Wajib Ambil Cuti… atau Terancam Dideportasi? Celah dalam Hukum Ketenagakerjaan Swedia

Ailsa Namira Imani
Akar/Ranting
Published in
9 min readSep 25, 2020
Apakah Anda salah satu dari anggota penduduk usia produktif? Sumber: https://unsplash.com/photos/gt64mipuTxE (Fauzan)

Bulan Agustus dan September ini, pasar kerja Indonesia kedatangan anggota-anggota baru. Ribuan kawula muda berdatangan dari seluruh penjuru Indonesia, yang baru saja lulus dan mendapatkan gelar ataupun akreditasi dari berbagai perguruan tinggi dan institusi-institusi pendidikan. Mungkin Anda salah satu dari anggota kelompok ini (seperti penulis). Para pendatang baru ini telah bergabung ke dalam suatu perkumpulan individu-individu yang menggerakkan perekonomian negara Indonesia: anggota penduduk usia produktif.

Sumber: https://unsplash.com/photos/2FPjlAyMQTA (John Schnobrich)

Kelompok penduduk ini memiliki potensi yang tinggi. Saat ini, negara Indonesia diproyeksikan telah memasuki periode bonus demografi (demographic dividend), dimana jumlah penduduk di usia produktif melebihi jumlah penduduk usia anak dan lansia, yang berpotensi meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi suatu negara secara signifikan. [1]

Meskipun potensi tersebut sedang pada masa klimaksnya, mencari pekerjaan merupakan suatu proses yang menantang bagi banyak individu demografis produktif. Para pekerja harus bersaing satu dengan lainnya untuk mendapatkan pekerjaan, apalagi bila permintaan tenaga kerja dari industri tidak menjalankan para pihak yang ada. Terlebih, ketika seseorang telah mendapatkan pekerjaan, tak jarang para pekerja harus berhadapan dengan kondisi kerja yang tidak ideal.

Mengingat tantangan ini, maka tidak heran para tenaga kerja Indonesia mencari kesempatan kerja di luar negeri. Terdapat jumlah signifikan dari anggota angkatan kerja yang bekerja di luar negeri. Bank Pusat Statistik mencatat ada lebih dari 270 ribu Tenaga Kerja Indonesia yang berada di berbagai negara di seluruh dunia pada tahun 2019. [2] Banyak pihak dari segala latar belakang berangkat ke luar negeri untuk mencari pekerjaan, kesempatan dan harapan baru.

Swedia adalah salah satu negara paling ramah untuk pekerja. Sumber: https://unsplash.com/photos/2FPjlAyMQTA (Jonathan Brinkhorst)

Salah satu negara yang paling ramah untuk pekerja adalah Swedia. Meskipun kesempatan kerja di Swedia termasuk cukup kompetitif, para pekerja di Swedia dapat mendapatkan gaji minimum yang cukup tinggi. [3] Lebih lanjut, The Guardian menobatkan ibukota Swedia, Stockholm, sebagai kota yang mengedepankan work-life balance. Tak jarang para pekerja di Stockholm memulai hari kerja pada pukul 9 pagi, dan pulang kerja pukul 3 atau 4 sore. Hak cuti untuk orang tua (parental leave) juga diberikan kepada para pekerja yang ingin meluangkan waktu untuk anaknya — kedua orang tua mendapatkan 480 hari cuti orang tua yang dibagi di antara mereka! [4]

Sepertinya bekerja di Swedia sangat nyaman, bukan? Namun, terdapat suatu celah dari sistem hukum ketenagakerjaan di Swedia — dan celah ini khususnya merugikan tenaga kerja asing yang berkiprah di Swedia. Hukum ketenagakerjaan Swedia, yang bermaksud untuk melindungi kepentingan pekerja, sepertinya juga menjadi pedang bermata dua…

Kapan terakhir kali Anda ambil cuti? Sumber: https://unsplash.com/photos/rUXh5USKfUQ (Briana Tozour)

Ketika Cuti Merupakan Suatu Kewajiban

Ganesh Bista adalah seorang warga negara Nepal. Pada tahun 2013, ia datang ke negara Swedia untuk bekerja sebagai koki di sebuah restoran di kota Vänersborg. Istri Ganesh menyusuli dirinya ke Swedia setahun setelah Ganesh sampai di Swedia, dan lalu menjadi co-owner dari restoran tempat Ganesh bekerja. Pasutri tersebut adalah orang tua dari dua anak berumur sembilan dan tiga belas tahun, dan kedua anak mereka telah bersekolah dan menjalani kehidupan dengan nyaman di Swedia. Tahun 2017 menandakan empat tahun Ganesh bekerja di Swedia, dan Ganesh sungguh-sungguh mengira bahwa ia telah menemukan rumah barunya di Swedia: [5]

“I always thought Sweden was a nice country. I came here because I wanted to work, and it’s my home now.”

