Perjanjian Komersial Para Penguasa Nusantara dengan Pedagang Eropa Abad ke-16

agnesgaluh
Akar/Ranting
Published in
7 min readOct 31, 2020

Perdagangan internasional di Indonesia bukan merupakan hal yang baru. We strike deals and trade all the time. Tulisan ini mencoba untuk memberikan ilustrasi mengenai sifat perdagangan internasional di Nusantara pada awal mula kedatangan bangsa Eropa. Dapat dilihat bahwa beberapa prinsip perdagangan Internasional yang kita pelajari di balik meja bisa kita temukan juga dalam traktat perdagangan para penguasa di Nusantara dengan bangsa Eropa. Tulisan ini juga memberikan sedikit gambaran mengenai transisi dari perdagangan yang penuh dengan prinsip perdagangan bebas menjadi monopolistik dan penuh dominasi.

Berawal dari Rempah-Rempah

Era Eksplorasi membawa Nusantara pada suatu perjalanan dan arah yang pahit-pahit manis. Digerakkan oleh keinginan bangsa Eropa menemukan opsi selain monopoli para pedagang Arab terhadap jalur perdagangan rempah-rempah eksotis di Jalur Mediterania terutama pala dan cengkeh‒tanaman asli daerah Wallacea, dimulailah perjalanan menemukan the Islands of Spice. Walaupun identik dengan penjajahan, interaksi awal dengan bangsa Eropa diawali dengan hubungan perdagangan yang seimbang (equal footing). Kita dapat melihatnya melalui interaksi antara para penguasa di berbagai pelosok Nusantara seperti di Bantam (sekarang Banten), Ternate, Tidore, dan Gowa-Tallo. Kedatangan bangsa Eropa saat itu disambut dengan tanggapan yang sama dengan para pedagang asing lainnya: mereka dianggap sebagai mitra bisnis yang potensial.

Penyambutan Cornelis de Houtman di Jawa. Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Wandschildering_%27La_réception_de_Cornelis_de_Houtman_a_Java_en_1595%27_door_Paulides_in_het_Nederlandse_paviljoen_op_de_Koloniale_Wereldtentoonstelling_in_Parijs_TMnr_60011222.jpg

Jejak perdagangan antara para penguasa Nusantara dengan bangsa Eropa dapat kita telisik melalui jurnal milik Antonio Pigafetta. Pigafetta merupakan seorang bangsawan Italia yang diberi misi oleh Vatikan untuk mencatat segala yang terjadi dalam misi Ferdinand Magellan, mencatat mengenai kedatangan kapal Spanyol pertama kali di Pelabuhan Tidore pada November 1521. Kurang lebih berikut merupakan isi catatan miliknya:

Raja menyambut dengan tangan terbuka atas kedatangan kami, ia pun berkata sudah lama ia memimpikan kedatangan kapal-kapal dari negeri-negeri jauh ke Maluku, dan untuk meyakinkan itu kepada kami, ia berkata bahwa ia telah melihat tanda-tanda kedatangan kapal-kapal dari negeri jauh berdasarkan tanda-tanda bulan. Kapal-kapal itu tentu saja adalah kapal kami. Demikian ia meyakinkan pada kami. Setelah ia naik ke kapal kami, kami mencium tangannya: kami pun menunjukkan buritan kapal kami, namun ia menolak. Ia tidak ingin masuk kabin kecuali dengan upacara kebesaran.

Kami mempersilahkan ia duduk di kursi berlapis kain beludru merah, dan memakaikan jubah Turki berbahan beludru kuning. Untuk menunjukkan penghormatan lebih kepada beliau, kami duduk di lantai sebelum ia duduk. Ketika ia sudah mendengar siapa kami sebenarnya dan apa tujuan kami dalam penjelajahan ini, ia berkata bahwa ia dan sekalian rakyatnya akan merasa senang menjadi “teman dekat” dan bagian Kerajaan Spanyol. Lalu, ia menerima kami layaknya anaknya sendiri.” [1]

Setara? Setara!

Sebelum masuk ke isi dari traktat bersifat komersial, pertama kita lihat dulu apakah raja-raja di Nusantara memiliki kapasitas untuk berkontrak dengan bangsa Barat.

Hugo Grotius berpendapat bahwa para penguasa di Nusantara adalah merupakan entitas yang merdeka dan berdaulat, sehingga memiliki kapasitas untuk melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum perdata internasional dalam pengertian Hukum Barat.

