(Katanya) Tidak Pernah Lagi : Raphael Lemkin dan Peringatan Hari Pencegahan Kejahatan Genosida (Part I)

Akar/Ranting
Akar/Ranting
Published in
10 min readDec 14, 2020

Penulis: Irfan Fadilah

“When a nation is destroyed, it is not the cargo of the vessel that is lost, but a substantial part of humanity with a spiritual heritage in which the whole world partakes. These people are being destroyed for no other reason than they embrace a specific religion, or because they belong to a specific race. They are destroyed not in their individual capacity, but as members of a particular collectivity of which the oppressor does not approve” -Raphael Lemkin-

Sumber: https://cutt.ly/5hU0Hwc

Selamat bulan Desember. Gak kerasa, kita udah berada dalam penghujung tahun yang jadi pembuka dekade ini. Yes, sekadar mengingatkan juga, udah hampir setahun juga bumi ini dilanda pandemi COVID-19 yang memaksa kita untuk adaptasi dengan kebiasaan baru (bahasa kerennya, New Normal). Anyways, Selain memperingati hampir setahun kita mengalami pandemi ini, bulan ini juga menjadi Bulan HAM Universal, di mana pada tanggal 10 Desember 1948, Deklarasi HAM Universal (DUHAM) yang dianggap sebagai instrumen HAM internasional pertama disahkan oleh Majelis Umum PBB berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB №217. DUHAM sendiri pada perkembangannya membidani beberapa instrumen turunannya, seperti ICCPR, ICESCR, dan beberapa Konvensi HAM lainnya.

Tapi, tau gak sih, sebenarnya sebelum tanggal 10 Desember 1948, tepatnya pada tanggal 9 Desember 1948 Konvensi Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida) disahkan berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB №260. Disahkannya konvensi ini turut mengkriminalisasi genosida sebagai sebuah kejahatan yang dapat dihukum berdasarkan hukum internasional.

Diadopsinya Konvensi ini juga tidak terlepas dari satu sosok penting, mungkin kalau bisa dibilang sebagai orang yang merumuskan (dan bahkan memberi nama) kejahatan genosida. Orang ini bernama Raphael Lemkin, seorang advokat kelahiran Polandia yang berasal dari keturunan Yahudi. Nah, di tulisan ini, kita akan coba membahas, siapa (dan kenapa) Lemkin mati-matian memperjuangkan konvensi ini, dan kita juga akan mencoba membahas secara singkat mengenai seperti apakah yang dimaksud dengan kejahatan genosida, dan pada akhirnya mungkin merefleksikan relevansi konvensi ini dalam menanggulangi potensi kejahatan genosida yang berpotensi terjadi di masa mendatang.

Raphael Lemkin: Advokat dan Penyintas

Oke, tadi di paragraf sebelumnya sudah disinggung sedikit mengenai Raphael Lemkin yang dianggap merupakan “bapaknya” kejahatan genosida (bukan dalam artian sebagai orang yang pertama kalinya melakukan genosida ya hehehe). Tapi sebenarnya beliau ini siapa sih?, dan

Raphael Lemkin. Sumber: https://cutt.ly/NhQhEuC

kenapa beliau getol memperjuangkan genosida sebagai sebuah kejahatan berdasarkan hukum internasional?.

Lemkin, yang dilahirkan dengan nama Rafel Lemkin (melalui proses anglisasi nama selanjutnya disebut Raphael Lemkin) dilahirkan dari ayah dan ibu keturunan Yahudi Polandia sekitar 120 tahun lalu di sebuah desa bernama Bezwodne — sekarang menjadi bagian dari Republik Belarus. Ayahnya merupakan seorang petani, dan ibunya merupakan seorang intelektual, pelukis, dan seniman amatir. Adalah karena profesi ayahnya sebagai seorang petani (yang dianggap bukan profesi “umum” orang keturunan Yahudi) yang menjadikan Lemkin kecil erat dengan istilah diskriminasi sedari dini.