Namun, pada tahun 2017, ketika Ganesh hendak memperpanjang izin kerjanya, permohonan Ganesh ditolak oleh Swedish Migration Agency. Ganesh diperintahkan untuk segera meninggalkan Swedia dan kembali ke Nepal dalam waktu empat minggu. Alasannya? Karena Ganesh tidak mengambil waktu hari cuti yang cukup di tempat kerjanya sebelumnya di kota Stockholm.

Ya — karena tidak mengambil cuti.

Cukup mengejutkan, bukan?

Bila dilihat secara seksama, Negara Swedia sesungguhnya sangat murah hati dalam kebijakan cuti untuk para pekerjanya. Berdasarkan Annual Leave Act tahun 1977 beserta dengan perubahannya, setiap tenaga kerja di Swedia berhak atas 25 hari cuti per tahunnya. [6] 25 hari — dan masih ada kemungkinan untuk ditarik ke tahun-tahun selanjutnya! [7] Hal ini merupakan suatu hak istimewa bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, misalnya, sebuah negara berkembang kedua paling produktif berdasarkan produk domestik bruto, yang tidak memiliki aturan mengenai hak cuti pekerja. [8]

Hukum ketenagakerjaan Swedia juga mengatur leave of absence yang bersifat lebih lama, seperti parental leave yang sempat disinggung sebelumnya oleh penulis. Pekerja tetap juga berhak atas leave of absence selama enam bulan(!), bila pekerja tersebut perlu atau hendak melakukan hal-hal tertentu, seperti melanjutkan studi, merawat anggota keluarga, dan — mungkin dapat dikatakan sebagai suatu terobosan — untuk membuka bisnis baru! Swedia mungkin merupakan satu-satunya negara yang memberikan hak cuti, secara hukum, atas dasar alasan kewirausahaan, seperti dinyatakan oleh Claire Ingram Bogusz: [9]

“To my knowledge this is the only country that offers a legally-enshrined right to take a leave of absence for entrepreneurship”

Semua hal tersebut mungkin sangat mengagetkan untuk kita di Indonesia, yang hanya mendapatkan sekurang-kurangnya 12 hari hak cuti wajib setelah bekerja selama 12 bulan berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan. [10]

Ketentuan-ketentuan ini lalu ditambah lagi dengan aturan yang lebih mengejutkan lagi — para pekerja wajib mengambil cuti yang diberikan kepada mereka! Ya, wajib! Dari 25 hari cuti tersebut, para pekerja di Swedia wajib mengambil 20 hari dari 25 hari minimum yang diberikan oleh negara. [11] Kegagalan Ganesh untuk memenuhi persyaratan inilah yang menjadi alasan Swedish Migration Agency menolak perpanjangan izin kerja Ganesh. [12]

Putusan Migration Agency ini sangat memukul Ganesh, hingga kondisi kesehatannya memburuk. Ganesh sendiri mengklaim tidak mengetahui bahwa hukum Swedia mewajibkan dirinya untuk mengambil cuti. Ganesh menyatakan bahwa ia mengandalkan majikannya, yang dianggap lebih memahami peraturan-peraturan yang berlaku. Ganesh didukung oleh perusahaannya untuk bekerja lebih giat dan tidak mengambil cuti, dan sebagai gantinya, mendapatkan kompensasi uang lebih setiap tiga bulan, yang disebut sebagai semesterersättning. [13]

Meskipun demikian, Migration Agency tetap menganggap Ganesh dan majikannya telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan serta standar pelindungan pekerja yang berlaku. Putusan Migration Agency berbunyi: [14]

“Salary, insurance cover and other working conditions may not be worse than those in the Swedish collective agreement or the norm for the branch or industry… your employer cannot be considered to have fulfilled the employment conditions that were agreed to in the employment offer and on the basis of which your earlier permit was approved.”

Seorang pekerja berjalan di daerah konstruksi. Sumber: https://unsplash.com/photos/4zwozQxDbD4 (Guilherme Cunha)

Kompentensutsvisningar: Ternyata Karena Kejadian Masa Lalu…

Kemalangan yang dialami Ganesh Bista ternyata bukan kejadian satu kali di Swedia. Penelusuran lebih lanjut menguak beberapa cerita lain yang sejenis — dimana terdapat suatu kesalahan, biasanya bersifat administratif, yang menjadi dasar ditolaknya perpanjangan izin kerja para pekerja asing, dan memaksa pekerja-pekerja mereka untuk meninggalkan Swedia.

