Merdeka Mahardhika: Benarkah Tahun Empat Lima?

Akar/Ranting
Akar/Ranting
Published in
12 min readOct 17, 2020

Penulis: Handi Handoko

Bagi setiap orang Indonesia pada umumnya, 17 Agustus 1945 merupakan simbol perayaan kebebasan Indonesia dari penjajahan bangsa asing yang telah berlangsung lebih dari 3 dekade lamanya. Oleh karenanya, setiap tanggal tersebut, tidak terkecuali dalam masa pandemi ini, selalu terdapat semarak tersendiri yang tidak ada di hari-hari lain dalam satu tahun kalender — semua orang mengibarkan bendera merah putih dengan umbul-umbul khas berwarna merah putih di setiap gang rumah, atau menghadiri (atau kalau tidak bisa menghadiri, menonton) upacara kenegaraan baik di Istana Negara hingga kantor/ kampus/ sekolah masing-masing, hingga perayaan “klasik” lainnya seperti lomba makan kerupuk, lomba panjat pinang, lomba balap karung, hingga lomba-lomba “khas” Indonesia lainnya seperti lomba menghias tumpeng hingga lomba bapak-bapak main bola pake daster.

Sumber: https://v-images2.antarafoto.com/sepak-bola-daster-oumjvs-prv.jpg

Tanpa terkecuali di usia yang sudah menginjak 75 tahun ini, Indonesia sendiri masih memiliki antusiasme yang sama mengenai makna kemerdekaan yang senantiasa bulat: yakni kita merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, no more, no less. Tanggal di mana Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan Timur №56 tersebut, yang tentunya sudah banyak tercantum di textbook sekolah di berbagai tingkatan dianggap merupakan awal terciptanya Indonesia sebagai suatu bangsa merdeka dan berdaulat.

Setidaknya, inilah yang penulis dapatkan selama belajar mata pelajaran sejarah dari bangku SD hingga SMA — bahwa tanggal Indonesia merdeka adalah tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi, suatu kebingungan juga penulis dapatkan di mana muncul lagi suatu tanggal kira-kira empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yakni tanggal 27 Desember 1949, tanggal di mana Indonesia dan Belanda sepakat untuk menandatangani perjanjian Konferensi Meja Bundar, atau yang dalam Bahasa Belanda disebut sebagai “souvereiniteitsoverdracht” (Pengalihan Kedaulatan), di mana Belanda menyerahkan kedaulatan wilayah Hindia Belanda (kecuali Pulau Papua) ke pemerintah Indonesia. Dari rangkaian tersebut terbesit pertanyaan di benak penulis: Jadi yang bener tanggalnya yang mana nih, 17 Agustus 1945 atau 27 Desember 1949? Emang pentingnya tanggal apaan sih? So what kalo emang 17 Agustus 1945 atau 27 Desember 1949?

Konferensi Meja Bundar, Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/b2/Ronde_Tafel_Conferentie%2C_Bestanddeelnr_903-5620.jpg/760px-Ronde_Tafel_Conferentie%2C_Bestanddeelnr_903-5620.jpg

Tanggal Itu Penting

Pernah dengar suami isteri cekcok berat karena lupa tanggal anniversary pernikahan mereka? Atau pernah kita berantem sama pacar sendiri karena kita kelupaan tanggal jadian (kalau jaman kita SMP bahkan dirayain tiap bulan bukan tiap tahun, lol). While kasus yang kedua mungkin terlihat agak kurang relevan komparasinya dengan masalah yang ada dalam tulisan ini, kasus pertama, yakni mengenai tanggal pernikahan bisa jadi komparasi yang cukup logis ketika kita membicarakan mengapa sebuah tanggal itu pada akhirnya cukup penting. Intinya, sebuah tanggal itu penting karena satu hal: sebuah tanggal merupakan tanda awal munculnya hak dan kewajiban. Sederhananya, misal dalam sebuah perkawinan, sebuah tanggal dapat memiliki implikasi tersendiri terhadap harta perkawinan, hingga mengenai status anak yang dilahirkan (apakah anak tersebut merupakan anak kandung, atau anak luar kawin), hingga hal lain seperti kapankah suami maupun isteri mengemban hak dan kewajibannya menurut hukum perkawinan yang berlaku.

