2020 — Aksara dalam asa

Nando Teddy
Aksara Dalam Asa
Published in
5 min readDec 31, 2020

Paginya :

“Aksara dalam Asa ? Kamu lagi bahas kamera analog? Jaman dulu ya betul , kadar sensitivitas sensor cahaya paling hanya 36/200 dibanding milenial sekarang yang dimanjakan dengan Sony a7 III’s -> yang bisa diextend sampe 204800. Kamu waras nando penghujung tahun buat artikel kamera analog, mana sempat milenial paham soal ginian?”

“Haha,gini bro kalau saya waras, mungkin saya ga mungkin berpetualang bro ga mungkin jadi diaspora, hidup makan tidur di negara antah berantah, ya menurut aku ya kita itu harus GILA dalam artian dan threshold yang benar, sensitif seperti “ASA”, dan peka terhadap perubahan, bro gua kasih lu analogi ya, dinosaurus itu punah bukan karena meteor, tapi lebih karena ketakutan mereka sendiri sebelum meteor datang, lu percaya ga?”

“ah masak, kamu jangan merubah sejarah ya? coba gua google”

“haha, nah kan base knowledge kamu digelitik begitu aja langsung sensitif, langsung tertantang? artinya kamu ingin membuktikkan bahwa “mungkin” saja apa yang diajarkan selama ini salah atau yang temen baikmu katakan ini memang invalid? jadi kamu sekarang perlu data yang valid atau bahasa kerennya hipotesis test biar informasi itu memang betul betul “valid”,“rigid”, atau “tipu tipu”. ”

“mantab, memang begitu, harusnya bagus dong, apa apa harus dibuktikkan dulu, di cari dulu, di verifikasi dulu, divalidasi dulu, ga asal percaya aja, gua ga senaif itu bro, setidaknya gini gini gua well educated”

“lah tapi kalau lu bilang begitu, yang jadi conman dimana mana, yang percaya money game juga bertebaran kayak jamur di musim hujan even sampe yang sekolah phd kadang ikutan aja, nawarin sana sini, entah relasi, keluarga atau bukan, kalo ga hati hati, reputasi sama hubungan bisa cut loss melebihi arti dari uang, dan in the end ini kontradiksi sama statement u sebelumnya dong”

memang ada anomali bro dicara berfikir, ga cuman di negara kita, negara lain sama. Namanya manusia itu subjective bias, selama informasi itu datang dari orang yang sudah dipercaya even itu hoax juga mereka percaya 100%, lah gimana kagak yang info itu teman baik gua dari sd, atau istri gua, atau mertua gua, inner circle bro inner circle, paham ?

“memang sih, makanya 2021 haruslah jadi tahun buat lebih belajar, increase skill yang bisa buat bersaing, pake namanya teknologi buat jualan atau apa saja yang positif, dan yang terpenting belajar lebih kritis”

“lebih mendidik generasi anak anak kita lah,lebih menanamkan disiplin di critical thinking, Lu ga sekolah tidak masalah asal jangan mudah dibodohi aja, but i encourage u to study and learn biar bisa nurturing u punya bakat, sama talenta. Sekolah guna kok, negara maju kayak singapura hampir sebagian besar s2 s3. jadi jangan pernah bilang pendidikan itu ga berguna.

“kamu lebih memilih customer kamu orang yang well educated, atau gimana ? jadi didik anak elu yang bener, karena itu generasi lanjutan kita”

“Ya kan kita perlu menghargai mereka ga cuman pendidikan, karena 2045 itu 100 tahun negara kita. Kita ga bisa hanya cukup bilang, nanti saja, kita optimis ada potensi, pasti bisa lebih baik, so vague, kabur,blur , ga ada ukuran, step by step !“

“optimis boleh, tapi harus ada insight, harus ada metrics, harus ada kalkulasi, gua belajar dari Nadiem Makarim, if you want to attack problem , try to construct and see from every angle, and do the math, lu tau nadiem ga?”

“ia ojek kan”

“asem, itu pemiliknya, unicorn!”

“haha, gua pura pura bego aja, kadang perlu sekali sekali stupid biar bisa lihat yang gua ajak ngobrol beneran intelek atau stupid ga tertolong?”

“asem lu, haha ok btw indeks STEM (science, technology, engineering and mathematics) itu mengkhawatirkan, tingkat readingness, suka baca, suka ilmu pengetahuan, kalah populer sama social science, jadi kepala daerah, atau mempunyai asumsi politik tertentu? Anak lu lebih suka maen angry bird atau buat game angry bird, ajarin koding la ?”

