12 Januari 2023

Melanie Koernia
Aksaranara
Published in
3 min readJan 19, 2024
https://www.shutterstock.com/

Nanar kutatap langit dan gedung-gedung pencakar langit dari dalam mobil yang kutumpangi. Kucoba merekam ulang ingatanku, tapi sekelilingku terasa asing. Kuluruskan badan yang lama terkulai miring. Rasanya badan ini tidak bisa diajak kompromi.

Pagi ini aku menghadiri pertemuan dengan klien dalam kondisi kurang fit. Sepertinya, aku tertular sakit dari anakku. Nahasnya aku pergi tanpa membawa obat demam yang kuminum tadi pagi.

Seingatku, aku mulai memesan dan menaiki taksi daring pukul 15.48. Dalam sekejap, aku tertidur, sebelum terbangun pada suasana yang tidak kukenal.

“Sekarang kita di mana, Pak?”

“Slipi, Bu.”

Aku terheran-heran. Kantor klienku berada di dekat GOR Soemantri. “Rumah saya di Pamulang, kenapa kita pulang lewat Slipi?” seruku lemah.

“Menghindari ganjil-genap, Bu.”

Huuufts! Sontak aku melihat nomor platnya di aplikasi dan mencocokkan dengan tanggal hari ini. Ternyata, plat mobilnya memang berplat ganjil dan hari ini tanggal 12 Januari.

Tak ada dayaku untuk menahan tubuh yang makin lemah. Tanpa perlawanan, aku kembali tertidur dengan tetap memegang gawai yang mulai lemah baterainya — sama seperti empunya.

Aku merasa seperti mulai berhalusinasi. Sayup-sayup, terdengar gawaiku berbunyi. Rupanya, ada telepon dari suamiku. Aku tak mengangkatnya karena aku tidak mau baterai mati sebelum aku sampai ke rumah. Aku mengirim pesan via WhatsApp dan memberitahukan posisiku yang semakin menjauh dari rumah. Sontak dia membalas pesanku bertubi-tubi. Aku tahu, inilah alasan kenapa dia sangat posesif apabila aku pergi sendiri: Aku tipe pasrah dan itu selalu membuatnya selalu gusar.

Dua jam sudah berlalu. Aku sekarang berada di daerah Tanah Abang. Akan berapa lama lagi aku sampai di rumah pun aku tak tahu. Mataku kembali terpejam ditemani dengan lagu yang diputar oleh Pak Sopir di radio mobilnya. Rasanya, lagu-lagu itu yang bisa membuatku agak tenang di sela-sela demam yang mulai meninggi.

Aku terbangun karena mendengar azan berkumandang.

“Akhhh, sudah magrib. Salat asarku tertinggal.”

Aku pandangi lagi sekeliling dan mulai mengenali daerah yang sedang kulalui.

“Ini Cirendeu. Sebentar lagi sampai di rumah,” bisikku dalam hati.

Kulihat pesan dari suamiku yang mulai menanyakan posisiku kembali. Aku hanya bisa menjawab, “Cireundeu. Aku letih.”

Dia menjawab, “Sabar.”

Kembali, alunan lagu di radio memejamkan mataku yang sudah panas. Aku merasakan waktu sudah lama berlalu, tetapi kenapa aku masih berada dalam kendaraan? Dengan mata tertutup, aku merasakan banyak cahaya berwarna merah memasuki kelopak mata. Aku kembali membuka mata untuk menyadari bahwa aku kembali terjebak macet di daerah South City, Pondok Cabe.

“Sudah tiga jam perjalanan kita, Bu,” lirih Pak Sopir yang suaranya masih terdengar nyaman dan tidak menggerutu.

“Iya, Pak. Macet di sini biasanya lama karena kita akan melewati jalur tutup botol.” Yang kumaksud dengan jalur tutup botol adalah pengerucutan jalur, yaitu dari empat jalur menjadi satu jalur.

Pak Sopir terkekeh, “Kita nikmati saja, Bu.” Aku cukup lega mendengar jawabannya. Aku tidak mau membayangkan, dalam kondisi sakit, aku harus mendengar Pak Sopir menggerutu di kupingku.

Selama lebih dari 30 menit kami terperangkap di South City. Akhirnya, mobil dapat melaju dengan cepat. Kukirim pesan ke suamiku untuk menginfokan lokasi terkini. Tak berapa lama kemudian, aku sampai di depan rumah. Dengan langkah kaku, kumasuki rumah. Aku langsung disambut oleh senyum anakku yang sudah mulai pulih dan secangkir teh hangat yang dibuatkan suamiku.

Dia memelukku dan berbisik, “Yang ulang tahun ditinggalin seharian.”

“Maaf. Aku tidak berpikir akan pulang selama ini. Sekali lagi, selamat ulang tahun, ya,” kataku dengan suara lemah.

Perlahan, aku mengganti semua pakaianku tanpa sanggup memandikan diri. Aku menjalankan salat Isya dan dijamak dengan Magrib. Selanjutnya, aku paksakan tubuhku untuk makan dan meminum obat. Setelah itu, aku beringsut ke kasur. Aku sudah tidak kuat lagi. Aku butuh istirahat.

Aku mendengar suamiku berkata, “Ditinggal lagi, nih.”

“Maaf, aku tidur duluan,” jawabku dengan rasa bersalah. Kemacetan dan rasa lelah sudah menghabiskan energiku, bahkan pada hari ulang tahun suamiku.

Penyunting: Dwi Aprilia Kumala Dewi

--

--