Nah, sama sebagaimana dalam sebuah perkawinan, tanggal merdekanya sebuah negara juga memiliki arti yang cukup krusial. Tidak hanya dalam artian yang sifatnya seremonial semata atau hanya melambangkan nasionalisme, sebuah tanggal kemerdekaan dalam hukum internasional memiliki arti yang cukup penting, yakni kapankah sebuah entitas dianggap sebagai subjek hukum internasional yang dianggap dapat mengemban hak dan kewajibannya di dalam lalu lintas masyarakat internasional.

Dibalik 17 Agustus vs 27 Desember: Kenapa (pernah) ada dua penafsiran yang berbeda?

Ternyata apa yang penulis pernah pikir gak sepenuhnya salah: ternyata memang ada perdebatan semacam ini, dan isu ini ga sepenuhnya terselesaikan sampai sekitar tahun 2005 di mana Bernard Bot, Menteri Luar Negeri Belanda pada saat itu pada akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan menghadiri upacara kemerdekaan RI ke-60 di Istana Negara. Hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Belanda dalam kurun waktu 60 tahun sebelumnya.

Kedua versi bukan berarti tidak memiliki dalilnya masing-masing. Perbedaan dua versi tersebut pernah terjadi karena terdapat perbedaan persepsi antara Indonesia sebagai bangsa yang sudah kepalang ingin merdeka, dan adanya keengganan Belanda untuk melepaskan Indonesia dari genggamannya. Indië verloren, rampspoed geboren (“Hindia hilang, kesengsaraan datang”), begitulah kira-kira kekhawatiran Belanda pada saat itu yang takut lepasnya Indonesia — sebagai lumbung kekayaan negeri tulip tersebut — mengakibatkan kolapsnya Belanda yang pada saat itu masih tertatih-tatih untuk berdiri lagi usai nestapa akibat Perang Dunia II.

Politionele Actie : Menyimak Argumentasi Dibalik Tanggal 27 Desember 1949

Menjadi menarik kalau kita mencoba mendalami argumentasi yang mendasari bahwa kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 27 Desember terutama dari pihak sudut pandang Belanda, Di paragraf sebelumnya, sudah disebutkan bahwa Belanda sangat enggan untuk melepaskan Indonesia karena berbagai hal, salah satunya adalah pertimbangan ekonomi Belanda yang sedang dalam proses recovery pasca ambyarnya perekonomian Belanda (dan Eropa pada umumnya) akibat Perang Dunia II.

Suasana Kota Rotterdam pada PD II (Circa 1940). Sumber: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/b2/Ronde_Tafel_Conferentie%2C_Bestanddeelnr_903-5620.jpg/760px-Ronde_Tafel_Conferentie%2C_Bestanddeelnr_903-5620.jpg

Tatkala Perang Dunia II berakhir, Belanda dihadapi permasalahan tersendiri baik di dalam negeri maupun di wilayah seberang lautannya. Belanda sendiri pada waktu itu masih berusaha untuk memulihkan stabilitas kondisi ekonomi dan politknya setelah pendudukan Jerman yang menimbulkan korban jiwa hingga kerugian materiil lainnya. Di sisi lain, akhirnya Perang Dunia II juga mengakibakan berhembusnya angin baru yang disebut dengan gerakan dekolonisasi yang menuntut kemerdekaan bagi wilayah-wilayah jajahan. Dalam hal ini, Indonesia juga tidak luput dari hembusan angin perubahan ini.

Tentunya, kita juga tau bahwa hal ini semakin tumbuh seiring dengan menyerahnya Jepang dari Sekutu pada 15 Agustus 1945 setelah “Little Boy” dan “Fat Man” mengunjungi Kota Hiroshima dan Nagasaki, di mana hal ini mengakibatkan Indonesia mengalami vacuum of power. Seakan tidak mau melewatkan momentum, terlepas dari berbagai perdebatan yang meliputinya, as we know, Indonesia akhirnya memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945

