Mahakarya
Kalau kamu bodoh akademis belum tentu kamu akan gagal, kalau kamu pintar akademis itu bukan berarti kamu akan sukses,
ada yang namanya experience
dia ipk tinggi tapi experiencenya rendah dia ga akan jadi apa apa
dia ipknya rendah tapi experiencenya tinggi dia akan jadi apa apa
dia ipk tinggi experiencenya tinggi tapi dia tidak bisa mengatur egonya dia ga akan jadi apa apa
Orang itu akan diingat karena karya pak, setidaknya kita bisa mati tapi karya kita ditelurkan terus nah itu
Tulisan itu karya yang abadi,menurutku
Berarti kalau aku meninggalkan tulisan walaupun besok aku enggak ada amit amit ya tulisan ini akan tetap dibaca oleh generasi bawahku.
Untuk menulis dan tulisan ini dipercaya kita harus punya kredibilitas dari pendidikan
Dr Tirta
Terbersit di sekitar pikiran bahwa ternyata ada beberapa hal di dunia ini yang tidak dapat melawan keabadian. Hal hal yang kita selalu kejar Dan targetkan kebanyakan adalah trivial atau sebenernya tidak signifikan dibandingkan dengan berbagai hal yang terjadi di semesta ini.
Bayangkan kita hidup tanpa Karya — seperti kata orang , “jalanin wae”, hemm di dalam benak saya, iya kalau kita hidup tanpa batas Umur mungkin valid. Tapi ketika kita dikasih batas Umur, perhitungan ini menjadi absurd. Apakah kita Masih mau hidup tanpa Karya berarti, tanpa kenangan atau memento? Hanya menjadi debu kembali ke semesta. Saya rasa terlalu “trivial” atau basic.
Para filsuf Yunani berfikir kritis mengenai kenapa kita hidup? Apakah ada esensi nya? Coba kita lihat mahakarya filsuf legendaris mengenai apa sih penting ya hidup
Socrates
Beliau sebagai legend Dari para filsuf mengemukakan sudut pandangnya bahwa tujuan hidup tidak lepas dari mengejar kebijaksanaan dan kebajikan. Kehidupan tanpa hal tersebut tidak layak dijalani Dan tentunya sangat penting untuk melaksanakan introspeksi Dan pengembangan moral pribadi dalam hal ini.
Plato
Murid Socrates mempercayai bahwa mencapai bentuk kebajikan tertinggi dan mengenai realitas yang sebenernya merupakan capaian hidup tertinggi. Bagi Plato berusaha untuk mencapai pemahaman kebesaran merupakan tujuan terbaik.
Aristoteles
Murid Plato satu ini memiliki pandangan praktis, dengan konsep terkenal Eduadimonia yang artinya “Kebahagiaan” atau “Kehidupan yang baik”, tujuan hidup sesungguhnya adalah mencapai Kebahagiaan yang datang Dan kehidupan yang “berlimpah” dengan kebajikan.
Epikuros
Dia percaya bahwa tujuan hidup adalah mencapai kenikmatan yang bijaksana dan penghindaran atau menghindari rasa sakit. Dia menekankan pentingnya kenikmatan “intelektual” dan kedamaian “batin” dan bukan pada kenikmatan fisik serta materi.
Stoisisme
Filosofi yang dipelopori oleh Zeon Dari Citium Dan diteruskan oleh Epictetus Dan Seneca, mengajarkan dengan gamblang bahwa tujuan hidup adalah selaras dengan alam dan mencapai kebijaksanaan melalui pengendalian diri, kebajikan dan ketenangan pikiran. Dan dengan konsep dikotomi kontrol yang sangat terkenal membuat filosofi ini diminati oleh generasi modern dalam menghadapi beratnya realitas hidup.
Jika diambil kesimpulan mereka menitik beratkan pada keyword berikut :
- Pencarian kebijaksanaan
- Kebajikan
- Kebahagiaan
- Kedamaian batin dan ketenangan pikiran
- Kenikmatan Intelektual
Nah lalu coba kita scan kehidupan kita saat ini, lihat sekeliling kita, manusia manusia yang hidup berjalan didalam timeline Dan universe yang sama. Apakah 5 hal tersebut yang mereka kejar Dan alami? Atau jika saya bertanya pada anda sekarang (bayangkan saya duduk di depan anda sambil minum teh hangat disore hari) pertanyaan saya, “bro, lihat 5 keyword diatas, jadi apakah itu yang selama ini bro kejar?, jika jawaban anda ternyata iya, Selamat anda selaras dengan filsuf legenda yang menitik beratkan dengan alam dan semesta serta kenikmatan batin dan kedamaian hati. Jika jawaban anda ternyata sebagian atau belum semuanya, tidak apa apa , minimal hari ini setelah membaca artikel ini, anda bisa lihat sudut pandang orang orang masa lampau mengenai kehidupan
Bahwa mengejar kenikmatan materialistic itu bukan menjadi prioritas mereka, mereka mengejar kenikmatan yang lebih transcendental, agung dan tidak hanya berfikir mengenai materi,materi dan materi.
