Akar Pemikiran, Ranting Keanekaragaman: Sebuah Pengantar

Akar/Ranting
Akar/Ranting
Published in
4 min readAug 5, 2020

Law is an integral aspect of society and society infuses law, their interaction mutually constitutive and bidirectional in cause and effect. Law assumes different forms and functions in connection with levels of social complexity and surrounding economic, political, cultural, technological, ecological, and social factors. Interconnected with society in these and other ways, law must be apprehended holistically.”

- Brian Tamanaha, A Realistic Theory of Law -

Hukum Tak Sampai

Kan lu anak hukum nih, lu ngerti gak masalah ini?” “Pembunuhan dipenjara cuman 20 tahun? Harusnya hukuman mati!!”. Pertanyaan dan pernyataan tersebut sering dilontarkan oleh orang-orang yang kami kenal dari kalangan non-hukum ketika kami berbincang mengenai isu yang sedang berkembang di masyarakat. Pertanyaan dan pernyataan tersebut seringkali membuat kami kebingungan untuk menjawab lawan bicara kami.

Melakukan perbincangan dengan sesama mahasiswa hukum pun dapat memunculkan perdebatan yang pelik (baca: ribut). Hukum memberikan ruang perdebatan baik karena kekosongan hukum atau karena perbedaan interpretasi kata-kata. Namun, hal tersebut kiranya menjadi lebih mudah dengan adanya kesadaran bersama dari teman-teman dan dosen-dosen di kampus mengenai perbedaan pendapat ini, sehingga diskusi di antara kami secara alami menjadi lebih kontekstual.

Dinamika perbincangan mengenai hukum akan berbeda bila kami melakukan diskusi dengan orang atau pihak yang tidak bergerak di bidang hukum. Analogi yang kiranya tepat untuk mendeskripsikan hal ini adalah terdapat individu-individu yang membahas suatu hal yang sama, tapi berada dalam ‘frekuensi’ yang berbeda. Dalam tata cara komunikasi radio, para pihak yang ingin menghubungi atau berkomunikasi satu sama lain harus menyetel radio mereka dalam frekuensi yang sama. Bila tidak, maka komunikasi tersebut tidak akan berhasil; para pihak tidak akan dapat mendengar satu sama lain.

Bila dikaitkan dengan pengalaman kami di kampus, komunikasi mengenai hukum lebih mudah karena para mahasiswa dan dosen berada dalam ‘frekuensi’ yang sama. ‘Frekuensi’ dalam hal ini mungkin mencakupi tata cara struktur pemikiran, konsep-konsep, dan teori-teori yang melandasi lajunya perdebatan… setiap kata, penggalan kata, frasa, dan terminologi-terminologi yang digunakan dalam diskusi-diskusi kami sudah tersetel dalam ‘frekuensi’ tersebut. Sedangkan dengan orang awam, ‘frekuensinya’ terkadang berbeda. Perbedaan frekuensi ini, pada spektrum yang paling ekstrem, dapat berujung pada kesalahpahaman yang bisa menjadi berbahaya.

Fiksi dalam Hukum, Hukum dalam Fiksi

Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental) yang diwarisi selama ratusan tahun akibat penjajahan Belanda. Sistem Civil Law memiliki salah satu karakteristik yaitu mengutamakan hukum tertulis sebagai sumber hukumnya. Karakteristik ini pula lah yang dihidupi Indonesia saat ini, yang pada akhirnya diajarkan kepada para sarjana hukum, dimana hukum tertulis dalam bentuk perundang-undangan menjadi bentuk sumber hukum yang ‘pertama’ dan utama.

Pada semester pertama, kami belajar adanya asas fiksi hukum (presumption iures de iure). Negara mengasumsikan bahwa semua orang dianggap tahu tentang hukum. Seandainya Anda ditilang karena tidak menyalakan lampu sen siang hari, ketidaktahuan Anda tentang peraturan lalu lintas tersebut tidak dapat menjadi alasan bagi polisi untuk tidak menilang Anda. Mengingat ‘perbedaan frekuensi’ yang terjadi, asumsi bahwa semua orang mengetahui hukum ini agaknya hanyalah fiksi belaka. Bagaimana kita dapat menuntut pemenuhan hak dan kewajiban apabila kita tidak mengetahui kita memiliki hak dan kewajiban tersebut?

