Bahasa dan Hukum #1: Karena Setiap Kata Memiliki Makna

Akar/Ranting
Akar/Ranting
Published in
10 min readAug 7, 2020

Penulis: Agnes Galuh Simamora & Ailsa Namira Imani

Sumber: <a href=”http://www.freepik.com">Designed by pch.vector / Freepik</a>

Ingat terakhir kali waktu Anda berseteru dengan orang di sekitar Anda karena salah atau gagal memahami satu sama lain? Mungkin ucapan yang Anda maksudkan adalah suatu hal, tapi oleh lawan pembicara Anda dimengerti sebagai hal lain, atau sebaliknya. Well, gagal paham ini seringkali tidak terhindarkan dalam upaya memahami hukum.

Dialog Tak Sampai

Bahasa merupakan alat yang penting dalam kajian ilmiah apapun termasuk sistem hukum.[1] Sistem hukum karena sifatnya abstrak,[2] membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk mengkomunikasikan hukum itu sendiri. Penafsiran hukum memang tidak bisa lepas dari sistem bahasa;[3] bahkan, penafsiran secara gramatikal merupakan salah satu metode terpenting dalam menafsirkan hukum. Hanya saja, hukum punya sistem atau tatanan tersendiri, yang bisa dianggap sebagai suatu kesatuan dari berbagai unsur-unsur yang saling berinteraksi.[4] Semua mekanisme ini berlaku untuk memenuhi tujuan dari hukum: mewujudkan ketertiban dan keadilan, serta untuk mempertahankan kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat. Demi memenuhi tujuan-tujuan tersebut, penafsiran hukum tidak boleh dilakukan dengan serampangan.

Penggunaan bahasa dalam hukum tidak lepas dari kritik. Kraynak dengan pedas berkomentar bahwa ilmu bahasa hanya menambah kebingungan dari bahasa sehari-hari dengan memberikan penjelasan yang jauh dari apa yang dibayangkan. [5] Terdapat juga suatu asumsi bahwa pandangan hukum (legal perspective) berbeda dari struktur dan cara berkomunikasi pada umumnya; padahal, sesungguhnya asumsi ini belum tentu benar.[6] Melalui rangkaian tulisan ini, kami mengajak Anda untuk mengenal lebih dekat hubungan antara bahasa dan hukum.

Membahas Bahasa dan Hukum butuh penjelasan yang panjang lebar, sehingga artikel ini akan membahas pengenalan semantik hukum terlebih dahulu (untuk sisanya tunggu artikel kami berikutnya, ya!). Secara khusus, dalam tulisan pertama ini ini kami mengajak Anda untuk menelusuri berbagai kelompok terminologi atau konsep dalam hukum positif (hukum yang berlaku) di Indonesia yang menunjukkan pentingnya pemaknaan kata dan kalimat (semantik) dalam kerangka hukum. Kami juga ingin memperlihatkan bahwa dampak yang berbeda-beda dapat muncul, tergantung cara pengertian dari kata atau kalimat dalam suatu ketentuan. Pembahasan dampak sangatlah penting karena keunikan penafsiran hukum terletak pada satu hal: perbedaan istilah bisa memberikan akibat yang sangat berbeda.

Tulisan pertama ini akan dibuka dengan suatu perbuatan yang dapat kita sepakati sebagai bentuk pelanggaran hukum: pembunuhan.

Pasal 338 KUHP: Anatomi Suatu Pembunuhan

Bila bicara “hukum”, Anda mungkin awalnya akan mengasosiasikannya dengan perlawanan atas kejahatan, penjara atau lembaga pemasyarakatan. Semua konsep tersebut masuk dalam bidang hukum pidana. Dalam suatu pasal tindak pidana, setiap penggalan kata ataupun frasa dalam pasal tersebut akan menjadi suatu “unsur”. Suatu perbuatan harus dibuktikan telah memenuhi semua unsur yang tercantum dalam suatu pasal tindak pidana, agar pihak yang melakukan perbuatan tersebut dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dan dapat bertanggung jawab sesuai ketentuan pasal tersebut. (Kata “pidana” juga merujuk kepada sanksi yang diberikan bila suatu tindak pidana dilakukan.)

