Sulli & Hukum yang Mengistirahatkan dengan Damai

Ikram Afif
Akar/Ranting
Published in
7 min readSep 18, 2020
Sumber: https://images.app.goo.gl/8gE6zEEnsBivVvQR9

Choi Jin-ri merupakan seorang penyanyi dan aktris asal Korea Selatan. Ia merupakan mantan anggota girl group kenamaan, f(x), dan menggunakan nama panggung Sulli. Memiliki rambut yang dicat merah muda, ia sering mengunggah konten yang dianggap “berbeda” dengan norma yang dianut oleh masyarakat Korea Selatan di media sosial. Selain itu, hubungannya dengan pria yang lebih tua juga menjadi ladang kritikan bagi netizen/warganet. Terlepas dari kontroversi yang ia “buat”, ia terus mencoba untuk menunjukkan bahwa ia tetap teguh untuk terlihat berbeda walaupun diterpa makian.

Sayangnya, pada tahun 2019, ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di rumahnya yang terletak di Seongnam, Korea Selatan. [1] Manajer Sulli memberitahu kepada polisi bahwa Sulli menderita depresi.Kematiannya tersebut mengejutkan publik Korea Selatan dikarenakan beberapa waktu terakhir sebelum kematiannya ia masih sempat mempublikasikan produk endorsement yang ia terima. [2]

Kontroversi yang terus meliputi Sulli acap kali mengundang komentar-komentar jahat, baik di sosial media pribadinya maupun dalam laman berita online. Dalam suatu kesempatan, ia pernah mengungkapkan bahwa ia merasa harus menjelaskan ke orang lain bahwa rumor tentang dirinya tidaklah benar, “When I met people in the past, even before saying hello, I felt like I should explain myself: This isn’t who I am! The rumors aren’t true!” ujarnya dalam acara “The Night of Hate Comments”. [3]

Kasus terkait percobaan bunuh diri dan bunuh diri di Korea Selatan memang telah lama menjadi perhatian tersendiri bagi industri hiburan di negeri ginseng tersebut. Industri hiburan di Korea Selatan memang dapat dibilang keras. Bayangkan, untuk dapat debut menjadi penyanyi di Korea Selatan butuh proses yang sangat panjang. Biasanya seseorang yang ingin menjadi penyanyi K-Pop harus mengikuti audisi di suatu agensi.

Jika diterima, ia akan menempuh pelatihan / training yang tidak menentu waktunya (tergantung dari kebijakan masing-masing agensi terhadap trainee tersebut). Seorang trainee bisa saja debut setelah ia menempuh training selama tiga bulan atau bisa saja setelah lima tahun. Training ini meliputi latihan menyanyi, menari, tata krama, bahasa, dan lain sebagainya. Para trainee ini diharapkan dapat menjadi entertainer serba bisa dan sopan santun ketika mereka telah terjun ke dunia hiburan.

Keserbabisaan ini tentunya menimbulkan dampak positif dan negatif yang berdampingan. Secara positif, mereka mendapatkan banyak keterampilan baru serta menjadi lebih siap ketika berhadapan dengan publik. Namun, kesempurnaan menjadi melekat pada citra mereka sehingga setiap kesalahan (kecil maupun besar) yang mereka buat menjadi sebuah beban tersendiri. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan stres yang berujung pada depresi maupun kecemasan kepada mereka.

Sulli & Cyberbullying

Sulli dalam acara “The Night of Hate Comments”. Sumber: https://images.app.goo.gl/HPxHTgwTiRqKiZ7V8

Kematian Sulli pada akhirnya mengangkat isu cyberbullying sebagai sesuatu yang perlu ditindak secara tegas. Isu ini terutama dikhususkan pada penghentian atas penggunaan akun anonim. Sebagai permulaan, Para penggemar Sulli menginisiasikan petisi terkait kewajiban penggunaan akun dengan nama asli pada sistem komentar secara daring. Petisi ini ditujukan kepada situs istana kepresidenan Korea Selatan, Blue House. [4] Selain itu, asosiasi manajemen hiburan Korea Selatan juga mengeluarkan pernyataan yang intinya mendukung penindakan secara tegas atas kekerasan verbal secara daring. [5]

Pembicaraan terkait perlunya pengaturan tentang cyberbullying ini kemudian dikenal menjadi “Sulli’s Law”. Sulli’s Law sendiri diperbincangkan di Korea’s National Assembly pada hari ke-49 setelah kematian Sulli. Rancangan Undang-Undang ini diharapkan menjadi senjata yang ampuh untuk melawan cyberbullying. The New Alternative Party, salah satu partai politik di Korea Selatan, dalam kesempatannya di National Assembly memberikan pernyataan mengenai hubungan Media Pemberitaan dengan kematian Sulli yang disebut sebagai pembunuhan sosial.

