Siapa Untung, Siapa Buntung?

Akar/Ranting
Akar/Ranting
Published in
8 min readDec 30, 2020

Sebuah Refleksi Mengenai Perlindungan Hukum terhadap Pengetahuan Tradisional

Penulis: Wishnu Adisatya

Hak Kekayaan Intelektual: Untuk Semua Kalangan?

Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar Kata Hak Kekayaan Intelektual? Apakah lirik lagu? Apakah sebuah film di bioskop? Atau sebuah buku karangan penulis ternama?-Well, semua jawaban diatas itu benar sih, namun tau tidak sih kalau ternyata ruang lingkup Hak Kekayaan Intelektual itu amat luas konteksnya? Berikut sedikit penjelasannya.

World Intellectual Property sebagai badan internasional yang mengatur mengenai Hak Cipta. Sumber: https://cutt.ly/Jje1Ob7

Sebenarnya konsep dari Hak Kekayaan Intelektual itu muncul pertama kali ketika manusia menyadari pentingnya pengakuan suatu karya, adalah dengan lahirnya Traktat Paris dan Kongres Wina sebagai salah satu konvensi yang menjadi pelopor lahirnya pengakuan hak eksklusif yang nantinya dikenal sebagai Hak Kekayaan Intelektual, konvensi ini nantinya mendorong beberapa Perjanjian Internasional lain seperti Berne Convention dan Madrid Protocols yang menjelaskan berbagai bidang HAKI.

Namun, pernahkah kita membayangkan bahwa minuman jamu kencur asal Indonesia atau lulur dengan bengkoang khas Indonesia dapat pula menjadi objek HAKI?-Jawabannya adalah: Mungkin saja! coba kita tengok dalam masa penjajahan belanda yang mana diberlakukannya asas konkordansi,[1] Indonesia dikenal sebagai sebuah bangsa yang memiliki nilai tradisi dan budaya yang berbeda-beda serta bermacam-macam. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia memiliki ciri khas dan masakan dan ramuan obat yang beragam jenisnya.

Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan tingkat biodiversitas yang besar atau negara megabiodiversity yang menjadikan Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah. Kekayaan ini bagaikan dua sisi koin, memiliki dampak positif dan negatif. Dampak negatif yang sekiranya sering terjadi dalam ranah penelitian Indonesia adalah pencurian data dan masuknya peneliti asing ilegal. Dalam hal ini ranah hukum lah yang berperan memberikan perlindungan dari segi Hak Kekayaan Intelektual, namun pertanyaannya adalah bagaimana jika kepemilikannya tidak berdasarkan temuan individu, melainkan resep turun temurun atau milik komunal sebuah masyarakat desa yang memiliki ritual tersendiri. Mungkinkah hal tersebut dapat dilindungi?

Pengetahuan Tradisional: Keunikan dan Perbedaan Dengan HAKI Individual

Hak Kekayaan Intelektual (yang selanjutnya disingkat HKI) merupakan hak atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karya-karya tersebut juga merupakan kebendaan tidak berwujud yang merupakan hasil kemampuan intelektualitas seseorang atau manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melalui daya cipta, rasa, karsa dan karyanya, yang tidak hanya memiliki nilai-nilai ekonomis tetapi juga nilai moral yang terkandung di dalamnya. Secara garis besar HKI terbagi menjadi 2 bagian yaitu Hak Cipta (Copyright) dan Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights). Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights) tersebut mencakup Paten (Patent), Desain Industri (Industrial Design), Merek (Trademark), Perlindungan Varietas Tanaman (Varieties Of Plant Protection), Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design Of Integrated Circuit), dan Rahasia Dagang (Trade Secret).[3]

Pembagian HKI tersebut berlaku untuk ranah HKI secara umum yang sifatnya individual. Kenyataannya terdapat suatu ranah haki yang bersifat komunal serta memiliki kepemilikan bersama, termasuk dalam hal ini pengetahuan yang diwariskan turun temurun yaitu dikenal sebagai Traditional Knowledge atau Pengetahuan Tradisional Yang digarisbawahi oleh World Intellectual Property Organization atau Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (“WIPO”), sebagai definisi dari Traditional Knowledge ialah segala hal yang berhubungan dengan bagaimana manusia dalam suatu masyarakat tradisional berinteraksi dengan lingkungannya,[5] yang mana kegiatannya menghasilkan suatu pengetahuan yang memerlukan kapasitas intelektual dalam konteks tradisional.[6] Contoh kecilnya misalnya adalah sebuah ramuan jamu turun temurun yang bisa berkhasiat dari tanaman jenis Kunyit (Curcuma longa) yang merupakan flora endemic yang terdapat di Asia Selatan.