Salah satu tindak pidana yang umum diketahui adalah pembunuhan. Pembunuhan diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (disingkat KUHP), khususnya dalam Pasal 338. Mari kita membedah pasal tentang pembunuhan ini. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut (dalam kesempatan ini kami menggunakan KUHP terjemahan R. Soesilo):

Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun

Sebelumnya telah disebutkan bahwa terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi dari suatu pasal pidana. Dalam kasus Pasal 338 ini, dapat diidentifikasi adanya tiga unsur:

  1. Barangsiapa
  2. dengan sengaja
  3. menghilangkan nyawa orang lain

Agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai pembunuhan, perbuatan tersebut harus memenuhi ketiga unsur tersebut. Kalau kita coba konstruksikan seperti sebuah rumus matematika, maka kita dapat menguraikannya menjadi:

“Barangsiapa” + “dengan sengaja” + “menghilangkan nyawa orang lain” = Pembunuhan

Nah, di sisi lain, apabila salah satu unsur tidak ada atau gagal dibuktikan, pembunuhan itu sama sekali tidak ada. Misalnya:

“Barangsiapa” + “̶d̶e̶n̶g̶a̶n̶ ̶s̶e̶n̶g̶a̶j̶a̶”̶ + “menghilangkan nyawa orang lain” = bukan pembunuhan

Jika melihat rumusan tersebut, maka kita perlu melihat berbagai teori hukum secara umum dan hukum pidana agar kita bisa melihat makna unsur-unsur tersebut.

Barangsiapa

Kata “Barangsiapa”, yang sering muncul dalam pasal-pasal pidana dalam KUHP, merujuk kepada konsep subjek hukum. Pada dasarnya, hukum hanya dapat berlaku terhadap pribadi yang dapat mengemban hak dan kewajiban. Pribadi-pribadi yang dapat mengemban hak dan kewajiban tersebut disebut sebagai “subjek hukum”. Bila diterapkan dalam konteks hukum pidana, maka kapasitas/kemampuan suatu subjek hukum dalam mengemban hak dan kewajiban dapat berujung pada pengenaan sanksi pidana terhadap pribadi tersebut atas tindak pidana yang dilakukan olehnya. Sanksi yang dikenakan dapat berbentuk banyak hal, seperti pemenjaraan atau pembayaran denda.

Manusia (dalam hukum disebut sebagai pribadi kodrati) termasuk sebagai salah satu subjek hukum ini. Makhluk hidup selain manusia (baca: tumbuhan, binatang, dan lain sebagainya) sifatnya tidak dapat mengemban hak dan kewajiban — sehingga tidak dapat dipidana. (jadi kalau ada monyet di pura Uluwatu yang suka mengambil barang turis mereka tidak bisa dipidana).

Selain manusia, terdapat badan hukum, misalnya perseroan terbatas (PT) dan yayasan [7] yang sama-sama dapat mengemban hak dan kewajiban. Berbeda dengan manusia, yang hukum akui dapat mengemban hak dan kewajiban atas dasar kapasitas harfiah manusia yang memiliki akal budi, suatu badan hukum “diberikan” kapasitas untuk mengemban hak dan kewajiban oleh hukum, karena badan hukum masih bergantung pada manusia untuk menjalankan aktivitasnya.

dengan sengaja

Unsur “dengan sengaja” merujuk kepada teori kesengajaan (opzet, dolus). Singkatnya, terdapat berbagai jenis atau gradasi dari kesengajaan dalam ilmu hukum pidana. Gradasi ini dimulai dari “kesengajaan sebagai maksud”, hingga “kesadaran dengan menyadari kemungkinan”.

“menghilangkan nyawa orang lain”

Unsur “menghilangkan nyawa orang lain” dalam uraian pasal pembunuhan merupakan aspek yang menarik untuk dibahas. Unsur ini berfokus pada hilangnya nyawa. Uraian unsur seperti ini menunjukkan bahwa tindak pidana (atau dalam hukum juga disebut sebagai “delik”) yang diatur dalam pasal tersebut merupakan delik materil. Delik materil berarti delik yang menitikberatkan pada terjadinya suatu akibat tertentu. Dalam Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, akibat yang harus ada adalah hilangnya nyawa seseorang. Lawan dari delik materil adalah delik formil, yakni suatu delik yang menitikberatkan pada dilakukannya suatu perbuatan yang disebutkan dalam suatu pasal tertentu. (Contoh dari delik formil adalah tindak pidana pencurian dalam Pasal 362 KUHP: “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak…”)

Sebagai contoh, mungkin Anda berpikir untuk mengambil sebuah pisau tajam dari dapur Anda, lalu menusuk pisau tersebut ke salah satu bagian tubuh orang…. yang nyawanya… ingin Anda hilangkan, hingga orang tersebut kehilangan banyak darah yang mengakibatkan orang tersebut meninggal dunia (but please don’t do it). Mungkin Anda berpikir untuk mengajak orang… yang nyawanya… ingin Anda hilangkan untuk meminum kopi di sebuah kafe, mungkin di pusat Jakarta, lalu Anda secara diam-diam memasukkan sianida ke dalam kopi yang dipesan oleh orang yang Anda ingin hilangkan tersebut, yang mengakibatkan orang tersebut meninggal dunia.