Terlebih, penulisan mengenai hukum seringkali dituliskan dengan menggunakan bahasa-bahasa yang terkesan ‘berat’ dan sulit untuk dimengerti dalam sekali membaca. Seringkali kita temukan istilah yang mungkin sekilas merupakan kata yang sering digunakan, dalam ilmu hukum, kata-kata tersebut dapat memberi akibat yang berbeda dan sangat berefek dalam kehidupan sehari-hari.

Hukum tidak seharusnya hanya dimengerti oleh sarjana hukum saja, karena hukum berdampak kepada semua orang di seluruh lapisan masyarakat. Di sisi lain, hukum juga berkembang bersama masyarakat, sehingga tujuan hukum untuk menjamin keadilan dan kebermanfaatan harus menyeimbangkan. Maka dari itu, diskursus tentang hukum tidak boleh berdiri sendiri tanpa diskursus tentang masyarakat di mana masyarakat tersebut berada. Hukum berdiri tegak atas dasar suatu mandat untuk melindungi rakyatnya — atas dasar suatu ‘kontrak sosial’ yang memberikan wewenang kepada negara pemerintah untuk melaksanakan hak dan wewenang tiap individu di bawah pengawasannya.

Hukum merupakan suatu alat yang bertujuan untuk mengatur segala aspek kehidupan warga negara masyarakat yang dibentuk demi melindungi kepentingan warga negara. Bila hukum tidak dapat dimengerti… apakah hukum kita dapat memberikan rasa aman kepada rakyat?

We need to find a common ground. Kita harus saling mengerti satu sama lain. Kami menyadari adanya ketidakselarasan pemahaman hukum dalam masyarakat dengan diskursus di sektor hukum. Kami percaya ada cara lain untuk melihat hukum dan pendekatan lain untuk mengupas fenomena hukum, dan hal ini berkaitan erat dengan interaksi hukum dan masyarakat, tidak hanya untuk kepastian hukum, tapi juga untuk memastikan keadilan dan kebermanfaatan hukum.

Sekilas tentang Akar/Ranting

Atas dasar keresahan tersebut, kami memutuskan untuk membentuk Akar/Ranting, sebuah inisiasi yang lahir dari kegelisahan, keingintahuan, serta niat kami untuk mengaplikasikan apa yang telah kami pelajari selama belajar di fakultas hukum.

Mengambil dari filosofi pohon hukum, “akar” melambangkan dasar-dasar ilmu hukum seperti sejarah hukum, perbandingan hukum, dan filsafat hukum; sedangkan, “ranting” melambangkan masing-masing cabang dari ilmu hukum yang dikenal. Melalui Akar/Ranting, kami ingin mengembalikan pembahasan dari “ranting” hukum kepada kaidah-kaidah yang berada di akarnya.

Akar/Ranting hadir bukan untuk menggurui, tapi berkontribusi dalam pemikiran atas sebuah fenomena yang berkaitan dengan hukum dengan perspektif yang beragam. Akar/Ranting juga tidak lahir untuk meromantiskan hukum. Akar/Ranting hadir sebagai wadah untuk menjembatani pemahaman masyarakat terkait sebuah permasalahan hukum dengan tidak meninggalkan ilmu-ilmu lainnya sebagai pisau analisis. Melalui Akar/Ranting, kami berusaha untuk menjembatani jarak yang seolah ada antara hukum dan masyarakat.

Kami merasa bahwa isu-isu yang berkembang di masyarakat belum dapat dijelaskan dengan cukup lugas dari segi hukum sehingga dapat dicerna oleh masyarakat pada umumnya. Isu-isu tersebut dapat dijelaskan dengan memperkenalkan teori-teori hukum dan menggarisbawahi pentingnya disiplin lain untuk memahami hukum. Melalui Akar/Ranting, kami bermaksud untuk turut berkontribusi terhadap diskursus mengenai isu hukum dalam serangkaian tulisan pendek. Kami mengundang tulisan-tulisan yang berhubungan dengan hukum dengan metode-metode yang tidak terbatas pada metode yuridis.

Kami berharap Akar/Ranting dapat berkontribusi terhadap diskursus mengenai isu hukum, tanpa mengabaikan adanya keperluan untuk memahami sebuah permasalahan secara komprehensif dan menggunakan perspektif multidisipliner. Harapan kami adalah bahwa tulisan-tulisan yang terkumpul dalam Akar/Ranting dapat memulai diskusi-diskusi baru, dengan satu tujuan: “menghidupkan kembali” hukum yang ada dan hidup di masyarakat.

--

--