Dua Belas Tahun Menahan Kerinduan

mels_me
Aksaranara
Published in
2 min readAug 8, 2024

(Bagian 1)

Semilir angin malam di Pelabuhan Merak membawa kembali kenangan yang telah lama tersimpan. Aroma khas dari perpaduan bau air laut, besi kapal, asap kendaraan, dan kepulan asap rokok yang melayang bebas di udara mengingatkanku pada masa-masa yang telah berlalu. Ah, betapa rindunya aku dengan suasana ini.

Keputusan untuk pulang kampung akhirnya tercapai setelah melalui berbagai pertimbangan. Keluarga mendesak tanpa henti, dan dengan hati yang berat, kami akhirnya menganggukkan kepala sebagai tanda setuju.

Perjalanan dimulai pukul 8.30 malam dari rumah. Kami berangkat dengan hati yang penuh rasa campur aduk, antara senang dan cemas. Tepat pukul 11.30 malam, kami tiba di Pelabuhan Merak. Kemudahan pemesanan tiket secara daring membuat transaksi dan pemilihan waktu penyeberangan menjadi lebih cepat dan praktis. Penyeberangan hanya memakan waktu satu setengah jam sebelum kami tiba di Pelabuhan Bakauheni.

Setelah beristirahat sejenak di area peristirahatan jalan tol untuk salat Subuh, kami melanjutkan perjalanan menuju Pekanbaru. Jalan tol Lampung — Palembang memberikan kesan yang mendalam. Tubuhku terasa pegal karena jalanan yang tidak rata dan penuh lubang, membuat perjalanan terasa sangat menantang.

Menjelang magrib, kami memasuki kota Jambi yang tampak sepi. Suasana pukul 8 malam begitu hening. Setelah makan malam, kami melanjutkan perjalanan kembali. Medan yang dihadapi makin berat, terutama untuk Maz yang baru pertama kali menyetir di jalur Sumatra.

Perkebunan sawit terbentang luas sepanjang perjalanan, dengan jalanan yang menurun, mendaki, dan berkelok-kelok tajam. Terkadang, jalan di depan tidak terlihat saat mobil mendaki cukup tinggi. Anak-anak yang terbangun sepanjang jalan merekam momen ini dan merasa seperti menaiki roller coaster yang tak berujung. Pengalaman ini benar-benar luar biasa.

Pukul 7 pagi, kami mulai memasuki kota Pekanbaru. Perasaan lega dan senang menyelimuti; ujung perjalanan mulai terlihat. Kekhawatiranku pada Omar, anak yang alergi dan mudah sakit, sirna karena dia mampu mengikuti perjalanan dengan baik.

Kami berhenti sejenak di daerah Palawan untuk sarapan pagi. Lontong sayur yang menggoda dan menarik perhatian menjadi pilihan kami. Maz cukup terkejut melihat lontong sayur Pekanbaru yang memakai mi kuning. Belum tahu saja dia kalau di Medan malah ditambah kuah kacang. Namun, dengan lahap dia menghabiskan semua makanan di piringnya. Saya rasa dia sangat lapar setelah melalui pengalaman pertama sebagai sopir di Sumatra.

Pukul 10, kendaraan kami mulai memasuki kota Pekanbaru. Rasa rindu kembali menyelimuti hati, mengingat kunjunganku yang singkat pada tahun 2002–2004. Pekanbaru adalah kota tempatku pertama kali bekerja setelah menyelesaikan kuliah.

Bersambung…

--

--