Sumber: https://gfycat.com/agilebossycollardlizard-philip-j-fry-caffeine-futurama-jitters

Jika Anda melakukan salah satu dari dua konstruksi yang ditawarkan di atas, maka kedua perbuatan tersebut dapat dikenakan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, karena perbuatan yang dilakukan telah mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, dan ditambah dengan bahwa Anda telah melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.

Pembunuhan… atau Penganiayaan yang Menyebabkan Kematian?

Mari kita bandingkan konstruksi Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pasal penganiayaan dalam KUHP, yaitu Pasal 351. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500.000;

(2) Jika perbuatan itu menjadi luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun;

(3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.

Berbanding terbalik dengan konstruksi Pasal 338 tentang pembunuhan, Pasal 351 tidak memberikan definisi terkait apa yang dimaksud dengan “penganiayaan”; pasal tersebut cukup menyebutkan kata “penganiayaan” saja. Atas dasar alasan apa penganiayaan tidak diberikan definisinya?

R. Soesilo menegaskan bahwa perbedaan antara kematian yang disebabkan dalam Pasal 338 tentang pembunuhan dengan dan kematian yang menyertai terjadinya suatu penganiayaan (dalam Pasal 351 ayat (3)) adalah apakah kematian tersebut disengaja (“termasuk dalam niatnya”) atau tidak. Dalam Pasal 338, kematian tersebut harus disengaja. Apabila kematian seseorang tidak dimaksud oleh pihak yang melakukan suatu tindakan, R. Soesilo berpendapat bahwa tindakan tersebut dapat dikenakan pasal-pasal penganiayaan lain (Lihat juga : Pasal 351 ayat (3), Pasal 353 ayat (3), Pasal 354 ayat (2), Pasal 355 ayat (2), dan Pasal 359 KUHP).

KUHP tidak memberikan pengertian “penganiayaan”; hanya saja, Pasal 351 ayat (4) disamakan dengan merusak kesehatan orang. R. Soesilo memberikan contoh merusak kesehatan dengan contoh berikut: “misalnya orang sedang tidur dan berkeringat dibuka jendela kamarnya sehingga orang itu masuk angin.” Yang menarik , istilah ‘luka berat’ dalam Pasal 351 ayat (2) harus merujuk pula pada Pasal 90 tentang luka berat.[8] Hal ini mencerminkan cara membaca hukum yang unik. Jadi, kita tidak bisa membaca hukum hanya dari satu pasal tertentu saja, melainkan harus secara utuh, menyeluruh dan dengan melihat juga peraturan-peraturan terkait. Peraturan terkait dalam hal ini, bisa saja berasal dari produk hukum yang sama, bisa juga berasal dari produk hukum pelaksanaannya (yakni aturan-aturan di bawah peraturan perundang-undangan yang lain).

Kemudian, jika dalam suatu konstruksi kasus (yang tentunya bersifat fiktif and please don’t do it!) — Anda memasukkan seseorang ke dalam suatu ruangan kosong dan kedap udara. Kemudian, Anda mengunci ruangan tersebut dari luar. Orang tersebut mungkin akan menggedor pintu dan berteriak agar Anda membuka pintu tersebut — namun Anda tidak menghiraukan permohonan orang tersebut. Hari demi hari lewat, dan orang tersebut mulai melemah karena kurang makan dan dehidrasi. Seminggu kemudian, Anda lalu melepas kunci pintu dan membuka ruangan tersebut, dan Anda menemukan orang tersebut dalam keadaan meninggal dunia.

Jadi, apakah Anda telah “dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain”? atau apakah Anda telah melakukan penganiayaan… yang mengakibatkan kematian? Kalau dihubungkan dengan Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian, perbuatan Anda tersebut memenuhi unsur-unsur penganiayaan yang dikonstruksikan oleh R. Soesilo. Perbuatan Anda, yakni mengunci orang tersebut dalam ruangan tertutup kemudian membiarkannya, dan telah “merusak kesehatan” orang tersebut dapat dianggap telah memenuhi unsur-unsur penganiayaan.

Di sisi lain, perbuatan tersebut mungkin saja dapat dikenakan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Perbuatan Anda, yakni mengunci orang tersebut dalam suatu ruangan tanpa mengeluarkannya, dapat dianggap telah mengakibatkan orang tersebut meninggal dunia. Namun, ada beban pembuktian yang besar, yakni bahwa Anda telah sengaja mengunci orang tersebut dalam ruangan itu, dengan niatan untuk “menghilangkan nyawa” orang tersebut.