Terdapat cerita Sameer Suhbat, seorang montir berumur 22 tahun asal Iraq, yang juga ditolak perpanjangan izin kerjanya berdasarkan keputusan Migration Agency yang mirip dengan kasus Ganesh Bista, yakni atas dasar tidak mengambil cuti wajib yang cukup di dua perusahaan tempat ia bekerja. Total “defisit” hari cuti wajib yang seharusnya diambil Sameer adalah setidak-tidaknya sejumlah 27 hari. [15]

Ada juga cerita Danyar Mohammed, yang dideportasi karena gaji yang diterimanya hanya sedikit di bawah gaji minimum di Swedia. [16]

Ali Omumi, seorang insinyur dari Iran, juga dideportasi dari Swedia. Perpanjangan izin kerjanya ditolak karena perusahaan tempat ia kerja sebelumnya tidak mengurus asuransi yang wajib diberikan kepada Ali dengan benar. Seperti Ganesh Bista, ia harus meninggalkan Swedia dalam kurun waktu empat minggu sejak dikeluarkannya putusan. [17]

Faktanya, terdapat ribuan pekerja asing di Swedia yang mengalami hal yang sama. Pada tahun 2017 saja, Migration Agency menolak permohonan perpanjangan izin kerja dari sekitar 1,800 pekerja asing — meskipun tidak jelas berapa persen dari penolakan tersebut adalah atas dasar kesalahan administratif. [18] Meskipun demikian, dapat dirasakan bahwa deportasi pekerja asing di Swedia adalah suatu fenomena yang terjadi berulang kali, dan sepertinya terjadi secara sistematis pula.

Lantas, muncul suatu pertanyaan: mengapa Migration Agency bertindak demikian? Jawabannya adalah: karena pengalaman masa lalu, dan interpretasi ketentuan yang kaku.

Isu pelindungan hak-hak pekerja ternyata telah menjadi perhatian di Swedia sejak tahun 2008, ketika parlemen Swedia mengeluarkan undang-undang tenaga kerja asing yang baru. “New Law” ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap tenaga kerja asing, baik yang terampil, terdidik, maupun yang tidak terdidik maupun tidak terampil, diperlakukan secara sama, dan diberikan manfaat-manfaat dan pelindungan hak yang sama di antara mereka. [19]

Tindakan Migration Agency ini ternyata dicetus oleh suatu putusan yang dikeluarkan pada tahun 2015. Putusan ini dikaitkan dengan dua kasus penting yang diadili oleh Migration Agency pada tahun tersebut. Dalam kasus-kasus tersebut, terdapat sejumlah tenaga kerja asing yang dibayar dengan sangat rendah oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Dengan tujuan agar melindungi tenaga kerja asing dari eksploitasi oleh majikan, Migration Court of Appeal memutuskan bahwa izin kerja tenaga kerja asing yang bekerja untuk suatu perusahaan tidak dapat diperpanjang, bilamana perusahaan tersebut tidak memenuhi atau menjunjung norma-norma industri kerja di Swedia. Sejak dikeluarkannya putusan tersebut, Migration Agency menginterpretasikan putusan tersebut dengan sangat ketat dan kaku. [20]

Namun, terdapat dampak negatif dari keputusan ini. Karena Migration Agency menginterpretasikan ketentuan tersebut dengan sangat kaku, setiap kekurangan atau kesalahan dari data atau kondisi pekerja ketika mengajukan perpanjangan izin dianggap sebagai pelanggaran norma-normal industrial. Atas dasar tersebut, maka ribuan tenaga kerja asing di Swedia ditolak perpanjangan izin kerja mereka, seringkali hanya karena permasalahan administratif belaka. [21]

Hal ini mengakibatkan situasi dimana Swedia kekurangan tenaga kerja asing yang terampil — karena pekerja-pekerja tersebut terus dideportasi oleh pemerintah Swedia. Orang Swedia telah memberikan julukan atas fenomena ini: Kompetensutsvisningar, yang secara harfiah berarti “pengusiran bakat”. [22]

Sumber: https://unsplash.com/photos/P5YN73KrUAA (Saul Bucio)

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Hukum Ketenagakerjaan Swedia?

Secara keseluruhan, hukum ketenagakerjaan di Swedia menawarkan hak-hak dan manfaat-manfaat yang sangat menarik bagi para pekerja, terlebih bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Dapat dilihat upaya pemerintah Swedia untuk memastikan setiap pekerja di Swedia mendapatkan kondisi kerja yang ideal dan kesejahteraan hidup yang baik. Negara Indonesia dapat belajar dari Swedia dalam hal pengaturan dan pelaksanaan hukum ketenagakerjaan — tentunya dengan tetap memperhatikan kondisi dan kebutuhan pasar kerja di Indonesia.