Dalam bukunya yang bertajuk “Free Seas (Mare Liberum)”, Hugo Grotius berpendapat bahwa:

“Jawa, Sumatra, Maluku memiliki raja mereka masing-masing, lembaga publik, hukum, dan haknya sendiri dan mereka selalu memilikinya. Tidak seorangpun berhak untuk merampas kekuasaan sipil dan kerajaan mereka yang kafir ini hanya karena tidak percaya. Sesungguhnya bahkan keliru untuk berasumsi bahwa orang-orang kafir tidak boleh menjadi tuan atas harta benda mereka, karena pencurian dan perampokan untuk merampas harta benda mereka sama seperti jika terjadi pada seorang Kristen.” [2]

Hal ini tercermin juga dari terdapatnya traktat-traktat bersifat komersial yang disepakati oleh raja-raja Nusantara dengan bangsa Eropa.

Prinsip-prinsip Perdagangan Internasional Modern

Sejarah menunjukkan bahwa prinsip perdagangan internasional modern setidak-tidaknya pernah dipraktikkan oleh berbagai penguasa nusantara berabad-abad sebelum adanya kodifikasi norma hukum perdagangan internasional modern. Berikut adalah contoh-contoh traktat perdagangan antara penguasa Nusantara dan bangsa Eropa.

Traktat tertanggal 1 Juli 1596 di mana Raja Bantam mendeklarasikan bahwa bangsa Belanda boleh berdagang, menjual dan membeli, dengan bebas seperti apabila sedang berdagang di negeri sendiri. Traktat ini menjadi bukti tegas dianutnya perdagangan bebas di pelabuhan dan kota Bantam. [2] Kemudian, pada 11 Oktober di tahun yang sama, Raja Bantam mendeklarasikan kembali dengan mengubah pilihan kata-kata, dari “wij [Bantam] sijn te vreden dat U.E come…menjadi “wij sweeren voor de waerhijt.” Atau dalam terjemahan kasarnya yaitu: “Kami bahagia bahwa Tuan Raja telah datang” menjadi “Kami bersumpah demi kebenaran.” Hal ini dilakukan untuk merespon Portugis yang berusaha untuk mengusir Belanda dari Bantam.

Kemudian pada tahun 1599, van Waerwijk dan van Heemskerck, perwakilan Belanda, berlayar menuju Banda. Setibanya di sana mereka kembali membuat perjanjian berdasarkan Hukum Internasional, seperti di Bantam, mengenai biaya untuk berlabuh, biaya terkait pelabuhan, dan biaya-biaya lain. Charles Himawan menegaskan bahwa, hukum otonom berlaku untuk mengatur hubungan hukum antara Belanda dan Syahbandar Ortatan (Banda). Keduanya memiliki kedudukan seimbang, dan tidak ada yang permintaan untuk mendapatkan perlakuan khusus.

Perdagangan bebas juga terjadi di Bali, di mana terdapat deklarasi yang memperbolehkan Belanda untuk berdagang dengan national treatment. Deklarasi tertanggal 7 Juli 1601 tersebut berbunyi, “de Hollanders alhier te mogen handelen gelyche als de van Bali selfs” atau yang secara bebas diterjemahkan, “Belanda boleh berdagang di sini seperti selayaknya orang Bali.”

Bantam. Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Bird’s-eye_View_of_the_City_of_Bantam_de_Bry.jpg

Kembali ke Bantam, terdapat traktat tahun 1645 yang memungkinkan perkembangan perdagangan internasional di Bantam dengan mengembangkan pelabuhan serta fasilitas perkapalan. Sultan Agung (Abdulfatah Agung atau Sultan Ageng Tirtayasa) mengundang Inggris, Denmark, dan Prancis ke pelabuhannya dan meminta mereka untuk memberikan bantuan teknologi untuk Bantam agar bisa berlayar hingga Persia.

And It Went South

Perang Makassar (1666–1669). Sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:AMH-5644-KB_The_conquest_of_Macassar_by_Speelman_from_1666_to_1669.jpg

Walaupun perdagangan bebas merupakan awal interaksi Nusantara dengan Bangsa Eropa, berkembang pula traktat yang menjanjikan hak monopoli sebagai balasan bantuan militer. Dengan risiko berlayar ke dan dari Nusantara kembali ke Eropa yang besar dan pertimbangan ekonomi lainnya, Belanda (melalui perpanjangan tangannya yakni VOC) memiliki strategi dengan pertama membentuk kartel, melakukan monopoli, dan kemudian mengganti penerapan hukum yang imparsial dengan hukum mereka sendiri.