Yang pasti, hal yang bikin Belanda benar-benar geram, Indië verloren, rampspoed geboren! benar-benar bisa kejadian dengan Indonesia yang hendak memilih jalan untuk merdeka. Tentu kita bisa lihat di dalam buku sejarah yang pernah diajar di sekolah-sekolah, Belanda mati-matian ingin menancapkan kukunya kembali di wilayah Nusantara dengan berbagai cara, mulai dari perundingan dengan negara Indonesia yang baru lahir, hingga cara yang “keras” seperti misalnya dengan tindakan militer. Tentunya aksi yang terakhir ini yang kemudian menimbulkan perdebatan sendiri terkait adanya beda sudut pandang antara pihak Belanda dan Indonesia, di mana Belanda menyebut serangkaian aksi tersebut sebagai “Aksi Polisionil” (Politionele Actie), sedangkan Indonesia menyebutnya sebagai Agresi Militer Season I dan II.

Serangkaian tindakan tersebut, apabila melihat dari kacamata Belanda bukannya tidak beralasan. Sebab, pembentukan Indonesia yang dinilai masih cukup prematur merupakan sebuah tindakan perlawanan (insurgency) yang harus diredam oleh pemerintahan Belanda pada saat itu. Adalah Hubertus J. Van Mook, orang yang dikirim oleh Belanda sebagai pejabat sementara Gubernur Jenderal Hindia Belanda merupakan salah satu langkah yang diambil untuk menghentikan pembentukan negara Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia secara de facto dan de jure bukan merupakan sebuah negara yang berdaulat, dikarenakan Indonesia tidak memenuhi persyaratan sebagai negara berdasarkan hukum internasional, dan tidak terdapat adanya restu dari pemerintahan Belanda terhadap proklamasi pada tahun 1945 tersebut.

Pertanyaannya adalah, apakah serangkaian langkah Belanda mengalami keberhasilan? Bisa dibilang, hampir berhasil, kalau pada saat itu tidak ada intervensi langsung dari PBB dan AS yang secara aktif mengecam kebijakan aksi polisionil tersebut yang dianggap banyak terjadi pelanggaran HAM dan melanggar perjanjian perundingan dengan Indonesia (seperti Linggarjati dan Renville). Tidak dapat dipungkiri, sejarah mencatat bahwa aksi militer Belanda pada saat itu memang berhasil memperlihatkan masih belum kuatnya pemerintahan Republik dengan didudukinya beberapa wilayah RI ke dalam kekuasaan Belanda — hanya di Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura dimana kehadiran bala tentara RI dan pemerintah Republik masih dapat dipertahankan (itupun dengan keadaan yang susah payah dan dengan melibatkan aksi gerilya di hutan-hutan dan semak belukar).

Jenderal Sudirman (di dalam tandu) turut serta dalam perang gerilya. Sumber: https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/attachment/136JenderalSoedirmanOk.large

Keberhasilan ini juga sebenarnya terefleksi melihat sebagian besar negara masih enggan untuk memberikan pengakuan terhadap RI dalam kurun waktu 1945 sampai 1949 — tercatat hanya Mesir, Palestina, Turki, dan beberapa negara Arab lainnya yang memberikan pengakuan secara terbatas kepada Indonesia pada saat itu. Bahkan PBB pada saat itu secara historis pernah memasukan Indonesia ke dalam daftar wilayah Non-Self Governing Territories setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945. Hal ini ditambah dengan fakta bahwa Keanggotaan Indonesia di PBB (yang mana merupakan salah satu indikasi by practice sebuah entitas dianggap sebagai sebuah negara di masyarakat internasional) baru didapat pada tanggal 28 September 1950, kurang dari setahun setelah tanggal 27 Desember 1949. Sebenarnya kalau melihat dari sini, terlihat bahwa terdapat sebuah keengganan dari masyarakat internasional untuk memberikan pengakuan terhadap Indonesia dikarenakan Belanda sendiri sebagai “induk semang” masih tidak mau mengizinkan Indonesia untuk berdiri di atas tanah Hindia Belanda, sehingga segala pengakuan yang diberikan oleh negara lain dianggap sebagai sebuah pengakuan yang prematur (Premature Recognition), di mana pengakuan ini dianggap sebagai sebuah hal yang illegal berdasarkan hukum internasional. Baru pada tahun 1949, setelah Belanda dianggap merestui kemerdekaan Indonesia, pengakuan negara lain mulai berdatangan terhadap Indonesia.