Pada saat yang sama, terdapat poin pembelajaran yang tidak kalah penting, atau bahkan lebih penting dalam konteks kebijakan pada umumnya. Dapat dilihat bahwa upaya-upaya pemerintah Swedia untuk memastikan pelindungan pekerja menghasilkan suatu “efek samping”, yang berdampak negatif bagi Swedia. Sesungguhnya Migration Agency mengeluarkan suatu putusan yudisial dengan niat baik, yakni untuk menetapkan suatu preseden agar perusahaan-perusahaan Swedia memperlakukan tenaga kerjanya dengan baik dan benar. Namun, putusan tersebut — ataupun interpretasi dari putusan itu — justru “mengusir” tenaga kerja terampil dari bekerja di Swedia, yang berpotensi merugikan perekonomian Swedia untuk kedepannya.

Kasus deportasi tenaga kerja asing di Swedia sejatinya adalah suatu pengingat: bahwa suatu kebijakan dapat menghasilkan akibat-akibat yang tidak diantisipasi sebelumnya. Pengambilan keputusan dan pengerahan kebijakan sebaiknya harus dilakukan dengan mengantisipasi “celah-celah” ini, agar kebijakan yang diambil benar-benar mencapai hasil yang diharapkan untuk kebermanfaatan setiap pihak yang terdampak olehnya.

Seperti kata penyair asal Inggris Samuel Johnson: What we hope to ever do with ease, we must learn first to do with diligence.

REFERENSI

[1] Kristantyo Wisnubroto, “Potret Utuh Bonus Demografi di SP 2020”, http://infopublik.id/kategori/sorot-sosial-budaya/404762/potret-utuh-bonus-demografi-di-sp-2020, diakses 25 September 2020; Diahhadi Setyonaluri dan Flora Aninditya, “Riset: bonus demografi Indonesia bisa hangus karena gaya hdiup buruk pada usia muda”, https://theconversation.com/riset-bonus-demografi-indonesia-bisa-hangus-karena-gaya-hidup-buruk-pada-usia-muda-144020, diakses 25 September 2020.

[2] InterNations GO!, “Your Guide on Jobs and Finding Work in Sweden”, https://www.internations.org/go/moving-to-sweden/working, diakses 25 September 2020.

[3]Richard Orange, “How Stockholm became the city of work-life balance”, https://www.theguardian.com/cities/2019/may/22/how-stockholm-became-the-city-of-work-life-balance, diakses 25 September 2020.

[4]Catherine Edwards, “‘I’m being deported because I didn’t take vacation, but Sweden is my home;”, https://www.thelocal.se/20180712/im-being-deported-because-i-didnt-take-vacation-but-sweden-is-my-home, diakses 25 September 2020.

[5] Richard Orange, “How Stockholm became the city of work-life balance”, ibid.

[6] Government.se, Annual Leave Act 1977 (non-official translation), https://www.government.se/4a80ac/contentassets/eaf3467d4f484c9fb7274a067484c759/1977_480-annual-leave-act.pdf, diakses 25 September 2020.

[7] Ibid.

[8]Alexander Hess, “On holiday: Countries with most vacation days”, https://www.usatoday.com/story/money/business/2013/06/08/countries-most-vacation-days/2400193/, diakses 25 September 2020.

[9] Maddy Savage, “Sweden’s surprising rule for time off”, http://bbc.com/worklife/article/20190206-swedens-surprising-rule-for-time-off, diakses 25 September 2020.

[10] Indonesia, Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, UU №13 Tahun 2003, Ps. 79 ayat (2) huruf c.

[11] Catherine Edwards, “Everything you need to know about annual leave in Sweden”, https://www.thelocal.se/20180514/everything-you-need-to-know-about-annual-leave-in-sweden-semester, diakses 25 September 2020.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Sveriges Radio, “Young mechanic faces deportation for not taking a holiday”, https://sverigesradio.se/artikel/6732889, diakses 25 September 2020.

[16] Ibid.

[17] Frey Lindsay, “Why Sweden is Deporting High-Skilled Labor Migrants”, https://www.forbes.com/sites/freylindsay/2019/02/13/why-sweden-is-deporting-high-skilled-labor-migrants/#5f8c5f6c4510, diakses 25 September 2020.

[18] Maddy Savage, “Sweden’s surprising rule for time off”, ibid.

[19] Frey Lindsay, “Why Sweden is Deporting High-Skilled Labor Migrants”, ibid.

[20] Maddy Savage, “Sweden’s surprising rule for time off”, ibid.

[21] Ibid.

[22] Frey Lindsay, “Why Sweden is Deporting High-Skilled Labor Migrants”, ibid.

--

--

Ailsa Namira Imani
Akar/Ranting

A Jakartan giraffe — and also an enthusiast in socio-legal issues.