Electoral College #1: Sistem yang Unik

Seno Adirespati
Akar/Ranting
Published in
5 min readNov 18, 2020
“270 to win”. Sumber: https://unsplash.com/photos/BY-R0UNRE7w

Joe Biden dan Kamala Harris, kandidat Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat (Amerika Serikat tentunya, bukan Partai Demokrat yang ada di Indonesia), dinyatakan telah memenangkan Pemilihan Presiden AS 2020 pada 7 November 2020. Mereka dinyatakan telah berhasil mengalahkan kandidat petahana, yaitu Presiden Donald Trump dan Wakil Presiden Mike Pence dari Partai Republik, beserta kandidat-kandidat lain yang mengikuti Pemilihan Presiden (Pilpres) — termasuk Kanye West dari “Birthday Party” atau Partai Ulang Tahun.

Mungkin ada di antara teman-teman yang mengikuti secara reguler proses penghitungan suara Pilpres AS sejak 3 November 2020. Bagi teman-teman yang termasuk ke dalam kategori ini, semoga familiar dengan meme yang satu ini.

Penghitungan Surat Suara di Nevada, 2020. Sumber: https://imgflip.com/i/4lbp04

Bagi teman-teman yang tidak mengikuti berita mengenai Pilpres AS, mungkin sedikit banyak pernah mendengar bahwa proses Pilpres di AS berbeda dengan Pilpres di Indonesia. Padahal, AS dan Indonesia sama-sama mempunyai Presiden kan? Terus, bedanya apa?

Kenapa sih orang-orang kelihatan antusias banget menunggu hasil Pilpres per negara bagian AS? Apalagi kalau sudah mendekati angka 270. Memang artinya angka 270 itu apa? Terus, kenapa ya di Indonesia kita tidak seantusias itu menunggu hasil Pilpres per provinsi? Jawabannya adalah sistem Electoral College.

Melalui seri ini, kita akan membahas serba-serbi electoral college, termasuk proses pemilihan dan penghitungan suara, asal usul electoral college AS, isu-isu dan perdebatan seputar electoral college, serta upaya-upaya yang telah dilakukan untuk memperbaiki dan mengubah sistem ini.

Sistem Electoral College selalu menjadi perbincangan setiap Pilpres AS diadakan 4 tahun sekali. Sistem ini sering kali mendapatkan kritik dan sorotan publik. Salah satu contohnya adalah pada saat Pilpres AS 2016, yaitu saat Hillary Clinton mendapatkan suara terbanyak dari rakyat, tapi Donald Trump lah yang pada akhirnya menjadi Presiden AS. Kok bisa ya ini terjadi?

Kita tentunya sudah familiar dengan sistem Pilpres di Indonesia. Pilpres di Indonesia menggunakan sistem pemilihan secara langsung. Artinya, rakyat memilih secara langsung kandidat yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Untuk memenangkan Pilpres, pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres) harus mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pilpres dan harus mendapatkan paling sedikit 20% suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia (Pasal 6A UUD 1945).[1]

Bagaimana dengan Amerika Serikat? Apa sih yang sebenarnya dimaksud dengan Electoral College?

“Electoral College”. Sumber: https://gph.is/g/4A7eAwO

Pemilihan Melalui “Wakil” Rakyat

Pemilihan Presiden di Amerika Serikat dilakukan secara tidak langsung. Iya, secara teknis, rakyat AS tidaklah memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, melainkan memberikan suaranya kepada orang-orang yang disebut sebagai electors. Kemudian, electors inilah yang akan memilih Presiden dan Wakil Presiden AS secara langsung pada bulan Desember. Kumpulan dari electors inilah yang dikenal sebagai Electoral College. Perlu diketahui, Electoral College ini bukanlah suatu parlemen/DPR/lembaga legislatif.