Lalu ada yang berargumen, “oh saya kerja keras karena materi di era sekarang ternyata jadi faktor sumber Kebahagiaan"? Aristoteles tidak menjawab secara explicit mengenai context materi = Kebahagiaan tapi dia selalu menekankan bahwa itu hanya lah “sarana” jadi tidak kontra argumen namun dia menghadirkan tesis sebagai berikut
“Kekayaan Dan harta benda bisa menjadi sarana untuk mencapai tujuan hidup, tetapi mereka bukan tujuan itu sendiri. Orang yang hanya berfokus pada pengejaran materi mungkin kehilangan fokus pada apa yang benar benar penting dalam hidup-yaitu, pengembangan kebajikan dan pencapaian keseimbangan dalam hidup Karena nantinya itu akan malah menjadi halangan untuk mencapai Kebahagiaan sejati”
Lalu kembali dengan video awal dimana terdapat wawancara antara Dr Tirta dan Daniel Mananta mengenai Experience Dan Pendidikan mengingatkan saya pada diskurus dari Aristoteles. Dia berargumen secara spesifik bahwa Pendidikan memainkan peran sentral di dalam membentuk karakter seseorang dan mengajarkan kebajikan moral.
Pendidikan membantu seseorang memahami prinsip-prinsip dasar yang memungkinkan mereka membuat keputusan yang baik dan bertindak dengan benar. Ia percaya bahwa kebajikan tidak hanya dapat dipelajari melalui instruksi teoritis semata, namun juga melalui berbagai kebiasaan yang dibentuk oleh “repetisi”
Namun disisi lain Aristoteles juga sangat mengakui pentingnya “Pengalaman” sebagai sumber pengetahuan praktis “Phronesis”. Ia sangat percaya bahwa Pengalaman memberikan pengetahuan tentang situtasi konkrit yang sering kali diperlukan untuk dalam menerapkan prinsip moral. Ini juga berkembang dari menghadapi situasi dan belajar dari hasilnya.
Jadi kesimpulannya keduanya “saling melengkapi” dan penting untuk mencapai kehidupan yang bermakan karena secara dampak “pendidikan sangat penting di dalam kehidupan bermasyarakat dan juga pengalaman”
Kenapa?Bayangkan jika kita mengabaikan pendidikan, jangankan membuat “Mahakarya” yang ada kita malah akan dihadapkan hal hal seperti berikut
- Stagnasi budaya dan moral
- Kesehatan yang buruk
- Ketidakmampuan mengelola masyarakat secara efektif
- Kurangnya kesadaran kritis
- Ketidak adilan sosial ekonomi
- Serta terbatasnya berbagai kesempatan, pengetahuan dan keterampilan
- Kurangnya kreativitas dan inovasi
Pernah dengar istilah “distopian society” atau dalam literatur filsafat masyarakat yang “menakutkan” dikarenakan “kebodohan rajin memakan korban” coba lihat elemennya jika “pendidikan tidak penting” ini yang akan terjadi
- Penindasan dan ketidakadilan
- Kebodohan dan manipulasi
- Kemunduran teknologi dan budaya
- Krisis kesehatan dan lingkungan
Kondisi ini jelas sangat tidak kondusif, jelas mengabaikan pendidikan adalah tindakan bodoh, karena hidup bukan soal “individualistik”.
Sebagai contoh ada orang yang berkata “jika saya mempunyai anak kelak tidak perlu sekolah tinggi tinggi, cukup kerja seadanya atau bila perlu tidak usah kerja, ngapain sekolah ga guna”
coba kita lihat antitesanya
“Anak perlu mendapatkan pendidikan setinggi mungkin agar mereka memiliki kesempatan yang lebih baik dalam hidup, dapat mengejar karier yang memuaskan dan berkontribusi secara positif kepada masyarakat”
Now the choice is yours, masih berani bilang pendidikan tidak berguna? Mungkin jika anda hidup sendiri mungkin, tapi jika anda hidup dalam komunitas atau komunal, anda mau tetangga anda, konsumen anda orang yang uncivilized, tidak bermoral , pemerintahan yang chaos dan penuh korupsi dan suatu waktu bisa saja tidak berfikir panjang atau melakukan hal kriminal?
Saya jelas selalu memisahkan konteks pendidikan dan keberlimpahan materi, kenapa? setelah saya mengubek-ngubek buku sejarah, buku filosofis, semua berpendapat sedikit banyak soal, pendidikan itu aspek moralitas dan kesempatan, sedangkan berkelimpahan itu soal keberuntungan dan niat, jadi secara jalur ini beda,tidak bisa digabung.
Jangan sampai anda beranggapan orang terdidik ga mungkin kaya atau orang kaya ga harus sekolah, its a big no no. Itu konsep yang totally berbeda, karena anda bisa dapat kedua duanya jika anda benar benar bisa membaca peluang, atau anda bisa totally unlucky , “tidak terdidik dan terjerembab dalam kemiskinan struktural”.Semua itu bukan saling terkait tapi setidaknya “pendidikan” memberikan anda ruang gerak, dinamika yang lain dalam alam pikiran dan tentunya akan memberikan banyak sekali jalan dalam hidup jika tujuan hidup anda sama seperti filsuf Yunani diatas.
