Suatu Langkah dalam Memperjelas dan Memperingkas Putusan Pengadilan di Indonesia

Akar/Ranting
Akar/Ranting
Published in
5 min readOct 10, 2020
Sumber: <a href=”http://www.freepik.com">Designed by stories / Freepik</a>

Penulis: Rizky Bayuputra

Kita sering mendengar komentar dan kritik mengenai kekurangan-kekurangan putusan pengadilan Indonesia secara umum. Beberapa komentar ini umumnya didasarkan atas beberapa hal, yakni (i) tidak menyeluruhnya hakim dalam memberikan pertimbangan hukum, (ii) panjangnya putusan yang isinya ‘copy-paste’ argumentasi dan permohonan para pihak, dan (iii) ketidakjelasan struktur penulisan yang berujung pada kebingungan pembaca. Sedangkan, apabila kita membaca putusan pengadilan asing, terutama hasil rekam law reports di WestLaw, LexisNexis, atau Routledge i-law, kita bisa melihat perbedaan yang signifikan mengenai bagaimana suatu putusan ditulis.

Putusan pengadilan tidak lain merupakan hasil dari proses penalaran hakim dalam menemukan hukum (rechtsvinding) dalam menginterpretasikan dan menerapkan baik hukum positif (peraturan perundang-undangan) maupun hukum yang hidup di masyarakat (the living law) dan merupakan cara termudah kita melihat perkembangan hukum. Walaupun Hukum Indonesia tidak mengenal sistem preseden, yakni bahwa di Indonesia, suatu putusan pengadilan tidak menjadi kaidah yang mengikat putusan hakim berikutnya, penerapan suatu konsep baru dalam putusan pengadilan tetaplah dianggap sebagai breakthrough oleh para ahli hukum. Tentunya hal ini berbeda dengan negara-negara yang menganut sistem hukum common law.

Di negara common law, yang menerapkan asas preseden, hakim terikat oleh putusan-putusan hakim sebelumnya, sedangkan hakim di Indonesia memiliki ikatan bukan dengan putusan hakim sebelumnya dan melihatnya sebagai hukum positif selayaknya undang-undang (kecuali merupakan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang tidak mengikat namun merupakan sumber yang persuasif), namun hakim terikat kepada kebiasaan-kebiasaan, adat, dan hukum tidak tertulis lainnya yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, putusan pengadilan sering menjadi sumber utama aturan tidak tertulis (ongeschreven regel) di Indonesia, hal yang juga dikenal di sistem civil law lainnya. Sehingga, seorang hakim harus pandai mencari aturan-aturan tidak tertulis tersebut, dan salah satu di antaranya adalah putusan pengadilan sebelumnya yang berisi peristiwa dan materi hukum yang sama. Jadi, secara tidak langsung, terutama apabila tidak ada hukum statutaire/hukum tertulis, ialah kewajiban hakim untuk menengok ‘preseden’ karena seorang hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya (ius curia novit).

Menilik Permasalahan Dibalik Bentuk Putusan Pengadilan di Indonesia

Putusan Indonesia umumnya memiliki struktur sebagai berikut:

1. Para Pihak

2. Argumen Pihak Penggugat/Penuntut Umum

a. Kasus Posisi

b. Argumen-Argumen

c. Permohonan

3. Argumen Tergugat/Terdakwa

a. Kasus Posisi versi Tergugat/Terdakwa

b. Argumen isu preliminaire (eksepsi)

c. Argumen pokok perkara

d. Permohonan

4. Replik-Duplik

5. Gugatan Rekonvensi dalam Kasus perdata (Counter-Claim)

6. Rangkuman pemeriksaan alat-alat bukti

7. Pertimbangan

8. Amar Putusan dan tandatangan Majelis Hakim

Bentuk putusan ini memiliki keuntungan dalam hal siapapun yang membaca dapat memahami isi argumentasi dan versi fakta-fakta yang dibawa oleh para pihak dalam persidangan; asas transparansi pengadilan pun terpenuhi oleh karenanya. Namun, bentuk putusan seperti ini, yang mengikuti format seperti zaman kolonial Belanda terdahulu, pun memiliki kekurangan. Kekurangannya adalah seringkali putusan berbelit-belit karena para pihak hanya mengulangi argumennya dalam proses pembuktian oleh kedua pihak. Selain itu, seringkali putusan disertai dengan rincian alat bukti yang banyak dan memerlukan keahlian teknis (seperti dalam kasus lingkungan) untuk dapat memahaminya, sehingga putusan dapat mencapai ratusan halaman panjangnya. Tentunya, seorang pembaca, dan dalam hal ini, hakim lain, akan sangat discouraged untuk membaca putusan dan kemungkinan berujung pada miskonsepsi akan sangat tinggi.

Hal ini sangat krusial, terutama karena hakim masa kini memiliki workload yang amat tinggi sehingga kalau mungkin dibutuhkan bahan bacaan yang sesederhana mungkin. Padahal, hakim di tingkat pertama di Inggris dan Amerika pun menghadapi masalah yang sama, yakni workload yang tinggi. Maka, bagaimana seorang hakim di negara Anglo-Saxon dapat membaca, memahami, dan menerapkan putusan-putusan pengadilan sebelumnya dengan cepat, melihat bahwa setiap tahun ada isu hukum yang di-‘update’ oleh putusan-putusan lain (bisa jadi atau tidak hakim tersebut juga yang menjadi bagian majelis hakim yang memutus)?

