Privilege? Just be yourself.

Nando Teddy
Aksara Dalam Asa
Published in
9 min readSep 15, 2021

Privilege is a right, immunity, or benefit enjoyed by a particular person or a restricted group of people beyond the advantages of most.

Run with yourself

Kalau kita selalu merasa bahwa tuhan itu tidak adil, lama-lama sampai tua kerja kita hanya mengeluh dan meratapi nasib.Walaupun mungkin bukan kita yang merasakan kesuksesan,tetapi minimal kita harus memutus rantai kemiskinan.

Pada akhirnya, kita juga yang membangun privilege sendiri. (Abdi Suardin)

Coba tonton mana tau menginspirasi

Setelah mendengar penjelasan yang sangat lugas dan luas dari video youtube abdi suardin diatas, sekilas ada satu hal yang terlewat di benak saya yang mungkin perlu dituangkan dalam bentuk cerita pendek mengenai “privilege”.

Di kehidupan ini tentunya kita bertemu dengan berbagai jenis karakter manusia, tetapi sepertinya ada yang menarik untuk dielaborasi dan didiskusikan yaitu inequality dan validasi mental.

Tidak semua orang start dari posisi yang sama/kesempatan yang sama/level yang sama. Hidup bukan perlombaan kecuali kita start di posisi yang sama dan bisa sama-sama diukur parameter yang terlibat.

Hidup itu tidak akan pernah adil, maka dari sanalah dikenal suatu istilah yang dinamakan “privilege”, yaitu sebuah keuntungan tertentu yang dimiliki oleh orang-orang dalam kategori tertentu. Seperti mereka yang tidak pernah mengalami bagaimana rasanya jalan kaki ke sekolah, bekerja ketika masih SMA, ditinggal orang tua ketika masih kecil, dan juga harus mencari kerja demi sesuap nasi diusia muda hingga menjadi generasi “sandwich” yang pontang panting menikmati bagaimana mengalami susahnya cari kerja. Di satu sisi. teman sebaya setiap hari nongkrong di bioskop seperti rumah sendiri, memamerkan mobil barunya atau teman yang selalu memamerkan status sosial mereka atau iPhone terbaru mereka di social media? Terdengar klise sekali ya, kok bisa?.

“Iya bro, sepertinya mereka punya privilege”, ujar seorang anak muda di sudut kota menyahut. Anak muda yang baru tamat kuliah ini sebut saja bernama Rexi. Menceritakan pengalaman hidupnya kepada saya seperti apa yang telah dideskripsikan di paragraf sebelumnya.

Seorang manusia remaja yang masih berjuang demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Walaupun dia dilahirkan dari ketimpangan sosial dan masih bermasalah dengan kehidupan namun setidaknya dia sudah bekerja walaupun penghasilan belum tembus UMR, dia lumayan memiliki bakat yang dinamakan “never give up mindset”, Rexi sangat menikmati apa yang dinamakan “gratitude of life”.

Outcome manipulation/Confirmation Bias

Suatu hari, dengan penampilan ala kadarnya Rex mengunjungi salah satu acara reuni teman teman SMA yang diadakan baru-baru ini. Jarak 4 tahun dari terakhir bertemu tentunya membuat dia sangat antusias untuk hadir. Rexi yang datang dengan santainya tidak pernah menyangka dan hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika mendengarkan ucapan para sahabat masa kecilnya yang sekarang telah sukses dan beberapa ada yang bahkan “brag off” kelebihan yang mereka punyai.

“Nih lihat gua punya bisnis, hasilin ratusan juta per bulan mau gabung ga”

“Waduh elu masih kerja sama orang? gua dapat endorsment kemaren”

“Gue baru tamat dari ausi — luar negeri, hidup nyaman, kantor gua internasional bro“

“Gue mah aman, keluarga udah support, money not a problem, lusa married”

“Sedih amat idup lu rex, cari kerja gih”

“Gue mau nikah lusa rex, rumah, biaya amanlah semua disupport”

Kata kata sahabatnya sangat membekas.