Kemudian model Traktat Belanda tersebut berkembang menjadi model traktat yang menjadikan kerajaan di Nusantara menjadi wilayah taklukan Belanda dan memberikan dasar untuk mempengaruhi struktur politik di dalam kerajaan tersebut. Misalnya dalam Traktat Belanda dengan Ambon, di mana Ambon mendeklarasikan loyalitasnya pada Belanda, Raja Belanda dan Gubernur Ambon:

wij belooven ende sweren, de Saaten General van den Vereidge Nederlandedn, zijn Princelijk Ex ende de Governur van Ambonya gehow en getrouw zijn, zooland als wij leven”[5]

Model traktat ini kemudian berkembang menjadi suatu bentuk manifestasi dari devide et impera. Sebagai ganti bantuan militer, Belanda bisa mendapatkan sebidang wilayah dan hak ekslusif untuk berdagang (octroy van den gantschen handel). Selain itu, terdapat juga model Traktat yang memberikan hak monopoli tidak hanya untuk produk ekspor tetapi juga produk impor.

Tulisan ini hanya merangkum sedikit dari traktat dan kontrak tercatat yang sesuai dalam pengertian the western hemisphere. Alexandrowicz berpendapat bahwa sesungguhnya, penguasa di Nusantara (East Indies Sovereigns) sendiri enggan untuk membuat traktat, terutama yang bersifat permanen, dan lebih memilih untuk memberikan agencies conscession dengan bentuk perintah yang bisa dicabut. [4] Sehingga, masih banyak bentuk perdagangan yang sebenarnya juga tidak kalah menarik untuk diperhatikan. Namun, satu hal yang dapat kita lihat adalah kesetaraan serta penggunaan prinsip-prinsip perdagangan internasional modern sebenarnya sudah terlihat dengan melihat transaksi perdagangan yang terjadi antara penguasa Nusantara dengan para pedagang dari bangsa Eropa. Selain itu, dinamika politik yang terjadi tentunya turut andil dalam menorehkan pengaruh bagi perdagangan yang ada termasuk traktat-traktat yang menyertainya.

Catatan:

Bangsa Eropa dalam tulisan ini berarti pihak dalam kontrak yang memiliki kebangsaan Eropa. Mereka bisa jadi perwakilan dari perusahaan atau perwakilan dari kerajaan atau negara.

Verenegigde Oost-Indie Compagnie (VOC) merupakan perusahaan multinasional yang didirikan oleh Six Chambers (Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn, Enkhuyzen) dan Pemerintah Belanda yang diwakili oleh States General pada tahun 1602. Akta Pendirian VOC memberikan kewenangan pada VOC untuk bertindak sebagai perusahaan privat dan perpanjangan tangan dari Belanda (bearer of sovereign power). Pendirian VOC memiliki tujuan utama untuk mendirikan konsolidasi antara para pedagang Belanda.

Referensi

[1] Agung Dwi. “Kepulauan Rempah-Rempah — Antonio Pigafetta (1521),” https://booksandgroove.com/kepulauan-rempah-rempah-antonio-pigafetta-1521/. Diakses 28 Oktober 2020.

[2] “Java, Sumatra, the Moluccas have their own kings, public institutions, laws and rights and they have had them always. One is not entitled to deprive these infidels of their civil and princely power because they do not believe. Indeed it is even heresy to assume that the infidels should not be master of their goods, for it is no less theft and robbery to deprive them of their goods than it would be if a Christian were concerned” dalam Hugo Grotius, Free Sea, Chapter 2 dalam R. D. Kollewijn, “Conflicts of Western and non-Western Law,” The International Law Quarterly, Vol. 4, №3 (Jul., 1951), pp. 307–325.

[3] Corpus Diplomaticum Nederlands-Indicum, dalam Charles Himawan, “The Foreign Investment Process in Indonesia”, (Jakarta: Repro Jawa, 1980). Umum lihat: Arsip Sejarah ANRI “Corpus Diplomaticum 1595–1799” https://sejarah-nusantara.anri.go.id/corpusdiplomaticum/. Diakses 28 Oktober 2020. Lihat juga: Corpus Diplomaticum digitaal online, https://www.cortsfoundation.org/nl/nieuws/166-juli-2019-corpus-diplomaticum-digitaal-online. Diakses 28 Oktober 2020.

[4] CH Alexandrowicz, dalam Charles Himawan, “The Foreign Investment Process in Indonesia”, (Jakarta: Repro Jawa, 1980).

[5] Dalam bahasa Inggris: “we vow to remind bound and loyal, as long as we live, to the States General of the United Netherlands, his Excellency, the Prince, the Governor of Ambon”.

--

--