Kembali ke topik “Mahakarya”, coba lihat gambar diatas sekilas anda mungkin langsung tahu itu karya VanDeGogh, itu sudah menunjukkan Karya membuat orang tersebut dikenal dalam keabadian. Orangnya mungkin sudah lama tidak lagi hadir di dunia namun karya karyanya selalu membuatnya dikenang sampai beberapa dekade berikutnya
Nah menurut para filsuf ini mahakarya sering sekali terkait dengan pencapaian “Intelektual, Moral, dan Etis” yang tinggi, baik itu dalam memahami realitas, menjalani kehidupan yang bermakna atau mengembangkan karakter yang baik.Pencapaian mahakarya akan menjadi sulit jika individu atau seseorang masih terjebak dalam “kebodohan baik moral ataupun batin”. Menurut Epikuros, kebodohan seringkali berkaitan dengan kesalahpahaman tentang sumber “kenikmatan” dan ketakutan yang tidak beralasan. Dia berargumen secara kontekstual bahwa kebodohan menyebabkan mereka mengejar kenikmatan fisik atau material yang sementara dan seringkali malah membawah lebih banyak penderitaan dibanding kepuasan.
Ketidakpahaman tentang kebutuhan dan ketakutan serta bodoh secara moral dan etis menyebabkan individu bertindak dengan cara tidak rasional atau tidak bijaksana.
Pengetahuan tentang filosofis adalah kunci untuk mengatasi kebodohan. Dengan mempelajari rinsip prinsip dasar tentang kenikmatan rasa sakit dan ketakutan, tentunya kita sebagai individu dapat mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan sejati dan menghindari “penderitaan” yang tidak perlu.
Kenikmatan batin dan ketenangan hidup
Dalam bukunya “Meditation” Marcus Aurelius sang kaisar terhormat dari Romawi dan serta filsuf stoik paling epic mengemukakan untuk mendapatkan ketenangan batin :
- Penerimaan terhadap takdir (jangan berusaha mengkontrol sesuatu yang tidak dapat dikontrol, tapi kontrollah reaksi kita terhadap peristiwa tersebut)
- Pengendalian Emosi (itu datang dengan mengendalikan emosim dan tidak membiarkan diri terombang ambing oleh kemarahan, kesedihan atau ketakutan, sehingga kita bisa mengelola emosi dengan bijaksana. Lakukan refleksi dan introspeksi
- Fokus pada kebajikan, hidup dengan kebajikan seperti adil,berani, dan bijaksana memungkinkan kita untuk mencapai kedamaian internal.
- Refleksi harian, evaluasi tindakan dan meningkatkan kualitas diri, serta tetap fokus pada tujuan moral dan tenang di tengah tantangan
- Menerima keterbatasan manusia, banyak hal yang terbatas dan tidak semua hala akan mudah, seperti tiba tiba sakit? namanya juga manusiawi jadi ya belajarlah
- Sadar akan korelasi bahwa semua hal itu terhubung satu sama lain, seperti hukum alam dan karma, belajarlah untuk harmoni dengan dengan alam serta mencari ketenangan batin.
Kesimpulannya jika dihubungkan dengan mahakarya, ya ini hanyalah output dari pengembaraan kehidupan, outcome. Karena tanpa input dan proses yang baik jangankan mahakarya yang ada hanyalah perjalanan hidup tanpa arah dan tujuan. Belajarlah bersikap visioner dan jangka panjang karena hidup kita di dunia ini relatif, cepat dan lambat. Cepat jika hidup ini bahagia serta lambat jika kita melihat dunia ini dari sisi negatif. Buatlah karya sebelum kita tersisa di dalam keabadian karena mungkin jangankan karya, nama kita pun akan terhapus dari peredaran 100 tahun dari sekarang, dan mungkin cucu kita pun tidak ingat siapa kakeknya kelak.
Buatlah karya sebanyak banyaknya agar engkau dikenang sebagai orang yang menjalani hidup dengan makna dan kebajikan bukan sekadar numpang lewat di dunia fana ini dan kembali menjadi debu kosmos tanpa arti.
Ciayo ! See you di puncak kehidupan ! Welcome to 1% club.
Referensi
Aristotle. Nicomachean Ethics (Etika Nikomakhea) W.D Ross J.O Umron. The works of Aristotle, Oxford University Press
Epictetus, “Principal Doctrines”
Diagenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers (Buku X)
Epicurus, Letters, Principal Doctrines and Vatican Sayings — Russel M Geer
Long A.A.,& Sedley, D.N. The hellenistic Philosphers (Vol1)
Marcus Aurelius, Meditations A.S.L Farquharson 1944
Pigliucci, Massimo, How to be a Stoic : Using ancient philosophy to live a modern life (2017)