Polandia, negara Lemkin dilahirkan pada saat itu memang berada dalam situasi yang unik. Sempat menjadi bagian dari kekaisaran Rusia hingga tahun 1915 sebagai konsekuensi dari kesepakatan dalam Kongres Wina 1815 , wilayah ini kemudian menjadi rebutan antara Kekaisaran Rusia dan Jerman sebagai salah satu teater dalam Perang Dunia I. Tidak pelak, situasi ini menimbulkan impresi tersendiri bagi Lemkin kecil yang memang tumbuh di wilayah yang secara politis tidak akan kondusif hingga akhir Perang Dunia II.

Instabilitas politik ini memiliki peran penting bagi perkembangan Lemkin kecil dalam memaknai kejahatan genosida. Sebagai seorang yang lahir dari keturunan Yahudi, Keluarga Lemkin sering menjadi target dari kebijakan diskriminatif. Semisalnya, larangan bagi orang Yahudi untuk memiliki atau memanfaatkan lahan pertanian, hingga menjadi sasaran kekerasan rasial lainnya. Hal inilah yang pada akhirnya mendorong keingintahuan Lemkin kecil terkait kisah-kisah mengenai peristiwa yang berkaitan dengan kekejian massal yang menyasar suatu etnis/agama/ras tertentu.

Lemkin semasa kecil memang beda dibandingkan anak-anak sebayanya. Pada saat anak-anak lebih identik dengan masa main sepakbola, masak-masakan hingga permainan lainnya, ia gandrung terhadap kisah-kisah pembantaian di masa lampau seperti Invasi Mongolia, Kekejaman Kaisar Nero terhadap Umat Kristiani, Penjarahan di Kartago, hingga kisah pembantaian terhadap orang-orang Huguenot pada 1572. Ketertarikan akan hal diatas berubah menjadi sebuah pertanyaan yang harus ia jawab sebagai seorang dewasa, khususnya terkait akar permasalahan mengapa kekejaman tersebut terjadi.

Hal ini terutama terlihat pada saat ia beranjak dewasa, populasi Yahudi di Polandia menjadi sasaran kejahatan Pogrom, yakni di kota Lvov (sekarang Lviv, bagian dari Ukraina) yang menyasar sekitar 72 korban jiwa dan 443 orang luka-luka. Tidak lama kemudian, selain kejadian ini, kekejaman massal lainnya di waktu yang hampir bersamaan kemudian juga terjadi terhadap orang-orang Armenia yang berada di wilayah Turki, yang mana hal terakhir disebut sebagai genosida pertama yang terjadi pada Abad ke-20.

Akhir perang Dunia I pada membawa periode Polandia kearah yang relatif lebih stabil. Singkatnya, periode interwar ini merupakan sebuah calm before the storm. Lemkin, yang belum genap berumur 30 tahun pada tahun 1929 menjadi seorang praktisi hukum, dengan kekhususan di bidang hukum pidana dan hukum pidana pajak. Akan tetapi, ketertarikan (jika bukan kepedulian) Lemkin akan kekerasan berbasis etnis ini tidak berarti padam sepenuhnya.

Buktinya, meskipun kesibukannya sebagai seorang pengacara, Lemkin masih menyempatkan untuk menyumbang pemikirannya terkait pentingnya memasukkan serangkaian aksi persekusi dan pembunuhan yang menyasar terhadap suatu etnis/agama/ras tertentu sebagai sebuah kejahatan yang dapat dihukum berdasarkan hukum internasional. Tercatat, misalnya, pada tahun 1933, ditengah-tengah kesibukannya sebagai seorang pengacara, Lemkin masih sempat mempresentasikan makalahnya mengenai kejahatan bar-bar (barbarity) dan vandalisme terhadap etnis/agama/ ras tertentu di depan Association Internationale de Droit Penal, sebuah organisasi internasional yang bergerak di bidang perkembangan hukum pidana. Namun sayang, usulan tersebut senantiasa ditolak dalam beberapa konferensi tersebut. Mungkin, bisa jadi anekdot Shakespeare yang terkenal “Kill all the lawyers” bisa jadi gak sepenuhnya benar, karena Lemkin merupakan contoh, bahwa ternyata, jadi seorang pengacara gak akan sepenuhnya “profit and client oriented” sebagaimana yang distereotipekan orang.

