Myanmar S.O.S — Negara Dalam Keadaan Darurat

agnesgaluh
Akar/Ranting
Published in
9 min readApr 2, 2021

Jilid I : Klaim Konstitusionalisme ‘Kudeta’ Myanmar dan Kompleksitas Sejarah Konstitusi Myanmar

Penulis : Marco Hardianto dan Agnes Galuh S.

Bulan Februari lalu, dunia dikejutkan dengan berita penahanan San Suu Kyi dan beberapa pejabat pemerintahan lain oleh golongan militer Myanmar (Tatmadaw). Penahanan tersebut memicu timbulnya gelombang pengecaman terhadap Myanmar, baik secara domestik maupun oleh dunia internasional yang hingga artikel ini ditulis tak kunjung reda. Artikel ini akan membahas mengenai kronologi dan klaim-klaim dari golongan militer dan bagaimana konstitusi Myanmar digunakan untuk memberikan justifikasi terhadap pengambilalihan kekuasaan eksekutif dari partai pemenang oleh golongan militer. Selain itu, artikel ini berusaha untuk memberikan sedikit ilustrasi mengenai dinamika politik hukum dalam pembentukan konstitusi Myanmar pengaruhnya terhadap kompleksitas pengaturan negara dalam keadaan darurat.

***

Source: https://awsimages.detik.net.id/visual/2021/02/01/pemimpin-de-facto-myanmar-aung-san-suu-ky-kiri-dan-panglima-tertinggi-militer-myanmar-min-aung-hlaing-ap-aung-shine-oo.jpeg?w=800

Secara garis besar, ketegangan di Myanmar saat ini dapat dikerucutkan kepada konflik perebutan tampuk kekuasaan eksekutif. Konflik ini bermula ketika Partai National League for Democracy yang dipimpin oleh San Suu Kyi memenangi pemilihan umum Myanmar yang diselenggarakan pada tanggal 8 November 2020. Hasil dari pemilihan umum ini kemudian ditampik oleh golongan militer di Myanmar, yang mengklaim bahwa kemenangan Partai National League for Democracy itu tidak akan mungkin dapat dicapai tanpa adanya kecurangan. Klaim ini lalu dilanjutkan dengan beberapa upaya hukum oleh pihak golongan militer, tetapi berbagai upaya hukum tersebut tidak menimbulkan hasil. [1]

Kemudian, ketegangan berlanjut. Pada Kamis 28 Januari 2021, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, menyatakan dalam pidatonya bahwa bila konstitusi tidak dihargai maupun diikuti, maka konstitusi ini haruslah dilenyapkan.[2] Hal ini diinterpretasikan media sebagai sebuah sinyal akan adanya kudeta. Tidak berselang lama, penahanan San Suu Kyi, Win Myint, dan elit politis lain terjadi.[3]

Lalu, bagaimanakah ‘secara hukum’ kudeta ini dapat terjadi?

Catatan: Untuk seterusnya, penulis menggunakan istilah ‘kudeta’ dengan asumsi bahwa pemilihan umum yang diadakan di Myanmar pada tahun 2020 adalah sah menurut hukum Myanmar. Berdasarkan asumsi ini, dapat diasumsikan lebih lanjut bahwa suatu kekuasaan, yakni kekuasaan yang telah dipilih oleh rakyat secara sah menurut hukum, telah ‘digulingkan’ oleh kekuasaan lain dengan cara yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Berikut sedikit penjabaran mengenai konstruksi hukum yang dibangun oleh Tatmadaw untuk menjustifikasi tindakan mereka tersebut:

  1. Fakta pertama yang harus kita ketahui adalah bahwa pemilihan presiden sebagaimana diatur di dalam Pasal 60 konstitusi Myanmar sangatlah berbeda dengan pemilihan presiden yang umumnya kita kenal di Indonesia. Pemilihan presiden di Myanmar dimulai dengan pengajuan kandidat dari tiga komite, yakni Amyotha Hluttaw (the House of Nationalities), Pyithu Hluttaw (the House of Representatives, dan seorang perwakilan yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar (Tatmadaw). Setelah itu, dimulailah proses pengumpulan suara oleh keseluruhan anggota Pyidaungsu Hluttaw (Dewan Perwakilan Rakyat). Kandidat dengan suara terbanyak akan menjadi Presiden, dengan kandidat selanjutnya menjadi Wakil Presiden Pertama (First Vice-President) dan Kandidat terakhir menjadi Wakil Presiden Kedua (Second Vice-President). Pengaruh kekuatan militer di dalam pemilihan ini sangatlah kental, mengingat bahwa berdasarkan Pasal 109 dan 141 Konstitusi Myanmar, 25% dari Pyidaungsu Hluttaw wajib diisi oleh anggota yang ditunjuk oleh Tatmadaw, dengan belum memperhitungkan anggota yang terpilih melalui partai politik yang dimiliki oleh Tatmadaw, yakni Union Solidarity and Development Party yang pada periode ini menduduki total 5.9% kursi di parlemen. Kondisi yang demikian menjadikan kandidat yang dipilih oleh Tatmadaw hampir pasti menduduki posisi setidak-tidaknya sebagai Wakil Presiden Pertama dalam suatu pemilihan presiden. Terhitung, sejak mulai diberlakukannya Konstitusi Myanmar 2008, golongan militer selalu menduduki posisi Wakil Presiden Pertama dalam sistem pemerintahan Myanmar.
  2. Pasal 73 Konstitusi Myanmar kemudian menyatakan bahwa Wakil Presiden Pertama akan menjabat menjadi Presiden interim apabila Presiden berhalangan. Keadaan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Tatmadaw dalam kudetanya pada awal tahun ini. Dimulai dengan adanya penahanan presiden terpilih, Win Myint, oleh Tatmadaw, maka Wakil Presiden Pertama, U Myint Swe, kemudian naik menjadi Presiden interim Myanmar pada saat ini.
  3. Lalu bagaimana Tatmadaw dapat mengambil alih kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Myanmar? Bermula dengan dipergunakannya Pasal 417 Konstitusi Myanmar, yang mengatur mengenai kewenangan Presiden untuk menyatakan keadaan darurat dalam hal terjadi kondisi yang dapat merusak keutuhan dari negara Myanmar, oleh U Myint Swe selaku Presiden interim. Penggunaan Pasal 417 Konstitusi Myanmar ini harus diikuti dengan Pasal 418 Konstitusi Myanmar yang mensyaratkan transfer kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif kepada Komandan Tatmadaw selama 1 tahun dengan perpanjangan maksimal 1 tahun tambahan.[4]

Power corrupts and absolute power corrupts absolutely. Penjabaran di atas menunjukkan karakteristik fundamental dari konstitusi Myanmar yang berada di bawah cengkeraman kekuatan militer dengan little-to-none check and balance, dalam konteks ini, karena golongan militer secara aktif melemahkan kekuatan oposisi. Hal ini memberikan ruang yang sangat luas bagi golongan militer untuk melakukan interpretasi. Di antara negara-negara yang mengutamakan paham demokrasi dan rule of law dalam konstitusinya, Myanmar memberikan sebuah kontras perbandingan yang nyata akan sebuah negara yang memiliki konstitusi yang sangat erat bersimpulan dengan kekuasaan militer. Alhasil, Myanmar saat ini menduduki posisi 135 dari 167 negara dalam Democracy Index dengan nilai 3.04

***

Kenapa Konstitusi Myanmar bisa seperti ini?

Konflik yang terjadi di Myanmar saat ini merupakan buah dari permasalahan yang telah mengakar sejak lama di Myanmar, yakni intervensi militer yang tidak dapat dikendalikan. Konstitusi pertama Myanmar yang diadopsi oleh majelis konstituante diberlakukan untuk Persatuan Burma pada tahun 1947. Konstitusi ini tidak bertahan lama, pada tahun 1962 terjadi kudeta Burma tahun 1962 yang menandai dicabutnya konstitusi pertama dari negara Myanmar. Konstitusi kedua Myanmar diberlakukan pada tahun 1974, tepatnya 12 tahun setelah kudeta Burma tahun 1962. Tidak bertahan lama, pada 8 Agustus 1988 terjadi sebuah demonstrasi besar-besaran yang dikenal dengan sebutan ‘8888 Uprising’ yang berimplikasi dengan pengambilalihan kekuasaan pemerintahan oleh golongan militer dan diberlakukannya pemerintahan administratif militer di Myanmar.