Dalam hal ini, media pemberitaan yang mengandalkan clickbait dianggap turut berperan dalam menyebabkan depresinya seseorang, utamanya publik figur karena mengambil keuntungan dari jumlah klik atas pemberitaan kehidupan seseorang yang tidak akurat, atau menampilkan keadaan yang sebenarnya. Clickbaiting tersebut pada akhirnya mengundang penilaian dari warganet atas hidup public figure sehingga dapat menimbulkan cyberbullying. Saat ini, media pemberitaan seringkali berlindung pada dalih kebebasan pers. Namun, melihat sudah banyaknya korban dari pemberitaan media yang mengandung banyak clickbait, sudah saatnya industri media pemberitaan, atau setidaknya pemerintah, memberikan solusi atas budaya buruk tersebut mengingat reputasi Korea Selatan sebagai negara yang adidaya dalam hal internet.

Pada tahun 2007, Korea’s National Assembly pernah mengundangkan peraturan yang mengatur bahwa masyarakat harus melakukan proses validasi identitas asli mereka melalui social registration numbers (sama seperti NIK) serta harus menggunakan nama asli mereka ketika melakukan aktivitas secara daring. Alasan yang digunakan yaitu perlunya jaminan atas transparansi dan akuntabilitas atas tindakan yang dilakukan oleh warganet. Sistem penggunaan nama asli ini dilakukan terhadap situs media pemberitaan yang memiliki pengunjung lebih dari seratus ribu per hari. Media terkait harus mencatat identitas asli warganet yang menyampaikan komentar. [6] Setelah berlakunya peraturan tersebut, ternyata tidak ditemukan dampak nyata yang mempengaruhi perilaku atas cyberbullying yang terjadi di Korea Selatan. Pada tahun 2012, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan menyatakan bahwa pengaturan terkait pengungkapan identitas asli warganet tidaklah konstitusional (sehingga isi peraturan tersebut dibatalkan). [7]

Sumber: https://images.app.goo.gl/LckhjFTMrv7qQGAW8

Sebuah Dilema

Melihat dinamika yang terjadi, pemberlakuan Sulli’s Law menjadi suatu dilema tersendiri. Di satu sisi perlu adanya tindakan yang memberikan efek jera terhadap pelaku cyberbullying. Di lain sisi, kewajiban untuk mengungkapkan informasi pribadi warganet juga dianggap sebagai pelanggaran atas perlindungan data pribadi. Solusi yang dapat diberikan harus memperhatikan dahulu mengenai faktor penting dalam cyberbullying. Cyberbullying erat kaitannya dengan peran telekomunikasi. [8] Menurut Jeong Min Lee, et al., berkembangnya cyberbullying di Korea Selatan berkaitan erat dengan tingginya penggunaan dan ketergantungan pada internet di Korea Selatan. [9] Korea Selatan bahkan berada di peringkat ketiga terkait penetrasi aktif internet di Asia (berdasarkan data pada Januari 2020). [10]

Jason Lim menyatakan bahwa solusi yang mungkin dilakukan adalah dengan menargetkan platform teknologi yang mendukung cyberbullying. Hal ini juga dapat dilakukan terhadap kolom komentar situs portal yang mendukung komentar untuk “shock value” ( gambar, teks, tindakan, atau bentuk komunikasi lain, seperti eksekusi di depan umum, untuk memancing reaksi rasa jijik, syok, amarah, ketakutan, atau emosi negatif serupa), sehingga secara sengaja menimbulkan “clickbait marketplace” bahkan di antara para pemberi komentar. [11]

Bagaimana dengan Indonesia?

Setidaknya terdapat 25 kasus cyberbullying yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Selain itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan bahwa anak korban bullying mencapai 22,4% pada tahun 2018. [12] Sama seperti dengan Korea Selatan, tingginya angka tersebut berasal dari tingkat konsumsi internet yang tinggi pada anak-anak. [13]

Indonesia sendiri mengatur masalah cyberbullying pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Adapun konteks pada pasal ini ditujukan terhadap tindakan tindakan atas “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. [14] Tindak pidana yang diatur pada Undang-Undang ini merupakan delik aduan, sehingga perkara terkait cyberbullying baru dapat diproses secara hukum jika telah ada aduan dari orang yang terkena cyberbullying. [15] Di Indonesia pun belum ada wacana terkait pengungkapan data pribadi untuk mencegah cyberbullying.