Nah di bagian selanjutnya, kita akan ngomongin mengenai status Indonesia berdasarkan hukum internasional, yakni yang terkait permasalahan statehood (status kenegaraan) Indonesia dan sejauh mana peranan pengakuan negara dianggap penting dalam penentuan terbentuknya sebuah negara, di mana pada waktu yang bersamaan, terdapat sebuah goncangan hebat mengenai teori terjadinya negara akibat menggejalanya gerakan dekolonisasi di seluruh dunia.

17 Agustus dan Dua Makhluk Kembar Bernama Dekolonisasi dan Penentuan Nasib Sendiri

Di bangku sekolah hingga kuliah, kita sudah sering diterangkan bahwa unsur sebuah negara ada empat yakni (1) wilayah; (2) penduduk ; (3) pemerintahan yang berdaulat, dan (4) pengakuan dari negara lain. Sementara dalam poin kedua cenderung tidak dipermasalahkan dalam konteks Indonesia, pada persyaratan ketiga dan keempat merupakan titik perdebatan yang menjadi pemicu perdebatan terkait masalah tanggal kemerdekaan Indonesia (sebenarnya ada masalah sih di poin wilayah, but for the sake of expediency, let’s focus on the last two).

Pada kriteria yang ketiga, yakni yang terkait dengan pemerintahan efektif, terlihat bahwa argumentasi yang menyuarakan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 mendasarkan argumentasinya bahwa pemerintah Indonesia belum terdapat sebuah pemerintahan yang efektif dan berdaulat di wilayah Indonesia yang baru berdiri tersebut. Nah, yang dimaksud dengan “efektif” bisa diartikan luas oleh berbagai sarjana hukum internasional. Tapi, intinya ada dua sendi penting, yakni, (1) pemerintahan tersebut harus mempunyai struktur kelembagaan negara (mis. lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif) untuk mengatur negara tersebut, dan (2) pemerintah ini harus efektif, artinya ia bisa menjalankan apa yang menjadi kedaulatannya terhadap seluruh wilayah dan populasinya.

Nah, let’s focus on the second point, yakni efektivitas pemerintahan Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, pada awal kemerdekaannya, pemerintahan Republik digempur dari segala arah oleh Belanda. Kita harus beberapa kali pindah Ibukota, dari awalnya di Jakarta, ke Yogya, Bukittinggi (sebagai Pemerintahan Darurat), bahkan sampe berencana bikin pemerintahan dalam pengasingan (government in exile) di New Delhi, India. Selain itu, kita juga dihadapkan pada permasalahan bahwa Belanda masih memegang kendali atas beberapa pulau seperti sebagian Kalimantan, Sulawesi, hingga pulau Papua. Hal tersebut Belum lagi memperhitungkan bahwa pemerintahan Republik digoyang dengan gejolak internal seperti DI/TII hingga pemberontakan PKI 1948. Di atas kertas, hal ini seakan memperlihatkan bahwa pemerintahan Republik belum memiliki kendali secara de facto terhadap seluruh wilayah Indonesia sebelum tahun 1949.

Di sinilah kita dihadapkan pada satu istilah makhluk ajaib yang merubah fondasi pengertian masyarakat internasional terkait kriteria terbentuknya sebuah negara, khususnya terkait masalah unsur pemerintahan yang efektif. Meet Self-Determination (hak penentuan nasib sendiri), istilah yang hingga tahun 1945, lebih populer di kalangan sarjana psikologi daripada di kalangan sarjana hukum internasional. Nah, kenapa tetiba ada self-determination dan kenapa itu penting?

Singkat cerita, akhir PD II emang menimbulkan gejolak tersendiri bagi masyarakat internasional. Satu-satunya perang (selain Perang Dunia I) yang melibatkan banyak negara di banyak benua ini memang menimbulkan penderitaan dan gejolak sosial masyarakat global secara keseluruhan. Imperialisme dan kolonialisme yang pada intinya berujung pada perebutan hegemoni dan apa yang disebut oleh Ir. Soekarno sebagai ‘exploitation de l’homme par l’homme(eksploitasi manusia oleh sesama manusia) dinilai sebagai sumber kekacauan yang menyebabkan meletusnya dua perang hebat dalam kurun waktu 30 tahun terakhir.