Potensi sengketa yang akan timbul nantinya adalah mengenai pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat pribumi atau merupakan sebuah resep turun temurun dari bangsa Indonesia, apakah mungkin proteksinya dapat diajukan sebagai sebuah properti milik individu sebagai layaknya HAKI Konvensional? Apakah mungkin misalkan sebuah perusahaan dapat memiliki ‘resep turun temurun ini’ dan dikomersialisasikan?-Bagaimana sih perlindungan hal ini diatur dalam ranah hukum HAKI?

Untuk lebih mudahnya, pertama kita cari pengertian yang tepat mengenai masyarakat pribumi, yang mana didefinisikan oleh ILO sebagai masyarakat yang merupakan keturunan dari masyarakat yang sudah hidup di suatu daerah sejak saat terjadinya kolonisasi atau didirikannya suatu negara modern di daerah tersebut. Serta dapat mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai sebuah komunitas pribumi (self-identification).[7]

Meskipun sudah di-acknowledge oleh sebuah konvensi internasional, pasalnya Konvensi ini hanya diratifikasi oleh 23 Negara saja dan ironisnya Indonesia tidak termasuk negara yang meratifikasi konvensi ini.[8] Indonesia sendiri yang memiliki masyarakat pribumi seperti Suku Dayak, Badui, serta etnik khas yang lain seharusnya sudah cukup membuktikan pentingnya ratifikasi konvensi ini.

Permasalahannya ialah, apabila pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat pribumi atau merupakan warisan bangsa Indonesia ini menarik investor atau para pengusaha dan akan dikomersialisasikan? Mengingat sifatnya yang cukup kompleks yang mencakup banyak unsur seperti kebudayaan, religiusitas, sejarah, dan moral.[9] Perlu diingat pula bahwa pemegang hak kekayaan intelektual dapat memaksimalkan haknya secara penuh baik secara ekonomi maupun non ekonomi. Namun, konsep ini mudah ditemukan apabila tipe haknya adalah hak cipta ataupun hak patent. Bagaimana bila sifat haknya adalah suatu Pengetahuan Tradisional yang dimiliki masyarakat pribumi maupun bangsa Indonesia, apakah alas haknya akan sama? Utilisasi dan Perlindungan: Studi Kasus Permasalahan Pengetahuan Tradisional

Permasalahan yang sering timbul dalam kasus sengketa mengenai Pengetahuan Tradisional ialah mengenai utilisasi atau penggunaan dari pengetahuan tradisional. Yang disebut sebagai utilisasi adalah penggunaan pengetahuan tradisional sebagai basis data bagi pengembangan produk yang mengarah kepada suatu komersialisasi dengan tujuan yaitu memperoleh keuntungan.[10]

Banyaknya permasalah mengenai pendaftaran paten yang sumbernya berdasarkan pengetahuan tradisional Sumber: https://cutt.ly/Eje1Fsq

Lebih lanjut, sampai sebatas mana sebuah Pengetahuan Tradisional dikatakan telah diutilisasi?jawaban singkat dan mudahnya adalah apabila terdapat suatu produk yang diproduksi dan dikembangkan menggunakan Pengetahuan Tradisional sebagai ‘menu utama’ dan ‘bahan baku utama dari proses pembuatan produk maupun sekedar untuk riset.[11]

Terdapat beberapa kasus yang kiranya dapat digunakan sebagai ilustrasi mengenai permasalahan yang ada dalam utilisasi Pengetahuan Tradisional diantaranya adalah Kasus Turmeric dan Kasus Shuseindo.