Mungkin kalo beneran gaada pengacara, genosida masih tidak dilarang? Hmm maybe ya Sumber: https://cutt.ly/rhQ10KK

Alasan Lemkin senantiasa memperjuangkan pembantaian terhadap etnis/agama/ras tertentu beralasan. Sebagai seseorang yang memiliki concern terhadap isu ini, ia sendiri melihat bahwa pola kekerasan yang didasarkan atas dasar kebencian merupakan sesuatu yang senantiasa berulang dalam sejarahnya. Benar, enam tahun setelah ia mempresentasikan makalahnya — tepatnya pada tahun 1939 — Perang Dunia II meletus. Perang ini merupakan tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah umat manusia yang melibatkan jutaan korban jiwa, di mana kurang lebih 6 juta diantaranya adalah korban holocaust yang menyasar orang-orang Yahudi.

Bagaimana dengan Lemkin pada saat itu? Well, tentunya kita tahu bahwa Perang Dunia II dimulai tepat pada tanggal 1 September 1939 dengan diserangnya kota Danzig oleh tentara Nazi Jerman dengan taktik blitzkriegnya. Polandia segera menjadi teater pembuka di Perang Dunia II. Pada saat ini ketakutan (atau kekhawatiran) Lemkin mulai perlahan-lahan terbukti. Jerman yang berada di bawah kendali rezim Adolf Hitler merupakan gerakan politik yang secara terbuka mengutarakan kebenciannya terhadap orang-orang Yahudi (selain etnis minoritas lain tentunya). Lemkin, yang telah beberapa tahun mempelajari pola perilaku partai Nazi menyadari bahwa pada akhirnya, siklus kekerasan yang berujung pada hilangnya nyawa banyak orang sebagaimana diceritakan dalam kisah-kisah sejarah terulang kembali.

Lemkin di hari-hari awal meletusnya Perang Dunia II telah memperingati sanak keluarganya akan potensi bahaya dari Perang Dunia II ini, dan mencoba untuk membawa keluarganya evakuasi dari kota Warsawa, untuk kabur melalui Lithuania dan menuju ke Swedia. Namun naas, keluarganya memilih untuk tidak ikut bersama Lemkin. Tidak kurang dari 49 sanak keluarga Lemkin menjadi korban kebrutalan Nazi Jerman dan Uni Soviet selama masa Perang Dunia II.

Dari Swedia, Lemkin pun melalui bantuan salah satu temannya, Prof. Malcolm McDermott kemudian dapat melarikan diri ke Amerika Serikat pada tanggal 18 April 1941. Pada saat tiba di AS, Lemkin masih sempat bersurat kepada sanak keluarganya di Polandia, mengingat tempat dimana keluarganya tinggal masih berada dalam kekuasaan tentara Uni Soviet. Tidak lama berselang, pada saat tentara Nazi Jerman dapat memukul mundur tentara Uni Soviet, kemudian diketahui pula bahwa keluarga Lemkin telah digiring ke Kamp Konsentrasi yang tersebar di Polandia. Hanya tersisa beberapa orang keluarganya yang selamat akibat kekejaman ini, yakni saudaranya Elias beserta istri dan kedua anaknya.

Lemkin kemudian mengajar di Duke University di California Utara sembari melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen dekrit yang dikeluarkan oleh Jerman yang ia dapat semasa melarikan diri ke Swedia. Selama masa tersebut pula, Lemkin berhasil menelurkan karyanya yang pertama kalinya merumuskan secara definitif kejahatan yang disebut sebagai genosida. Dalam bukunya yang berjudul Axis Rule in Occupied Europe, berdasarkan penelitiannya sendiri mengenai pola okupasi Nazi Jerman di Eropa, Lemkin pun melihat adanya pola perencanaan sistematis untuk memusnahkan populasi Yahudi di seluruh wilayah Eropa yang mana Nazi Jerman duduki.

