

Daripada menarik kesimpulan, “aku tidak mau terkenal”, mengapa tidak membuat rumusan masalah baru, “bagaimana manajemen risiko menjadi manusia publik? how to manage the risk?”

Tidakkah menjadi problem solver itu lebih penting daripada mengutuk peristiwa (well, you are an entrepreneur after all)? Tidakkah “you can life for your future by leaving your emotional baggage behind” itu lebih atraktif? Tidakkah masa depan tidak akan datang dengan menyalah-nyalahkan masa lalu?

Action Item Rekonsiliasi

foto milik SpaceX di Unsplash

Salah satu hal yang paling kunikmati menjadi CEO adalah kata yang ada di tengah C dan O itu. Executive. Execution. Dulu waktu jadi insan akademis, biasanya kerap berputar-putar hanya di tataran diskusi dengan bahasa menjulang.

Saya harap, dengan tulisan ini, menjadi komitmen tertulis saya setidaknya pada diri sendiri. Saya sudah maafkan Nurist yang bilang tidak ingin menjadi manusia publik. Nurist yang baru adalah Nurist yang tidak terikat luka masa lalu. Nurist yang baru adalah yang memilih memanfaatkan seluruh nikmat yang diberikan Tuhan untuk bermanfaat ke kehidupan sebanyak-banyaknya manusia.

Saya mengakhiri keegoisan ini. Egois untuk menikmati ilmu saya sendiri. Egois untuk menjadi manusia privat.

Bismillah untuk diri saya yang baru. Ahuy-ahuy. Nampaknya mengganti kata, “bikin konten di sosmed” menjadi “berkarya” akan lebih cocok untuk personaku. Saya tidak cukup gila keterkenalan, tapi saya peduli amat dengan kekaryaan. Tidakkah makna creative itu create (berkarya) dulu?

Surakarta, 11 November 2023

--

--

Nurist Holmes
Akal Notes

Berperan, Berkarya, Berkarir, Bertaqwa, Berprestasi dan Bersenang-senang itu bisa dalam 1 tarikan napas!