Jawabannya adalah melalui law reports yang dapat dibaca baik melalui majalah hukum maupun database online. Law reports ini berisi putusan-putusan penting pada pengadilan bandingan ke atas yang membahas isu hukum yang kontroversial dan/atau belum ada pengaturannya. Beberapa contoh law reports adalah law reports resmi dari negara, All England Reports, Lloyd’s Law Reports (untuk permasalahan komersial dan maritim), dan Weekly Law Reports. Law reports ini umumnya tidak lebih dari 30 halaman, dan memang hanya membahas inti-intinya saja. Secara umum, struktur law reports demikian adalah sebagai berikut:

1. Identitas ringkas Para pihak dan para hakim yang memeriksa.

2. Kasus posisi dan argumen ringkas (tidak sampai 1 halaman).

3. Isu hukum yang dihadapi, ditandai dengan dari paragraf mana sampai mana isu tersebut dibahas untuk kemudahan navigasi, yang mana semuanya disertai angka paragraf di depan (para. 34 misalnya).

4. Pertimbangan hukum dan keputusan tiap-tiap hakim (concurring, abstaining, dissenting).

5. Hasil musyawarah atau voting beserta putusan.

Berdasarkan struktur tersebut, dimana hal-hal pokok seperti argumen dan isu hukum diperjelas di awal, seorang pembaca akan sangat mudah memahami permasalahan yang hadir dalam kasus tersebut. Selain hal tersebut, pertimbangan hukum sang hakim dan intelektualitasnya sangat terlihat dalam bagian pertimbangan, karena pendapat tiap hakim dipaparkan. Navigasi juga sangat mudah, karena pada bagian isu, sudah ditunjuk paragraf mana hakim A membahas isu tertentu serta apa isi pertimbangan hukumnya.

Melihat model law reports di negara Anglo-Saxon, penulis merasa ada satu hal yang membedakan antara ‘kekayaan’ hukum yang ada di putusan Inggris/Amerika dan putusan Indonesia: di Inggris/Amerika, musyawarah dan perdebatan antara hakim dalam mengambil putusan diterangkan dan diperjelas dalam putusan (concurrent, abstaining, dan dissenting opinions), sedangkan, musyawarah hakim di Indonesia, pada ujungnya membawa kita pada pertimbangan yang tertulis pada putusan, tidak diterangkan secara gamblang.

Tentunya hal ini juga dipengaruhi oleh bentuk publikasi putusan di Indonesia yang kurang efektif apabila dibandingkan dengan bentuk publikasi atas putusan di negara Anglo-Saxon dengan model law reports nya. Hal ini sangat disayangkan karena andaikan perdebatan dalam musyawarah hakim terkuak, tiap-tiap anggota majelis hakim bisa menunjukkan penalarannya sebagai ahli hukum dan benar-benar menjadikan putusan sebagai karya intelektual dan bukan hanya dokumen administratif pada umumnya. Profesi hakim pun akan sangat naik prestisenya apabila hal tersebut diperbolehkan; selain hal tersebut, seorang hakim pun akan terpaksa harus mengeluarkan usaha lebih untuk mempertanggungjawabkan kompetensi dan akuntabilitasnya kepada masyarakat hukum. Bagi kuasa hukum (baik dari kejaksaan maupun kantor hukum) pun juga akan lebih terlihat mana pendapat yang diterima dan yang ditolak; hal ini juga bisa menjadi kajian strategi litigasi yang luar biasa.

Sehingga, penulis menilai bahwa sistem penulisan putusan di Indonesia jauh dari sempurna karena dari sudut pandang pembaca, putusan tampak berbelit-belit dan isu krusial yang dibahas pun tidak terang. Selain itu, pertimbangan hukum dari majelis hakim tidak hadir secara predominan dan hanya 1–3 halaman saja, padahal disitulah harusnya kekayaan hukum serta hasil rechtsvinding si hakim dipaparkan. Musyawarah dan pendapat para hakim pun dibuat rahasia; hal-hal ini patut disayangkan karena ratio dari suatu putusan umumnya muncul dari pendapat-pendapat individual hakim dalam musyawarah tersebut.

Berdasarkan kedua kesimpulan tersebut, penulis izin memberikan rekomendasi. Untuk Mahkamah Agung, ada baiknya agar sistematika penulisan putusan yang mengikuti model Anglo-American agar: (i) isu dan pertimbangan hukum yang dibahas lebih mudah diidentifikasi dan dipelajari oleh hakim lain, advokat, jaksa, peneliti, maupun mahasiswa-mahasiswa di fakultas hukum; (ii) hakim memiliki kewajiban lebih untuk jadi lebih akuntabel kepada khalayak umum karena pendapat masing-masing harus ditulis; (iii) agar putusan hadir bukan hanya sebagai produk hukum, tetapi sebagai panggung di mana para profesional hukum, yakni hakim, jaksa, dan advokat, menunjukkan kapabilitas intelektualitasnya; (iv) agar putusan dapat menjadi bahan pembelajaran bukan hanya pengembangan hukum materiil dan formil, melainkan juga sebagai sarana pembelajaran strategi litigasi seperti riset metode argumentasi dan riset hakim, dan; (v) agar berkas putusan tidak hanya berbelit-belit dan mengulang-ulang.

--

--