Dalam salah satu opus magnum nya tersebut, Lemkin kemudian mengajukan sebuah istilah baru yang mengacu pada sebuah tindakan pembunuhan atau penghancuran massal terhadap suatu etnistas/agama/ atau ras tersebut sebagai Genosida, yang berasal dari dua kata, yakni “Genos” yang dalam bahasa Yunani merujuk pada “sekelompok orang, atau ras tertentu”, dan “Caedo yang dalam bahasa Latin merujuk pada “pembunuhan”.

Perjuangan Lemkin tidak berhenti saat itu. Setelah Perang Dunia II berakhir yang berujung pada kekalahan blok Axis, “Gerilya” Lemkin kemudian dilanjutkan dengan usahanya mendorong gagasannya terhadap perlunya dibuat konvensi yang mengatur secara definitif mengenai genosida sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional.

Usaha yang dilakukan ini menempuh beberapa cara. Pertama, pada saat Perang Dunia II, pasukan sekutu (AS, Inggris, Perancis, dan Rusia) membentuk ad-hoc tribunal di Kota Nuremberg, Jerman. Persidangan yang lebih dikenal sebagai Nuremberg Trial tersebut mengadili para anggota-anggota tertinggi (baik dari kalangan politik maupun militer) dari Nazi Jerman. Dalam hal ini, Lemkin menjadi penasihat bagi penuntut umum asal AS, yakni Robert Jackson selama persidangan tersebut, dimana Jackson memakai konstruksi genosida untuk menjerat para terdakwa. Kendatipun demikian, persidangan tersebut belum mengakomodir kejahatan genosida sebagai kejahatan yang berdiri sendiri dalam statutanya, melainkan beberapa perwira dan pejabat penting tersebut didakwa bersalah atas kejahatan perang ataupun kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Pada tahap ini, kendati Axis Rule in Occupied Europe merupakan salah satu referensi yang dijadikan acuan selama persidangan, usulan Lemkin untuk memasukkan genosida sebagai kejahatan yang menjadi jurisdiksi dalam statute Peradilan Nuremberg ditolak mentah-mentah oleh para delegasi dan diplomat dari negara sekutu karena alasan yang bersifat politis antara negara tersebut.

Persidangan Nuremberg. Sumber: https://cutt.ly/ChEpnAs

Apakah hal ini menjadikan Lemkin patah arang? Tentunya tidak. Meskipun hal tersebut menimbulkan kekecewaan yang amat mendalam bagi Lemkin — yang juga secara langsung merupakan korban dari kekejaman tersebut — ia kemudian bergerilya di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai wahana baru untuk mengadvokasikan genosida sebagai sebuah kejahatan yang dapat dihukum berdasarkan hukum internasional. Apakah jalannya mudah? Tentu saja tidak.

Dengan menggunakan pola pikir yang beliau gunakan ketika menyusun buku Axis Rule in Occupied Europe, Lemkin kemudian mencoba untuk merancang resolusi di Majelis Umum PBB dan menggalang dukungan negara-negara anggota PBB agar mensponsori draf resolusi tersebut. Lemkin sendiri mengorbankan cukup banyak uang, waktu, dan tenaga. Untuk dapat konsentrasi menjadi pengkampanye resolusi ini, bahkan Lemkin rela untuk mengambil cuti tanpa dibayar (unpaid leave) dari pekerjaannya di US War Department, di mana hal ini berujung pada Lemkin harus meloakkan barang-barang dan apartemennya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk sehari-hari selama di New York.