Berdasarkan Konstitusi AS[2], masing-masing negara bagian AS harus menunjuk (appoint) electors. Suatu negara bagian “berhak” atas sejumlah electors yang jatahnya tergantung pembagiannya (akan kita bahas lebih lanjut pada kesempatan lain). Jatah electors yang dimiliki oleh negara bagian ini juga sering disamakan dengan istilah electoral votes, karena satu elector mempunyai satu electoral vote. Jadi, dapat dianggap bahwa masing-masing negara bagian mempunyai jatah “hak suara” yang berbeda-beda untuk memilih Presiden.

Keunikan Electoral College

Sama seperti di Indonesia, Presiden AS adalah kepala negara yang sekaligus menjabat sebagai kepala pemerintahan. Namun, hanya ada segelintir negara yang menggunakan sistem pemilihan tidak langsung untuk memilih pejabat kepala negara-kepala pemerintahan tersebut.

Metode pemilihan kepala negara AS yang unik. Sumber: Pew Research Center, http://pewrsr.ch/2fYiz4Z

Per 2016, dari 125 negara demokrasi, terdapat 30 negara yang memilih kepala negaranya melalui pemilihan tidak langsung. Biasanya, pemilihan semacam ini dilakukan melalui parlemen atau cabang kekuasaan legislatif tingkat nasionalnya, bukan melalui badan seperti electoral college yang khusus dibentuk untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.[3]

Badan seperti electoral college yang khusus dibentuk untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden ini sebenarnya dapat ditemukan di beberapa negara lain. Misalnya, Jerman mempunyai badan bernama Federal Convention atau Bundesversammlung. Namun, Presiden Jerman hanya menjabat sebagai kepala negara, tidak sebagai kepala pemerintahan — posisi ini dipegang oleh Kanselir Jerman. Dari 30 negara tersebut di atas, mayoritas (22) memilih kepala negara yang hanya mempunyai peran terbatas dan seremonial, karena tidak berperan sebagai kepala pemerintahan.[3]

Hanya ada 8 negara, termasuk AS, yang: (1) jabatan kepala negara dan kepala pemerintahannya berada di satu jabatan dan, (2) dipilih melalui pemilihan tidak langsung. 8 negara tersebut adalah AS, Swiss, Afrika Selatan, Botswana, Kepulauan Marshall, Federasi Mikronesia, Nauru, dan Suriname. Dari daftar tersebut, Amerika Serikat adalah satu-satunya negara yang memilih Presidennya tidak melalui parlemen nasionalnya.[3]

“One of a kind.” Sumber: https://gph.is/g/EBm18WB

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia termasuk ke dalam 65 negara demokrasi yang memilih kepala negaranya secara langsung.[3] Namun, perlu diingat bahwa sebelum tahun 2004, Indonesia pernah memilih kepala negara secara tidak langsung, yaitu melalui MPR.

Pemilihan Presiden AS yang dilakukan melalui electoral college dapat dikatakan unik. Jarang sekali Presiden — yang menjabat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus — dipilih secara tidak langsung. Mungkin saja, hal ini menjadi salah satu alasan yang membuat orang-orang bertanya, “Apakah sistem pemilihan di AS benar-benar demokratis?”, mengingat peranan AS yang besar dalam “memperjuangkan” demokrasi. Pertanyaan ini mungkin kita simpan untuk kesempatan lain.

Referensi

[1] Untuk ketentuan lebih detailnya, termasuk skenario-skenario apabila ketentuan persebaran tidak terpenuhi, dapat dilihat di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

[2] Lihat Konstitusi Amerika Serikat beserta amendemennya. Article II, Section 1. Dapat diakses di https://www.archives.gov/founding-docs/constitution-transcript#toc-article-ii- dan https://www.archives.gov/founding-docs/amendments-11-27.

[3] Desilver, Drew. “Among democracies, U.S. stands out in how it chooses its head of state.” Pew Research Center. https://www.pewresearch.org/fact-tank/2016/11/22/among-democracies-u-s-stands-out-in-how-it-chooses-its-head-of-state/.

--

--