Atas dasar ini, maka dapat dilihat berbagai faktor dalam pengenaan pasal terhadap suatu tindakan yang dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana. Berbagai hal harus diperhatikan, baik oleh polisi yang melakukan penyelidikan dan penyidikan, jaksa yang melakukan penuntutan, maupun hakim yang mengadili perkara, dalam menentukan tindak pidana yang dilakukan, dan apakah suatu perbuatan memenuhi unsur-unsur dalam suatu tindak pidana.

“Mengadu” atau “Melapor”?

Sumber: https://giphy.com/gifs/season-6-the-simpsons-6x24-3orif426HKg21JEziE

Contoh lain dalam hukum pidana dan acara pidana dapat ditemukan dalam pembedaan delik aduan [9] dan delik laporan [10]. Delik yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan sebagai delik aduan akan berakibat sangat berbeda terhadap proses pemidanaan dari delik laporan. Pada dasarnya setiap orang bisa melaporkan apabila terjadi suatu tindak pidana. Lain halnya dengan pengaduan. Secara harfiah, pengaduan berarti “ungkapan rasa tidak senang atau tidak puas akan hal-hal yang tidak begitu penting, tetapi perlu diperhatikan,”[11] tidak demikian diperhatikan subjek yang mengadu.

Berbeda dalam hukum, pengaduan memiliki implikasi bahwa hanya orang tertentu (biasanya yang memiliki kepentingan atau yang dirugikan) saja yang dapat mengadukan. Pengaduan oleh orang tertentu menjadi suatu syarat untuk memproses suatu perkara dan hal ini dapat dicabut. Ketika suatu aduan dicabut, gugur pula kewenangan jaksa untuk menuntut. Sedangkan dalam delik laporan, semua orang dapat melaporkan suatu perkara dan tidaklah menjadi soal ada tidaknya laporan itu; dan berbeda dengan delik aduan, laporan tidak bisa dicabut.

Istilah-istilah ini merupakan contoh bagaimana suatu kata yang sama dalam bahasa Indonesia, bisa memiliki makna yang berbeda atau lebih spesifik di mata hukum. Tulisan ini tidak bermaksud menegaskan eksklusivitas penafsiran hukum untuk sarjana hukum, melainkan ingin menggambarkan bahwa penggunaan istilah yang berbeda dapat memberikan dampak yang sangat drastis dalam hukum. Kenyataan ini mempunyai kaitan yang sangat erat dengan perlindungan hak asasi manusia, yaitu hak atas kebebasan dan hak atas perlakuan yang sama di mata hukum. Contoh-contoh yang kami berikan memang sederhana dan hanya bersifat sebagai ilustrasi saja. Dengan mengetahui logika membaca hukum, diharapkan masyarakat luas menjadi lebih paham mengenai hak dan kewajibannya.

[1] Miles Macleod et.al., Language as a Scientific Tool: Shaping Scientific Language Across Time and National Tradition, hlm. ii.

[2] Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum. Penerbit liberty: Yogyakarta, 2007. hlm. 124

[3] Purnawidhi W. Purbacaraka. “Sekilas tentang Bahasa Hukum.” Jurnal Hukum dan Pembangunan, http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/194/131, lihat juga H. Hilman Hadikusuma, “Bahasa Hukum Indonesia”, Cet. Kedua, (Bandung: Penerbit Alumni, 1992), hlm. 3.

[4] Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum. Penerbit liberty: Yogyakarta, 2007. hlm. 124

[5] Robert P. Kraynak. History and Modernity in the Thought of Thomas Hobbes. Ithaca, NY: Cornell University Press, 1992., dalam Gary L. McDowell. The Language of Law and the Foundations of American Constitutionalism. Cambridge: Cambridge University Press, 2010. doi:10.1017/CBO9780511761508

[6] Karen Petroski. Fiction and the Languages of Law: Understanding Contemporary Legal Discourse. Routledge, (2018)

[7] Subekti. Suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak — hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau mengugat di depan hakim

[8] R. Soesilo. Kitab Undang Undang Hukum Pidana Serta Komentar -Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politeia, 1995., hlm. 245, pasal. 351

[9] R. Soesilo. Kitab Undang Undang Hukum Pidana Serta Komentar -Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politeia, 1995., Bab VII tentang Memasukkan dan Mencabut Pengaduan dalam Perkara Kejahatan, yang Hanya Boleh Dituntut atas Pengaduan, Pasal 72 — Pasal 75

[10] “Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis,” lihat: Pasal 108 ayat (1) dan ayat (6) Undang Undang №8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

[11] Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Pengaduan,” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pengaduan

--

--