Perang Bintang: Bukan Sekedar Wahana di Dufan!

Akar/Ranting
Akar/Ranting
Published in
8 min readOct 24, 2020

Penulis: Wishnu Adisatya

“Use the force, Luke!” Salah satu momen mendebarkan dan mengesankan di film Star Wars. Sumber: http://www.starwars.com/news/25-great-star-wars-a-new-hope-quotes

Guardian of the Galaxy, Star Wars,dan Infinity Wars

Use the force, Luke!,” ujar Obi Wan berbicara kepada Luke saat ia melakukan sebuah kejar-kejaran di dasar tebing untuk menghancurkan Death Star. Obi Wan meminta Luke untuk mematikan komputer otomatis dan beralih menggunakan his impulse and feeling to deliver the death knell.

(Episode IV: A New Hope)

Pernah mendengar, atau setidaknya membaca, kutipan dialog di atas? Bila sudah, selamat! Anda adalah salah satu dari sekian banyak penggemar film garapan George Lucas. Film karya sutradara tersebut memiliki status ikonik dalam dunia perfilman, dan tentunya dalam perkembangan genre fiksi ilmiah.

Well, Anda bukan penggemar Star Wars dan slogan May the Force be With You? Tidak masalah; pasti setidaknya pernah mendengar Guardians of the Galaxy atau Thanos dalam sekuel Marvel Cinematics Universe?

Poin yang ingin Penulis angkat disini adalah apakah benar dapat terjadi perang luar angkasa dengan skema penghancuran yang super maksimum dan lintas galaksi? Tentu saja itu dapat terjadi dengan melihat perkembangan teknologi yang cukup pesat di bidang luar angkasa dan masih terbukanya banyak peluang eksplorasi dan eksploitasi “lintas planet”, salah satu contohnya adalah adanya perusahaan SpaceX milik Elon Musk yang digadang-gadang sebagai The Real Iron Man.

Permasalahannya adalah bagaimana jika hal ini tidak hanya menimbulkan sisi positif tetapi juga sisi negatif yang tidak bisa dipungkiri layaknya dua sisi mata koin? jawabannya adalah: siap-siap aja, bro!

Lho, kok siap-siap? Memangnya sudah mulai?-Ya, Tentu saja!- perkembangan teknologi perang luar angkasa bisa dilihat dari adanya perlombaan ke bulan atau penjelajahan ruang angkasa yang sudah dilakukan sejak era Uni Soviet masih berdiri hingga sekarang dengan dibentuknya traktat yang bernama Outer Space Treaty 1967 (disingkat “OST”) sebagai traktat yang berlaku sebagai rezim hukum yang mengatur wilayah Luar Angkasa. [1] Selain itu, terdapat pula resolusi tambahan yang mendukung perkembangan dan perlindungan wilayah Luar Angkasa yaitu Prevention of Arms Race in Outer Space (PAROS) serta Committee on Peaceful Uses Of Outer Space (Coupous) yang sudah menjadi norma hukum internasional dibawah OST. [2]

Waduh, bisa jadi beneran dong?

Laser dan Light Saber: Aturan Mainnya Apa?

Tenang aja, pada dasarnya penggunaan senjata itu pastinya bakal dibatasi, sekalipun senjata-senjata tersebut digunakan di ruang angkasa.

Mungkin Anda bertanya: loh, kok bisa? Ya, bisa dong, ada yang namanya hukum humaniter internasional. Hukum ini berlaku pada saat terjadinya konflik bersenjata. Hal ini sudah diakui secara internasional dan sudah “well-recognized”.

Well, memang sampai sekarang perkembangan senjata internasional belum sampai tahap penggunaan light saber (jangan sedih bro, I know what u feel) namun untuk penggunaan Laser sudah cukup diatur dalam peraturan hukum internasional, yaitu adanya prinsip necessity and proportionality yang sudah menjadi hukum kebiasaan internasional. [3] Dengan catatan, penggunaan senjata laser yang dilarang dalam OTS hanyalah menembakkan senjata dari bumi ke satelit milik negara lain, namun menembakkan laser dalam wilayah luar angkasa masih diperbolehkan. [4]

Pada intinya, penggunaan senjata tersebut haruslah sesuai porsi dan kegunaan senjata tersebut, serta tidak diperkenankan menggunakan senjata nuklir ataupun senjata pemusnah massal (WMD) yang mana sudah diatur jelas dalam Pasal 4 OST, dengan catatan bahwa senjata tersebut tidak diluncurkan langsung ke orbit bumi.

Analisis sederhananya adalah, karena luar angkasa merupakan wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah tak bertuan dengan diberlakukannya rezim common heritage of mankind atau warisan berharga bagi umat manusia, maka ‘potensi dan ancaman yang kiranya bisa ngancurin kesejahteraan kolektif umat manusia, harus dihindari. [5] (Hmm, apa kabar Thanos dengan infinity gauntletnya ya kalau begitu? Ups.)

Sudut pandang perang luar angkasa. Sumber: http://www.forumla.de/sony-ps4-forum/213837-star-wars-battlefront-post4761435.html

Planet Cybertron Hancur: Tanggung Jawabnya Gimana?