“Haha, gua masih berjuang bro, good luck for you all ya”.

“Sabar rex, jangan gampang mendidih, mereka hanya kurang piknik secara jiwa sehingga kurang besar memandang semesta”, ujar Rexi di dalam hatinya mengingatkan dirinya akan pentingnya menghargai diri sendiri yang hanya terdiam melihat lingkungan pergaulannya ternyata memiliki “privilege” lebih dibanding dirinya.

Rexi menyempatkan diri untuk bercerita ke saya. “Bro, mau diskusi soal kesehatan mental”, ujar dia kemarin malam. Saya mengangguk setuju,OK, then let’s talk about it. “Sebenarnya jaman sekarang mencari validasi sosial itu seakan-akan tren yang digilai orang kebanyakan, menurut situ sehat tidak ya mereka secara mental, atau memang itu suatu trend? atau guanya aja baperan? Temen-temen yang gua punya seperti agak kurang respect dan agak merasa jumawa?”.

Rex, to be honest gua teringat video ini . Pembicaraan lord adi dengan ade ini sedikit banyak mempunyai point point yang sedikit banyak ada kaitannya soal pembahasan kita.

Menit 6:47 —

Ade : Hal apa yang bakal bikinlu bener bener marah sama orang tersebut kalau dia ngebercendain tentang hal apa di hiduplu?

Lord Adi : ..bila seseorang itu berbicara tentang status seseorang, terutama status financial, jadi dia meletakkan satu gap to him or somebody walaupun lu ada sepuluh ribu dia ada satu ribu,gua paling ga suka itu bagi gua you rich man and so what?. You rich just your money, but you still the same person. Like you today, mungkin lu ada whatever you have. Maybe,I don’t have anything tapi bila kita duduk, kita sama dong which is human that’s it.Nah,status itu gua paling ga suka, people compare somebody or just somebody like you low than me because your financial.

Itu terlalu insulting (in a word), maybe you dont know the situation of that person, kenapa dia tidak ada duit satu juta yang lu ada itu, you dont know why?, apa perjalanan yang telah dia lalui.

Apapun lu buat just be yourself,and siapa dirimu sebenarnya, pasti lu akan bahagia dengan result. It’s better daripada lu menjadi seseorang yang lain. Pasti lu akan regret di akhir nanti. …being yourself is always the best

“Jadi Rex, ini opini saya ya. The point its not everyone know your story or background or your privilege,so it’s ok when they say that. Just accept it even it’s also a bit insulting. Secara sosial manusia itu pasti ingin terlihat lebih unggul dari sesamanya, yang menarik adalah mereka itu selalu menampilkan “outcome”. Jarang sekali yang menginformasikan “proses”. Kadang mereka dengan gampang menjustifikasi tanpa melihat full picture, ujungnya terkesan merendahkan orang kan?. Ya mungkin apakah mereka mendapatkan semua itu dengan “privilege” spesial? bisa jadi”.

Tapi kalau temen gak respect sama you namanya bukan teman. Simple

“Seperti dari sononya udah ber-uang, ato mempunyai support system luar biasa dari keluarganya atau memang dengan kerja keras with tear sweat and blood/from zero to hero? Kalo sekadar privilege dan lingkungan sosial disekitar mereka juga terbiasa dengan validasi bias bahwa orang yang secara status dan materi lebih unggul, ya kemungkinan sangat wajar mereka bersikap seperti itu. Namanya juga makhluk sosial, mengagungkan kelebihan karena status sosial dan tentunya itu efek dari pergaulan mereka. Intinya lu jangan ambil hati, move on and ignore the noise”.