Usaha Lemkin sendiri merupakan usaha yang cukup panjang dan melelahkan. Mulai pada tahun 1946, butuh sekitar dua tahun bagi beliau untuk dapat melobi dan meyakinkan negara-negara anggota PBB untuk dapat meloloskan resolusi mengenai genosida dan kemudian membentuknya sebagai sebuah konvensi internasional. Beliau sendiri berjuang tanpa lelah dan berperan sebagai penengah dari kepentingan negara-negara anggota PBB untuk kemudian dapat mengadopsi konvensi ini.

Sebagai contoh, dalam perjalanannya, Lemkin harus menemukan berbagai cara untuk meyakinkan beberapa blok negara seperti negara-negara Arab, Uni Soviet, hingga Inggris. Bukannya tidak beralasan, negara-negara Arab misalnya — yang pada saat itu menentang gerakan zionisme di tanah Palestina enggan mendukung rancangan draf resolusi konvensi ini karena adanya kekhawatiran dijadikannya draf ini sebagai alat untuk melanggengkan praktik zionisme yang ditentang oleh mereka. Atau dalam hal ini Uni Soviet dan Inggris, menentang rancangan resolusi ini mengingat beberapa kebijakan mereka di masa lampau (misalnya mengenai Kolektivisasi Agrikultur Uni Soviet pada era 1920–1930an, dan kebijakan pemerintah Inggris terhadap penduduk Jerman di wilayah yang dikuasai Inggris hingga mengenai perlakuan terhadap orang Yahudi di Palestina ataupun terhadap penduduk-penduduk wilayah koloninya) dapat dianggap masuk sebagai tindakan genosida berdasarkan draf konvensi ini.

Meskipun dengan tantangan yang banyak tersebut, pada akhirnya perjuangan Lemkin pada akhirnya berbuah manis. Tepatnya pada tanggal 9 Desember 1948, setelah melalui proses pembahasan yang alot untuk mencapai kompromi negara-negara anggota PBB, akhirnya konvensi ini dapat disahkan berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 260. Hingga saat ini, konvensi ini telah diratifikasi / diaksesi oleh 152 negara. Indonesia sendiri meskipun tidak meratifikasi konvensi ini telah memasukkan kejahatan genosida (dengan mengambil secara langsung rumusan yang terdapat pada konvensi genosida) sebagai sebuah kejahatan yang dapat dihukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Bagaimana dengan Lemkin setelah disahkannya konvensi ini? Lemkin sendiri meninggal sekitar 11 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 Agustus 1959 karena serangan jantung. Sedihnya, beliau sendiri hidup dalam kondisi melarat di apartemennya yang berada di kota New York. Beliau tidak pernah hidup berkeluarga dikarenakan kesibukannya mengkampanyekan genosida sebagai sebuah kejahatan. Hidupnya, bisa dibilang, didedikasikan sepenuhnya untuk mencegah kejadian mengerikan yang dialami semasa hidupnya tidak pernah terulang kembali (“Never Again”)

Sumber Referensi

[1] Cooper, John., Raphael Lemkin And The Struggle For The Genocide Convention. New York: Palgrave Macmillan, 2008

[2] Sayapin, Sergey. “Raphael Lemkin: A Tribute”. European Journal of International Law 20 (4) (2010). hlm. 1157–1162.

[3] Irvin-Erickson, D. Raphael Lemkin and the Concept of Genocide, University of Pennsylvania Press, 2017

[4] Balakian, Peter. “Raphael Lemkin, Cultural Destruction, and Armenian Genocide”. Holocaust and Genocide Studies 27(1) (2013). Hlm. 57–89

[5] Perserikatan Bangsa-Bangsa. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. UNTS 78 (1948)

[6] Indonesia. Undang-Undang Pengadilan HAM. Undang-Undang №26 Tahun 2000. LN №208 Tahun 2000. TLN 4026.

[7] “Coining a Word and Championing A Cause”. https://encyclopedia.ushmm.org/content/en/article/coining-a-word-and-championing-a-cause-the-story-of-raphael-lemkin. Diakses 8 Desember 2020.

--

--