Well, pada dasarnya konsep pertanggungjawaban itu sudah dikenal dalam Hukum Internasional, yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu tanggung jawab negara (state responsibility) dan tanggung jawab perorangan yang sudah dianggap sebagai salah satu hukum kebiasaan internasional. [6]

Nah, untuk aspek pertanggungjawaban apabila terjadi kerusakan atau kehancuran di ruang angkasa, secara hipotesis dilakukan oleh sebuah negara maka konvensi yang sekiranya akan dijadikan dasar gugatan adalah Liability Convention 1972 serta Draft Article for Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (ARSIWA), unsur-unsur yang setidaknya harus dipenuhi adalah:

  • dapat diatribusikan kepada negara dengan dasar hukum internasional (“it is attributable to the State under International Law”);
  • dinyatakan sebagai sebuah pelanggaran dari sebuah kewajiban internasional sebuah negara (“Constitutes of a breach of an International Obligation of the states”). [7]

Jadi, harus dapat dibuktikan terkait keterlibatan suatu negara akan kerusakan dan membuktikan adanya pelanggaran dan norma hukum internasional.

Bagaimana kalau yang terjadi adalah perang, dan bukan sekadar “kerusakan” yang dilakukan oleh negara? Tentu saja itu merupakan yurisdiksi dari hukum humaniter.

Adapun keberlakuan hukum humaniter dalam ranah luar angkasa masih sebatas hipotesis, karena sampai sekarang perkembangan hukum perang yang terjadi hanya pada sesama manusia di bumi — bukan manusia dengan alien, atau manusia lain di Mars atau di Planet Titan seperti yang dilakukan oleh Peter Quill dalam Guardian of the Galaxy, misalnya.

Hal ini dikarenakan adanya konsep pertanggungjawaban yang dikenal dalam Hukum Humaniter yang dikenal sebagai konsep ‘command responsibility’ dan ‘individual responsibility’. [8] Pembebanan tanggung jawab ini dilihat dari perbuatan yang dilakukan oleh si kombatan. Apakah perbuatan itu dilakukan berdasarkan perintah atasan yang sedang menjalani jabatannya? atau berdasarkan pertimbangan individu? Melihat dari posisi Megatron sebagai komandan perang, maka diasumsikan bahwa tanggung jawab yang dibebankan adalah command responsibility. Nah, untuk menentukan seseorang adalah suatu pelaku atau pihak yang bertanggungjawab atas suatu peristiwa tersebut, dibutuhkan suatu pemenuhan unsur atau element.

You guys are probably wondering, sebenernya apa sih gunanya elemen ini? singkatnya, kalau di hukum Indonesia disebut sebagai delik atau unsur pidana, Prosecutor atau dalam hal ini harus membuktikan semua elemen ini, apabila element tersebut tidak dapat dipenuhi maka dakwaannya tidak dapat dijatuhkan, konsekuensinya?-Terdakwa atau pelaku tersebut harus dibebaskan.

Jadi, unsur apa saja yang terdapat dalam pertanggungjawaban komando? Well, please check the description below:

  • Kejahatan itu masuk dalam kompetensi mengadili dari Mahkamah Pidana Internasional (“The Crimes should fall under the jurisdiction of ICC”);
  • Terdakwa merupakan seorang jenderal dalam kemiliteran dan mempunyai keleluasaan untuk memerintah dan mengendalikan pasukannya (The Defendant is a military commander and has effective command and control over his or her force);
  • ·Dia ( si Komandan) mengetahui akibat dari apa yang dilakukan (diperintahkan langsung) olehnya dan gagal untuk melakukan usaha-usaha yang diperlukan untuk mencegah akibat dari kejahatan (perbuatannya) (He or she knew about the commission of the crime and fails to take necessary measures to prevent the commission of the crimes);
  • Dia (si Komandan) gagal dalam mengendalikan pasukan serta bawahnya yang menjadi kewenangannya (He or she fails to exercise proper control over his subordinates in his or her troops). [9]

Jadi, untuk menyatakan bahwa seorang tersebut dinyatakan bertanggung jawab dengan dasar tanggung jawab komando adalah ia terbukti melakukan sebuah kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yaitu genosida, agresi, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang. [10] Ia juga harus dibuktikan secara konkret memiliki kuasa atau terbukti memiliki kontrol penuh atas pasukannya, dan juga dia memang sudah mengetahui akibat dari perintah yang dibuatnya dan/atau gagal mengendalikan bawahannya.[11]

Agak bingung yah? Oke, mari kita pake contoh yang lebih familiar. Misalkan dalam alternate ending dari Marvel Cinematics Universe Thanos The Mad Titan setelah selesai menjentikkan jarinya dan menghancurkan setengah populasi manusia.