Tapi pesan saya ke kamu simple Rexi, hidup ini ga pernah fair. You will face a lot funny stuff like that and sometimes its insulting, so get used to it. Dan seiring waktu bertambah, kamu akan lebih bijak dan yang namanya istilah “no one really care or give a shit about you at all, they just being there for shake of fun” itu nyata adanya.

Rexi pun mencatat dengan seksama. “Biarin aja, its their opinion right? Dia melihat kamu dari kacamata mereka tapi kamu..kuatkan mentalmu.”, ujar saya sambil menyeruput teh hangat.

Jangan banding bandingkan dirimu dengan mereka. Do your best, show your progress, and every single mouth you meet eventually will shut up by itself.

Create your own privileges, your own opportunity, your own lucky-ness.

“Ibarat kamu itu baru masuk bab 1. Mereka itu sudah di bab 9 dari 10 bab perjalanan kehidupan.Misal, kamu yang baru mulai karir dengan gaji UMR, tidak perlu bandingkan dengan mereka yang mempunyai “privilege” sekolah S2 di luar negeri, penghasilan dollar, dan disupport sana sini. Atau yang lain misal, kamu seorang pemula di dunia “per-endorse-an” mau dibandingkan dengan “mereka” yang subscribernya 20 jutaan. Or, kamu itu petinju kelas ringan mau langsung dibandingkan sama kelas kakap. No man, it doesn’t work that way. Itu hanya sebuah bias konfirmasi yang ujungnya membuat kamu terjebak dengan perbandingan yang kamu yakini itu benar, tetapi ternyata ga relevan sama sekali.Masalahnya itu malah menbuat kamu menjadi merasa kecil, sedih, and ask god “why”. It didn’t solve your problem as well right?”

Bias konfirmasi adalah kecenderungan orang menyukai informasi yang menegaskan atau memperkuat keyakinan atau nilai-nilai mereka, dan sulit untuk dihilangkan apabila mereka sudah meyakini hal tersebut.Bias konfirmasi adalah contoh dari bias kognitif, hal ini juga berkaitan dengan kecenderungan untuk secara keliru menganggap hubungan dan makna antara hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan

“Setiap manusia itu unik Rexi. Jangan lupa,kita semua memiliki timeline masing masing. Jadi tidak perlu khawatir karena namanya citra/output/outcome/penampilan semua bisa dibanggakan atau bahkan dimanipulasi. Gak percaya, Kamu sekarang pergi ke mall beli baju mahal, kacamata beken, traktir temen kamu di fine dining, perspectivenya apakah sama atau beda? Ya, jelas beda tentunya. Kamu mau bilang apa aja ya karena “image” yang kamu tampilkan ke dunia sekitar kamu, atau “pencitraan” tersebut jelas memilik perbedaan dibandingkan dengan penampilanmu barusan yang ala kadarnya?”

“Hey man, yang ditampilkan itu yang “baiknya saja”,atau “outer layer”.So, it’s hard to say whether that is “the real truth”. Makanya lihat orang jangan dari luar, karakter number 1 right?”

“Jadi pastikan kamu mempunyai pergaulan yang mendorong kamu ke arah yang baik. Ignore saja mereka yang kehadirannya tidak banyak membantu hidupmu, merendahkanmu. Kamu cukup fokus untuk meningkatkan kualitas dirimu dan cari teman teman atau pasangan yang mendukung perjalanan hidupmu. Pertajam potensimu, ingat di dunia ini saingan terberatmu adalah dirimu sendiri dan waktu. Jadilah pengendali waktu niscaya dunia ada digenggamanmu.”

“Dan ingat jika kamu sukses, selalu menunduk dan be yourself, Hormati orang apapun kondisi mereka, karena kamu tidak tahu apa yang mereka lalui. Respect everyone ok! Its attitude! Biarkan mereka merendahkan dirimu, it’s ok, but jangan sampai kamu yang merendahkan orang ok ? Promise to me, make this world better place!”