Setelah mengambil alih kekuasaan pada bulan September 1988, Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara (SLORC) yang berbasis militer mengeluarkan Surat Perintah №1/1988 yang menyatakan bahwa Angkatan Bersenjata telah mengambil alih kekuasaan dan mengumumkan pembentukan SLORC. Kemudian dengan Surat Perintah №2/1988, SLORC menghapuskan semua organ kekuasaan negara yang dibentuk di bawah konstitusi Burma 1974, yang mana hal ini sekaligus menangguhkan konstitusi tahun 1974.[5] Butuh 20 tahun lagi sebelum akhirnya, pada tahun 2008, dibentuk Konstitusi Myanmar tahun 2008. Konstitusi ketiga dan terkini dari Myanmar ini diterbitkan pada September 2008 setelah melalui referendum.

Namun, pembentukan Konstitusi Myanmar 2008 ini tidaklah tanpa masalah. Konstitusi ini dielu-elukan oleh golongan militer sebagai tanda kembalinya demokrasi, tetapi berbagai pihak melihat konstitusi ini sebagai alat untuk melanjutkan kendali militer di negara tersebut. Dalam perkembangannya, Partai National League for Democracy yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi tidak diizinkan untuk berpartisipasi dalam pembuatan konstitusi.[6] Selain itu, referendum yang mengesahkan Konstitusi Myanmar 2008, dianggap penuh kecurangan oleh berbagai pihak baik di dalam, maupun di luar Myanmar. State Peace and Development Council (SPDC), institusi yang bertugas menyelenggarakan referendum, melaporkan jumlah pemilih yang banyak dengan hanya sedikit penyimpangan dalam pemungutan suara. Berbanding terbalik dengan hal itu, berbagai pihak mengatakan bahwa jumlah pemilih yang mengikuti referendum relatif sedikit, dengan banyak kasus penyimpangan suara yang dilaporkan, seperti surat suara yang telah diisi sebelumnya, intimidasi pemilih, dan teknik lain untuk mempengaruhi hasil referendum.[7]

Hal lain yang perlu digaris-bawahi adalah pernyataan Ketua Mahkamah Agung Myanmar, Aung Toe, yang merupakan ketua komisi perancang konstitusi. Beliau menyatakan bahwa dalam menyusun konstitusi, komisi tersebut berpegang teguh pada enam tujuan, termasuk memberi Tatmadaw peran politik utama di masa depan negara.[8] Hal ini tercermin di dalam Konstitusi Myanmar 2008, yang mana di dalamnya Tatmadaw mempertahankan kendali signifikan akan pemerintah. Salah satunya adalah bahwa 25% kursi di Parlemen Myanmar dicadangkan untuk melayani perwira militer. Selain itu, jabatan kementerian dalam negeri, urusan perbatasan, dan pertahanan harus dipimpin oleh seorang perwira militer.[9] Terakhir, Tatmadaw juga berwenang menunjuk salah satu dari dua wakil presiden Myanmar.[10]