Seakan muak atas siklus ini, akhirnya mulai muncul sebuah gerakan nasionalisme di seluruh dunia yang mencakup semua wilayah seberang lautan (baca: wilayah jajahan) yang menuntut semua adanya penentuan nasib, baik secara sosial, politik, maupun ekonomi bagi masyarakat-masyarakat di wilayah yang terjajah tersebut. Munculnya desakan atas penentuan nasib ini sendiri pada akhirnya termanifestasikan dalam bentuk gerakan dekolonisasi yang mulai marak dengan terbentuknya PBB pada 1945.

Hubungannya apa sih sama apa yang kita bahas dengan penjelasan di paragraf-paragraf sebelumnya? This is where it got really interesting. Intinya, Indonesia — yang notabene merupakan wilayah seberang lautan Belanda dianggap secara hukum internasional sebagai pemegang hak yang sah atas hak penentuan nasib sendiri.

Ilustrasi Pemegang Hak. Sumber: https://previews.123rf.com/images/bestpetphotos/bestpetphotos1802/bestpetphotos180200029/94993910-woman-hand-holding-pink-sexy-high-heels-on-isolated-white-cutout-background-studio-photo-with-studio.jpg

Status Indonesia sebagai wilayah seberang lautan Belanda ini otomatis menjadikan Indonesia memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk dalam hal ini, merdeka dari Belanda. Dampaknya? Well, self-determination merupakan sebuah hak yang menyebabkan sebuah entitas telah secara de jure dianggap ada sebagai entitas negara, dan memberikan toleransi atas kurang atau tidak efektifnya sebuah pemerintahan entitas negara yang baru atau sedang dalam proses mencapai kemerdekaannya. Artinya, meskipun tadi sudah dijelaskan bahwa pemerintahan Republik tidak sepenuhnya efektif dalam menjalankan fungsinya, namun pada dasarnya hal tersebut tidak secara ujug-ujug bikin Indonesia belum menjadi negara berdaulat pada tahun 1945, at least, kalau dilihat dari masalah unsur pemerintahan yang berdaulat.

Oke, tadi kita udah ngomong mengenai dilihat dari unsur pemerintahan yang berdaulat, di mana intinya hal tersebut sudah ditalangin sama alas hak yang bernama hak penentuan nasib sendiri. Nah, sekarang kita move on ke masalah yang tidak kalah runyamnya, yakni mengenai pengakuan negara lain, khususnya, pengakuan Belanda sebagai “induk semang”. Pertanyaan yang relevan dalam hal ini adalah, sejauh mana kira-kira peran pengakuan dalam hukum internasional, khususnya pengakuan dari negara induk?

Pengakuan dari negara lain pada intinya bukan usaha dari negara Indonesia untuk berlomba jadi asri dan mengais validasi biar dibilang jago. Dari kacamata hubungan internasional, pengakuan (recognition) merupakah sebuah validasi (lah katanya ga mencari validasi?) dari masyarakat internasional apakah si entitas ini pantas dianggap sebagai pemegang hak dan kewajiban sebagai subjek hukum internasional yang dinamakan sebagai negara, dan juga dapat berperan sebagai indikator bahwa si negara baru tersebut didirikan sesuai dengan kaidah hukum internasional yang berlaku. Pertanyaan selanjutnya, kembali lagi, apa butuh “restu” dari Belanda bagi Indonesia untuk merdeka?

Kembali lagi, ternyata self-determination memang berperan penting dalam menentukan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Hak ini memutarbalikkan posisi Belanda yang awalnya sepenuhnya berhak atas seluruh wilayah Indonesia, menjadi sebuah administering power yang harus memberikan penentuan nasib sendiri bagi wilayah Indonesia. Jadi, terlepas dari apakah Indonesia telah mendapatkan restunya dari Belanda pada tahun 1945 atau baru direstui pada tahun 1949, eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara baru tidak dapat lagi diredam oleh Belanda karena adanya hak penentuan nasib sendiri tersebut.