“Seandainya nih bro, saya menjadi orang sukses kelak, mempunyai unlimited privilege, apakah sikap saya mungkin bisa jadi sama seperti mereka, kelakuan atau sudut pandang ?”, ujar Rexi. “Hahaha, nope, i dont think so. Sebagian orang itu baik cara berfikir atau berbicara dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, cara dia bergaul, dengan siapa dia menghabiskan waktu. Keunikan pribadi manusia itu tidak bisa digeneralisir, belum tentu kamu ikut ikutan merendahkan orang, ya kan?.

Simplenya kamu bergaul sama tukang parfum ya ikutan wangi, bergaul sama millionaire ya jadi millionaire, bergaul sama orang ga jelas ya ikutan ga jelas, bergaul sama orang (isi sendiri).ya ikutan (isi sendiri).

The list goes on.

Show Me Your Friends, I Will Show You Your Future!

“Selama sesuai secara etis dan moral, gunakan privilege yang kamu punya untuk membantu orang, bukan untuk merendahkan atau merasa jumawa. Ajarin ke anak-anakmu kelak bahwa hidup ini bukan soal bangga-banggaan, karena terbukti dunia ini akan lebih baik jika semua orang saling membantu bukan saling meledek atau memandang rendah orang bukan?”.

OUTRO

Sekali lagi jika anda beruntung dan memiliki “privilege”. Gunakan hal tersebut sebaik-baiknya. Tidak perlu untuk disombongkan, apalagi dipakai untuk merendahkan orang. Alangkah baiknya pakai hal tersebut untuk berikan manfaat untuk orang sekitar anda, atau bagi yang belum memiliki “privilege” cukup sabar dan optimis. Setiap orang dilahirkan dari keluarga yang berbeda beda, mempunyai karakteritik dan keadaan finansial yang mungkin jomplang. Tidak adil lah bahasa kerennya dan It’s ok. Selama anda telah melakukan yang terbaik dan tidak membuat rugi orang, ya tidak perlu jiper, baper, atau merasa putus asa untuk bersaing dengan orang orang yang mempunyai “privilege”. Biasa-biasa saja dan no hard feeling, selama hal tersebut tidak merugikan kamu.

Agar kitanya sendiri bisa mempunyai mental yang sehat dan tangguh, mungkin orang yang perlu kita bandingkan terhadap pencapaian kita hari ini adalah diri kita kemarin. Apakah kita sudah lebih baik, atau masih sama, atau malah menurun. No point, kalau kita membandingkan diri kita dengan orang lain yang jelas jelas dari posisi start aja sudah beda, punya keunggulan yang tidak kamu punyai sebelumnya atau opportunity dan luck yang berbeda.

Bahasa kerennya,jangan pernah bandingkan dirimu yang sekarang dengan chapter orang lain, itu sama saja kamu bertarung melawan tembok, atau gajah atau musuh yang tidak imbang. Tidak apa, tuhan menciptakan perbedaan pasti ada maknanya. Yang penting tetaplah fokus dan bersyukur dengan apa yang tuhan berikan. Hidup ini tidak melulu soal uang dan materi. Tidak akan ada habisnya. Kamu tahu kenapa orang sampai mengorbankan reputasi atau bahkan korupsi hanya untuk mengikuti hal hal trivial seperti “cepat kaya”, “cepat sukses”,”rumah mewah”,”mobil”,”tas branded” ?.

Kemelekatan akan materi ini yang menjadi tolak ukur mereka, akibatnya ketika bertemu orang, hal tersebut dulu yang diukur, which is funny right? Kamu tidak punya uang doesn’t mean stupid right? atau kalau kamu kelihatan ala kadarnya doesn’t mean you don’t have other privileges? Ya makanya tidak setiap hal juga kan diukur dari “priviliges” semata.

“ok bro thanks for a deep talk, sometimes the world is damn funny, i should move on and do my best”, ujar Rexi mengakhiri pembicaraan.

--

--