Dinamika politik dan kekuasaan militer di Myanmar

Politik dan militer merupakan dua buah kata yang berdekapan dengan sangat erat di Myanmar. Terhitung sejak dari tahun 1962, Myanmar hanya menghabiskan total 5 tahun saja di bawah kepemimpinan presiden yang bukan berasal dari kalangan militer. Sejak Jenderal Ne Win mengambil alih pemerintahan Myanmar pada tahun 1962, jabatan presiden di Myanmar selalu berada di tangan golongan militer, baik kepala Tatmadaw atau anggota dari partai politik bentukan militer. ‘Kudeta’ yang dilakukan oleh Tatmadaw pada awal tahun ini nyatanya bukan merupakan kudeta pertama di Myanmar. Semenjak kemerdekaannya, Negara Myanmar telah terhitung mengalami 3 (tiga) kudeta militer berbeda. Kudeta yang pertama dikenal dengan Kudeta Burma tahun 1962; Kudeta yang terjadi pada tanggal 2 Maret 1962 ini menandai dimulainya pemerintahan satu partai dan dominasi politik tentara di Burma yang berlangsung selama 26 tahun. Dalam kudeta tersebut, golongan militer menggantikan pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Perdana Menteri U Nu, dengan Dewan Revolusi Persatuan yang diketuai oleh Jenderal Ne Win. Segera setelah kudeta, Ne Win dan sejumlah perwira militer senior membentuk Dewan Revolusi Persatuan yang terdiri dari enam belas perwira militer senior dan Ne Win sebagai ketua dewan. Selanjutnya, Kabinet Pemerintah Revolusioner dibentuk dengan delapan perwira militer senior dari Dewan. Konsentrasi kekuasaan di tangan Ne Win berlanjut pada tanggal 5 Maret 1962 ketika ia menjalankan semua otoritas eksekutif, legislatif dan yudikatif dengan menjadi Ketua Dewan Revolusi.[11] Akan hal ini, Taylor berpendapat: “…Ne Win in theory possessed all state power and thus achieved a position of formal dominance within the state unprecedented since 1885.”

Kudeta ini menciptakan kekosongan kebijakan yang mengarah kepada perumusan Burmese Way of Socialism, yang dipresentasikan kepada publik pada 7 Mei 1962. Penolakan partai-partai politik sipil untuk menyesuaikan diri dengan Burmese Way of Socialism dijawab dengan dilarangnya semua partai politik yang ada oleh pemerintah dan pembentukan Partai Burma Socialist Programme Party (BSPP) pada tanggal 4 Juli 1962.[12]

Selanjutnya, menyusul disahkannya Konstitusi tahun 1974, Dewan Revolusi Persatuan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah terpilih, yang terdiri dari Partai Burma Socialist Programme Party (BSPP), yang diisi oleh para petinggi militer Myanmar. Pemerintah terpilih tetap merupakan campuran antara sipil dan militer, sampai 18 September 1988, ketika militer kembali mengambil alih kekuasaan sebagai State Law and Order Restoration Council (SLOC) menyusul demonstrasi ‘8888 Uprising’ secara nasional dan kehancuran nyata rezim sosialis. ‘8888 Uprising’ merupakan suatu gerakan rakyat yang dimulai pada Juni 1988, dimana demonstrasi besar mahasiswa dan simpatisan menjadi pemandangan setiap hari. Demonstrasi mencapai puncak pada Agustus 1988, ketika mahasiswa merencanakan demonstrasi nasional pada 8 Agustus 1988. Perkiraan jumlah korban di sekitar demonstrasi 8–8–88 berkisar dari ratusan hingga 10.000.[13] Pada tanggal 18 September 1988, golongan militer, di bawah pimpinan Jenderal Saw Maung, merebut kekuasaan pemerintah Myanmar. Selanjutnya, pemerintahan militer mencabut konstitusi 1974 dan mendirikan Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara (SLORC).

Selama ‘8888 Uprising’, Aung San Suu Kyi muncul sebagai ikon nasional. Ketika pemerintahan militer mengatur pemilihan umum pada tahun 1990, partainya, National League for Democracy, memenangkan 81% kursi di pemerintahan (392 dari 492).[14] Namun, junta militer menolak untuk mengakui hasil pemilihan dan terus memerintah negara di bawah SLOC serta menempatkan Aung San Suu Kyi di bawah tahanan rumah. Dari 1988 hingga 2012, militer dan polisi secara ilegal menahan dan memenjarakan puluhan ribu pemimpin demokrasi, serta intelektual, seniman, mahasiswa, dan aktivis hak asasi manusia. Pyone Cho, salah satu pemimpin pemberontakan, menghabiskan 20 tahun masa dewasanya di penjara. Ko Ko Gyi, pemimpin pemberontakan lainnya, menghabiskan 18 tahun hidupnya di penjara. Min Ko Naing ditempatkan di sel isolasi selama sembilan tahun karena perannya sebagai pemimpin pemberontakan.[15] Sembilan belas tahun kemudian, banyak dari aktivis yang sama ini juga berperan dalam Revolusi Saffron 2007. Rezim SLOC baru dapat diruntuhkan pada tahun 2011.[16]