Kasus Turmeric

Turmeric Turmeric (Curcuma longa) adalah sebuah tumbuhan asli dari daerah Asia Selatan. Tanaman ini biasanya digunakan sebagai bahan untuk memasak serta merupakan bagian dari obat-obatan tradisional Suku Ayurveda India dan pengobatan tradisional Cina untuk mengobati berbagai macam penyakit, antara lain untuk melawan inflamasi, penyakit saluran pencernaan, penyakit liver, dan kanker.[12] Melihat adanya kegunaan tersebut, ilmuwan asal Amerika Serikat membuat obat berbahan dasar Turmeric yang kemudian berusaha untuk mengajukan paten ke Kantor Paten asal Amerika Serikat atas temuannya, namun dalam perkembangannya patent tersebut dibatalkan atas dasar tidak memenuhi unsur novelty atau unsur kebaruan dari sebuah temuan atas pengajuan dari Dewan Riset Ilmiah dan Industrial India.[13]

Kasus Shiseindo

Kasus ini melibatkan Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki ‘ramuan jamu’ yang secara turun temurun diproduksi di Indonesia. Shuseindo sendiri adalah perusahaan kosmetik asal Jepang yang mematenkan sebuah hair tonic yang berbahan dasar Cabe Jawa (Piper Retrofractum) serta lebih dari 35 tanaman herbal asal Indonesia tercatat menjadi bahan dasar produk anti aging, moisturizers.[14] Melihat maraknya pembajakan yang dilakukan oleh Shuseindo sebuah lembaga non profit bernama BioTani Foundation melancarkan gelombang protes bertajuk ‘biopiracy’ yang mengakibatkan Shiseindo mencabut semua paten dan permohonan patent yang diajukan kepada Kantor Patent Jepang.[15]

Mekanisme Perlindungan Hukum

Indigenous People atau masyarakat adat yang ikut ambil bagian dalam pembahasan di sidang PBB Sumber: https://cutt.ly/cje1EGv

Kerangka perlindungan hukum dalam hal ini dapat dilihat dari dua perspektif yaitu hukum internasional dan hukum nasional, dari segi hukum internasional instrumen yang dapat diajukan sebagai dasar hukum adalah Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity yang secara eksplisit menyatakan dalam Pasal 7 yaitu:

“Berdasarkan hukum domestik, setiap Negara Peserta harus melakukan usaha, sepantasnya, dengan tujuan untuk memastikan bahwa Pengetahuan Tradisional yang berhubungan dengan sumber daya genetik yang dipegang oleh komunitas pribumi dan lokal diakses melalui persetujuan (consent) yang diperoleh sebelumnya disertai dengan informasi, serta keterlibatan masyarakat pribumi dan lokal ini, yang mana telah mencapai kata sepakat.

Dalam Konvensi ini juga dimuat sebuah prinsip yang bernama fair and equitable sharing of benefits dengan menekankan konsep monetary dan non monetary benefit sebagai opsi dalam pembagian keuntungan.[16]

Namun dalam hal ini, cakupan konvensi ini hanyalah mengenai pengetahuan tradisional yang menggunakan bahan dasar Sumber Daya Genetik, perlindungan mengenai pengetahuan tradisional berdasarkan ekspresi budaya ataupun kesenian masih belum dilindungi secara aktif.

Dari segi Hukum Indonesia, proteksi mengenai Pengetahuan Tradisional dibagi kedalam beberapa undang-undang yang bersifat sektoral, antara lain undang-undang mengenai:[17]

1. Undang-Undang Hak Cipta Pasal 28 yang meggarisbawahi mengenai penegasan akan perlindungan ekspresi budaya dilindungi pemerintah

2. Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman yang hanya menyebutkan bahwa varietas local dilindungi oleh pemerintah

3. Undang-Undang Paten Indonesia menyebutkan bahwa segala penemuan yang bersumber dari pengetahuan tradisional harus secara rinci menyebutkan sumber dari derivative/turunan dari pengetahuan tradisional itu. Data-data dan hasil pengetahuan tersebut haruslah dibagikan kepada masyarakat dan pemerintah Indonesia.