“haha ia kedepan Artifisial Inteligence bakal jadi fundamental dunia, lama lama kita jualan disocial media saingan kita chatbot,robot,script, virtual assistant,machine learning, bukan soal bersaing sama negara lain kyak Singapura, Malaysia, Jepang, Korea?, ini kejadiannya elu bakal bersaing sama “robot pintar” , lu mau jualan di instagram bersaing sama akun yang otomatis, scripted, ada sutradaranya. ? Ya scalability business u ga kayak mereka 24 jam, ga perlu resource, ga sibuk ngurus cuti karyawan, ini robot bro, benda mati”

“Jadi kalau gitu soal sensitivitas, penempatannya masih kurang tepat, terlalu bias, sensor kita lebih terbiasa dengan hoax, content negative, gampang diprovoke, kurang jauh mainnya, harusnya sebagai elemen sosial, keluarga perlu mengajari anaknya kan? ini kebalik, anaknya jauh lebih canggih dari generasi orang tuanya, ngeri bro? “

“jadi yang bener orang tuanya atau anaknya yang perlu belajar“

“lu jangan buat gua takut”

“intinya di tahun 2021 yuk fokus lensa kamera kita benerin dari yang tadinya tontonan ga bermanfaat, slowly move menjadi yang lebih berfaedah, mendidik secara intelektual, tapi entah lah ini gimana jalurnya,”

“mungkin kalau kita buat fondasinya, mungkin kita bisa jadi unicorn nih”

“mungkin doain aja, haha”

Sorenya :

“Namanya kan aktualisasi diri bro, kalau ga begitu ya ga seru, ayolah ? Elu juga gitu kan orang digital ,ketemu berbagai macam bangsa, elu bisa lihat karakter mereka, wajar orang aktif di social media, jangan overly skeptis la, ada harapan di setiap tantangan”

“Sadar bro, lu tau ga, elu itu product, masih ga percaya, apa yang lu browsing di any website, atau social platform itu bakal di jadiin based data oleh mereka ? kasarnya kalau lu search baju di tokopedia, iklan baju itu keluar dimana mana, data lu di genggaman mereka, bahasa kerennya behavourial pattern, core of the core (kalau kata pak ndul)”

“haha lu kayak masterchef,jadilah, p̴e̴m̴e̴n̴a̴n̴g̴ harapan di setiap tantangan lu sekali sekali maen ke podcast yang berfaedah, biar kalau ditanya apa “end game” lu, atau “visi jangka panjang 2045” lu bisa jawab, bukan cuman ngajarin anak lu jadi youtuber atau biar follower gua 20 juta ”, negara lain lagi sibuk rekayasa genetika, nemuin quantum computing, bukan sekadar jadi product atau follower elit global”

“lah jadi dari lu solusinya apa, kalau kita melihat Indonesia itu berpotensi ya jelas berpotensi, tapi sampai kapan mau ini potensi dibilang “potensi” tapi kenyataannya?”

“nah makanya, Indonesia itu sangat cantik dimata investor lu lihat Tesla ke Indonesia bro”

“jadi di 2020 kendalanya cuman unprecendented story yang kurang bagus mengenai fundamental akhlak, ga usah bahas korupsi di ukuran nasional, beresin dulu dirimu sebagai individu, jadi kalau satu orang bener minimal yang lain ikut bener bukan ikut ngasal, harapan nya minimal setiap individu bisa hidup dengan bersahaja, majestic, punya nilai”

“ditambah pandemic, ambyar, ya mudah mudahan cepat berlalu, dan inilah tugas kita semua agar bener bener sadar, dan mengingatkan sekitar kita, its not even done yet, masih panjang, jadi protokol kesehatan wajib,jangan beranggapan anda itu kebal, respect orang sekitar kita, ok ? “

Malamnya:

Bro tujuan lu buat artikel ini apa, keren kerenan, buat content ?

Gua jawabnya simple

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Bukan bukan gua ga pandai, gua ga tinggi, tapi ini semacam kaleidoskop 2020 bagi kehidupan kita semua, sekarang dan apa yang akan dihadapi dari sisi perjalanan hidup saya sebagai praktisi digital.

Mungkin ini jadi catatan lucu dan unik yang akan saya ceritakan kelak ke anak cucu saya, bahwa ada orang GILA yang setidaknya dapat memberikan insight bahwa kedepan generasi berikutnya bakal menghadapi kompetisi dengan teknologi, not human to human anymore. So be ready and welcome 2021 !

Ajarin anaknya teknologi jangan lupa !

--

--