***

Gejolak politik suatu negara seringkali tidak bisa dilihat sebagai sebuah peristiwa tunggal, melainkan rangkaian peristiwa yang bertautan dan merupakan produk dari peristiwa yang terjadi jauh sebelum timbulnya gejolak tersebut. Dalam kasus Myanmar, hegemoni kekuasaan militer di Myanmar memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pergerakan sejarah Myanmar. Tak pelak, Konstitusi Myanmar seakan-akan mengakomodir dan bahkan menjustifikasi pengambilalihan kekuasaan eksekutif oleh Tatmadaw. Penggunaan mekanisme presiden interim dan pasal-pasal keadaan darurat oleh Tatmadaw memberikan pukulan telak terhadap keberlangsungan demokrasi di Myanmar.

Liberté, égalité, fraternité ou la mort

***

Referensi

[1]Taylor, Robert H. (2015). General Ne Win: A Political Biography. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies pg. 260

[2] “Statement from Myanmar military on state of emergency”. Reuters.com <https://www.reuters.com/article/us-myanmar-politics-military-text-idUSKBN2A11A2>

[3] dilansir dari beberapa sumber : “Tatmadaw Seizes Power Under State of Emergency to Rule for a Year”. Frontiermyanmar.net <https://www.frontiermyanmar.net/en/tatmadaw-seizes-power-under-state-of-emergency-to-rule-for-a-year/<, “Kronologi Dugaan Kudeta Militer Myanmar: Aung San Suu Kyi Ditahan” Tirto.id <https://tirto.id/kronologi-dugaan-kudeta-militer-myanmar-aung-san-suu-kyi-ditahan-f9P5>; “Myanmar army takes power in coup as Aung San Suu Kyi detained”. Guardian.com <https://www.theguardian.com/world/2021/feb/01/aung-san-suu-kyi-and-other-figures-detained-in-myanmar-raids-says-ruling-party?CMP=Share_AndroidApp_Chats>;

[4] Konstitusi disadur dari beberapa sumber: “The Myanmar Constitution 2008.” Constitutionproject.org <https://www.constituteproject.org/constitution/Myanmar_2008.pdf?lang=en>; Melissa Crouch, “Constitutional Emergency Powers: The Myanmar Constitution 2008” https://drive.google.com/file/d/1y055hX2UhwQ86ATHU2wIddz01C3gQz9G/view

[5] Mydans, Seth (4 September 2007) “Myanmar Constitution Guidelines Ensure Military Power” The New York Times

[6] “New Myanmar constitution gives military leading role”. Reuters

[7] Martin, Michael F. (29 April 2010) [“Burma’s 2010 Elections: Implications of the New Constitution and Election Laws”] United States Congressional Research Service, Library of Congress,

[8] “New Myanmar constitution gives military leading role”. Reuters

[9] Phil Robertson. “Can Aung San Suu Kyi control Myanmar’s military?”. CNN., Phil Robertson. “Can Aung San Suu Kyi control Myanmar’s military?”. CNN.

[10]”Managing the defence and security council”. Mmtimes.com

[11]Taylor, Robert H. (2015). General Ne Win: A Political Biography. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies pg. 296

[12] Aung-Thwin, Michael; Aung-Thwin, Maitrii (2013). A history of myanmar since ancient times: Traditions and transformations (2nd ed.). London, UK: Reaktion Books pg.248

[13]Ferrara, Federico. (2003). Why Regimes Create Disorder: Hobbes’s Dilemma during a Rangoon Summer. The Journal of Conflict Resolution, 47(3), pp. 313

[14] Wintle, Justin. (2007). Perfect Hostage: a life of Aung San Suu Kyi, Burma’s prisoner of conscience. New York: Skyhorse Publishing pp. 338

[15]Moe, K Z (21 January 2012). “The last night in the cell”. The Irrawaddy.

[16] Aung-Thwin, Michael; Aung-Thwin, Maitrii (2013). A history of Myanmar since ancient times: Traditions and transformations (2nd ed.). London, UK pg. 245

--

--