Well, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang terjadi dengan Indonesia banyak terjadi?. Ternyata memang pertanyaan serupa banyak mewarnai berbagai kasus dekolonisasi, khususnya dalam hal ini di wilayah Afrika. Beberapa contoh seperti yang terjadi pada kasus Kongo (1960), Aljazair (1958), Guinea Bissau (1973), hingga Angola (1975).

Terakhir: Terus, KMB 1949 Itu Apa Dong Jadinya?

Well, if I can shed any light, Posisi KMB 1949 merupakan sebuah mekanisme penyelesaian bilateral antara Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda atas serangkaian konfrontasi militer antar keduanya dalam kurun waktu 1945–1949. Mungkin perlu untuk dicatat, bahwa ketika membicarakan soal serangkaian perundingan Indonesia-Belanda, Ali Sastroamidjojo, mantan Perdana Menteri Indonesia pernah menyatakan bahwa dengan melihat fakta dalam beberapa perjanjian Indonesia dan Belanda sebelum KMB 1949 — seperti misalnya Renville dan Linggardjati telah memperlihatkan adanya tendensi untuk memperlakukan Indonesia sebagai entitas yang sejajar dengan Belanda. Misalnya, dalam perjanjian Linggardjati, frasa “Pemerintah Belanda” dan “Pemerintah Republik Indonesia” telah marak digunakan dalam ketentuan dalam perjanjian tersebut. Artinya, sebenarnya, sebelum adanya KMB, telah terdapat adanya pengakuan diam-diam (implied recognition) dari pemerintah Belanda terhadap Indonesia pada waktu itu. Sehingga, pada saat KMB 1949 dilaksanakan dan ditandatangani, hal tersebut telah dianggap sebagai sebuah penyelesaian antara sengketa bilateral antar kedua negara, bukan permasalahan mengenai pemberian kemerdekaan Indonesia dari Belanda.

But that doesn’t mean that this argument is flawless. Memang sebenarnya masih banyak pertanyaan yang belum dijawab, seperti masalah penyelesaian masalah Papua, mengenai penyikapan adanya ketentuan KMB yang “mengharuskan” Indonesia berbentuk Federal (meskipun di dalam rumusan UUD 1945 yang asli menyatakan Indonesia negara berbentuk kesatuan), hingga mengenai masalah penyelesaian utang piutang yang harus dibayar oleh Indonesia kepada Belanda akibat kerugian perang. Terlalu sulit kalau semuanya dijadikan satu tulisan dan dituntut harus memberikan sebuah jawaban yang saklek.

Tapi, semoga tulisan ini menggambarkan bahwa sebuah tanggal bukan hanya persoalan angka semata yang kerap diidentikan dengan nuansa mistis dan magis hingga tanggal cantik. Melainkan, persoalan tanggal kapan Indonesia menyajikan sebuah pengkajian fakta sejarah dan intrik persoalan hukum yang ternyata memiliki dampak serius. Tanggal 17 Agustus 1945 bukan sesuatu yang harusnya kita take for granted, karena di baliknya ada sejumlah implikasi dan perjuangan yang tidak main-main.

— -000 — -

Referensi:

Buku dan Jurnal

Raic D, Statehood And The Law Of Self-Determination (Kluwer Law International 2002).

Anderson, Glen ‘Unilateral Non-Colonial Secession and The Criteria For Statehood’ (2015) 41 Brooklyn Journal of International Law

Sastroamidjojo A, and Delson R, ‘The Status Of The Republic Of Indonesia In International Law’ (1949) 49 Columbia Law Review.

Kuyper P.J, and Kapteyn P.J.G, ‘A Colonial Power As Champion Of Self-Determination: Netherlands State Practice In The Period 1945–1975’, International Law in the Netherlands Vol. III. (TMC Asser Institute 1975).

Shaw M, International Law (Cambridge University Press 2008)

Website

https://tirto.id/termakan-mitos-indisch-verloren-rampspoed-geboren-cuLE

https://www.google.com/search?q=belanda+mengakui+17+agustus+1945&oq=Belanda+&aqs=chrome.0.69i59j69i57j69i59j69i60l2j69i65j69i60l2.1005j0j9&sourceid=chrome&ie=UTF-8

https://theconversation.com/mengapa-belanda-tidak-mengakui-1945-sebagai-tahun-kemerdekaan-indonesia-101698

--

--