Perang dan kejahatan genosida yang dilakukan oleh Thanos. Sumber: https://collider.com/avengers-endgame-iron-man-death-alernate-versions/

Thanos ditemukan sedang bertani di The Garden dan akan dipersekusi oleh Avengers di pengadilan ICC di Belanda, maka ketika ditangkap para hakim ICC akan melihat apakah Thanos telah terbukti menghilangkan setengah populasi umat manusia dengan jentikkan jarinya, serta serangannya kepada rakyat Amerika di New York City dan Wakanda adalah terbukti benar dengan cara melancarkan agresi militer besar-besaran ditambah dengan adanya pembunuhan oleh anak buah Thanos yakni Ebony Maw dan Proxima Midnight yang telah menangkap Doctor Strange untuk mendapatkan time stones. Well, hakim dalam hal ini haruslah membuktikan ke semua unsur tersebut untuk dapat ‘memenjarakan’ dan ‘menghukum Thanos’. Mudah kan?

Terdapat wacana bahwa Presiden AS Donald Trump hendak membentuk suatu space force. Sumber: https://www.fox10phoenix.com/news/family-human-remains-found-on-chad-daybells-property-belong-to-jj-vallow-tylee-ryan

Perkembangan, Prediksi, dan Prevensi

Mengenai perang luar angkasa dan adanya potensi konflik luar angkasa, memang belum ada perkembangan yang berarti dibidang hukum humaniter di luar angkasa karena belum diatur dan diperkirakan secara spesifik, mengingat perlombaan dan penyerangan senjata di luar angkasa karena umat manusia belum ada negara yang dapat melakukan penyerangan dan invasi di luar angkasa.

Adapun sekiranya akan ada perkembangan mengenai pertempuran di luar angkasa maka hal yang paling mendekati adalah adanya pembentukan space force oleh Amerika Serikat, sebagai salah satu gebrakan yang digagas oleh Trump sebelum adanya pandemi Covid-19.

Jadi untuk menutup tulisan ini secara singkat, kesimpulan sederhananya adalah mengenai skema akan suatu peristiwa perang luar angkasa yang dapat terjadi melihat adanya perkembangan dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk diantaranya penggunaan senjata. Namun penggunaan senjata ini telah cukup dibatasi dengan beberapa perjanjian internasional serta dokumen PBB yang cukup mengikat.

Namun, mengenai skema perang luar angkasa apabila ingin dikaji dari sisi pembebanan tanggug jawab, dapat dilihat dari 2 (dua) sisi hukum, yaitu hukum humaniter dan hukum internasional. Perbedaan yang mendasar ialah mengenai pembebanan tanggung jawab, yaitu pembebanan terhadap negara yang melakukan atau individu yang melakukan atas dasar perintah dan kewenangan yang dimilikinya.

Referensi:

[1] United Nations. 2002. United Nations treaties and principles on outer space: text of treaties and principles governing the activities of states in the exploration and use of outer space, adopted by the United Nations General Assembly. 610 U.N.T.S. 205, New York: United Nations (OST)

[2] United Nations General Assembly Committee on the Peaceful Uses of Outer Space, Reports of the Legal Sub-committee on its fifty-eight session, (12 April 2019) UN Doc No. A/AC.105/1203, page 9.; Lihat Group of Governmental Experts on Further Practical Measures for the Prevention of an Arms Race in Outer Space’(18–29 March 2019) UN Docs GE-PAROS/2019/WP.1, halaman 4

[3] First Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, and relating relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (adopted 8 June 1977, entered into force 7 December 1978) 1125 UNTS

[4] OST, Article 4

[5] Siavash, Mirzaee. Outer Space and Common Heritage of Mankind: Challenges and Solutions”. RUDN JOURNAL OF LAW 21 (1): 102–114. Peoples’ Friendship University of Russia. doi:10.22363/2313–2337–2017–21–1–102–114. 2017.

[6] Customary IHL Rule 149: Responsibility for Violations of International Humanitarian Law, https://ihl-databases.icrc.org/customary-ihl/eng/docs/v1_rul_rule149 diakses 22 Oktober 2020; lihat Customary IHL Rule 151: Individual Responsibility, https://ihl-databases.icrc.org/customary-ihl/eng/docs/v1_rul_rule151 diakses 22 Oktober 2020; lihat juga Customary IHL Practice Relating to Rule 152. Command Responsibility for Orders to Commit War Crimes, https://ihl-databases.icrc.org/customary-ihl/eng/docs/v2_rul_rule152 diakses 22 Oktober 2020.

[7] International Law Commission ‘Draft Articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts, (2001) UN Doc A/56/10 (“ASR”), Pasal 2.

[8] Criminal Repression dalam Casebook ICRC, https://casebook.icrc.org/law/criminal-repression; diakses 22 Oktober 2020; lihat juga Command Responsibility dalam Casebook ICRC, https://casebook.icrc.org/glossary/command-responsibility diakses 22 0ktober 2020.

[9] Prosecutor v. Jean Pierre Bemba, Case No. ICC-01/05–01/08, Judgement, (ICC Trial Chamber III Mar. 21, 2016), paragraph 170 (Bemba).

[10] Rome Statute of the International Criminal Court (adopted 17 July 1998, entered into force 1 July 2002) 2187 UNTS, Pasal 6(3).

[11] Bemba, paragraph 201.

--

--