Kita bisa melihat bahwa cyberbullying masih menjadi permasalahan yang pelik untuk dibahas. Hal ini dikarenakan sulitnya untuk menentukan pihak mana yang turut bertanggung jawab serta cara yang ampuh agar lebih mudah mencegah tindakan cyberbullying agar terjadi. Namun, hal yang bisa kita lakukan adalah tentunya dengan lebih bijak dalam menyatakan pendapat di internet.

Referensi:

[1] Kang, Haeryun. “How a K-pop star’s death reveals the truth about our society.”

https://www.washingtonpost.com/opinions/2019/10/15/how-k-pop-stars-death-reveals-truth-about-our-society/. Diakses 17 September 2020.

[2] Kang, Haeryun. “How a K-pop star’s death reveals the truth about our society.”

https://www.washingtonpost.com/opinions/2019/10/15/how-k-pop-stars-death-reveals-truth-about-our-society/. Diakses 17 September 2020.

[3] Kang, Haeryun. “How a K-pop Star’s Death Reveals the Truth about our Society.”

https://www.washingtonpost.com/opinions/2019/10/15/how-k-pop-stars-death-reveals-truth-about-our-society/. Diakses 17 September 2020.

[4] Shin, Hyonhee dan Young Yi Hyun. “K-pop Singer Decries Cyber Bullying after Death of ‘Activist’ Star Sulli.” https://www.reuters.com/article/us-southkorea-kpop/k-pop-singer-decries-cyber-bullying-after-death-of-activist-star-sulli-idUSKBN1WV1L3. Diakses 17 September 2020.

[5] Shin, Hyonhee dan Young Yi Hyun. “K-pop Singer Decries Cyber Bullying after Death of ‘Activist’ Star Sulli.” https://www.reuters.com/article/us-southkorea-kpop/k-pop-singer-decries-cyber-bullying-after-death-of-activist-star-sulli-idUSKBN1WV1L3. Diakses 17 September 2020.

[6] Anonim. “South Korea’s Real-name Net Law is Rejected by Court.” https://www.bbc.com/news/technology-19357160. Diakses 17 September 2020.

[7] Anonim. “South Korea’s Real-name Net Law is Rejected by Court.” https://www.bbc.com/news/technology-19357160. Diakses 17 September 2020.

[8] Lee, Jeong Min. et al. “Correlates of Adolescent Cyberbullying in South Korea in Multiple Contexts: A Review of The Literature and Implications for Research and School Practice.” http://dx.doi.org/10.1080/01639625.2016.1269568. Diakses 17 September 2020.

[9] Lee, Jeong Min. et al. “Correlates of Adolescent Cyberbullying in South Korea in Multiple Contexts: A Review of The Literature and Implications for Research and School Practice.” http://dx.doi.org/10.1080/01639625.2016.1269568. Diakses 17 September 2020.

[10] Clement, J. “Active Social Network Penetration in Selected Countries as of January 2020.” https://www.statista.com/statistics/282846/regular-social-networking-usage-penetration-worldwide-by-country/. Diakses 17 September 2020.

[11] Lim, Jason. “Sulli’s Law.” http://www.koreatimes.co.kr/www/nation/2019/10/352_277559.html. Diakses 17 September 2020.

[12] Eka Nugraha Putra. “Merunut Lemahnya Hukum Cyberbullying di Indonesia.” https://theconversation.com/merunut-lemahnya-hukum-cyberbullying-di-indonesia-110097. Diakses 17 September 2020.

[13] Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[14] Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[15] Pramesti, Tri Jata Ayu. “Sanksi Bagi Pem-Bully di Media Sosial.” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt56d7218a32d8f/sanksi-bagi-pem-bully-di-media-sosial/#:~:text=Pada%20prinsipnya%2C%20tindakan%20menujukkan%20penghinaan,3)%20UU%20ITE%20yang%20berbunyi%3A&text=Adapun%20ancaman%20pidana%20bagi%20mereka,paling%20banyak%20Rp%20750%20juta. Diakses 17 September 2020.

--

--