Dalam hal ini yang perlu disorot adalah masih lemahnya proteksi akan Pengetahuan Tradisional yang dimiliki oleh Masyarakat Tradisional Indonesia, hal ini cukup disayangkan karena sampai saat tulisan ini dibuat Pemerintah Indonesia tidak secara serius menempatkan dan memastikan Masyarakat Adat mendapat jaminan kepastian hukum.Rancangan Undang-Undang mengenai Pengetahuan Tradisional & Ekspresi Budaya Tradisional saja masih dalam tahap pembahasan dan baru masuk Program Legislatif Nasional atas inisiatif beberapa Partai Politik, Ironis bukan?.[1

Konklusi: Indonesia dan Perlindungan Akan Pengetahuan Tradisional

Jamu yang menjadi ramuan tradisional Indonesia, sudahkah terlindungi secara optimal? Sumber: https://cutt.ly/bje0jWq

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia masih kurang atentif dan peduli terhadap masa depan Hak Kekayaan Intelektual, terbukti dengan minimnya regulasi yang secara khusus mengenai kepastian dan keberlangsungan dan kebermanfaatan sumber daya yang bangsa kita miliki, khususnya mengenai Pengetahuan Tradisional. Padahal hal ini adalah suatu isu yang amat krusial mengingat potensi Indonesia yang mempunyai ragam budaya dan tradisi yang berbeda-beda serta memiliki keunikan tersendiri. Adalah sebuah upaya bunuh diri dan mati perlahan apabila Pemerintah Indonesia tidak secara proaktif membentuk sebuah kepastian hukum bagi Pengetahuan Tradisional, tercatat Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional masih belum dibahas lebih lanjut dan belum ada tanda-tanda untuk disahkan, mau menunggu sampai berapa kasus lagi hingga Pemerintah Indonesia sadar pentingnya RUU ini?, mau tunggu sampai diakui dan dicuri oleh bangsa lain lagi? Sampai semuanya diakui oleh Tetangga Kita? Ups.

REFERENSI

[1] https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5979a0202a993/arti-asas-konkordansi/ diakses 24 November 2020

[2] BPHN, Draft Laporan Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme Pengakuan Masyarakat Adat, halaman 2

[3] Abdul Kadir Muhammad, 2013, Buku Panduan Hak Kekayaan Inteletual (Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, halaman 4.

[4] Catharina Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar, halaman 17

[5] WIPO, Intellectual Property and Traditional Knowledge: Booklet №2, at 4–6, WIPO Pub. №920(E) (2009) halaman 1.

[6] WIPO, Glossary of Key Terms Related to Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Traditional Cultural Expressions, (Diterbitkan 7 Desember 2012) WIPO/GRTKF/IC/20/INF/13, halaman 4

[7] IILO Convention 169 on Indigenous and Tribal People, pasal 1 ayat 2

[8] International Labor Organization, List of State Parties to ILO Convention 169 <https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:11310:0::NO::P11310_INSTRUMENT_ID:312314>

[9] Jane Anderson, Indigenous/Traditional Knowledge & Intellectual Property, Center for the Study of the Public Domain, Duke University (2010) paragraf 1.1.4.

[10] World Intellectual Property Organization, The Protection of Traditional Knowledge: Draft Article, WIPO/GRTKF/IC/21/4, Pasal 3 ayat (2).

[11] Anil K. Gupta, WIPO-UNEP Study on the Role of Intellectual Property Rights in the Sharing of Benefits Arising from the Use of Biological Resources and Associated Traditional Knowledge (WIPO Publication number 769) (WIPO dan UNEP, 2004), halaman 112–118.

[12] http://www.umm.edu/altmed/ConsHerbs/Turmericch.html, diakses 20 Maret 2020

[13] R. A. Mashelkar, Intellectual property rights and the Third World, 81 Current Science (2001), halaman 960, <http://www.ias.ac.in/currsci/oct252001/955.pdf>

[14] Ani Mardiastuti, Implementation of Access and Benefit Sharing in Indonesia : Review and Case Studies, Jurnal Manajemen Hukum Tropika, 25(2) 35–43 April 2019, halaman 39–40

[15] Ibid, lihat juga GRTKF The Core Concepts and Objective https://www.wipo.int/edocs/mdocs/tk/en/wipo_iptk_bkk_09/wipo_iptk_bkk_09_topic1_1.pdf

[16] Nagoya Protokol, Pasal 5–7.

[17] https://core.ac.uk/download/pdf/95398103.pdf

[18] https://www.mongabay.co.id/2019/12/13/ruu-masyarakat-adat-masuk-prolegnas-2020-berikut-masukan-para-pihak/ lihat

--

--