Hidangan Kejutan

Pudyla
Aksaranara
Published in
4 min readFeb 3, 2024

Hai, Mineral.

Apa kabar kalian? Semoga kalian sehat, ya.

Sesuai janji kita waktu kelulusan SMA sepuluh tahun lalu, 17 hari lagi adalah waktu kita untuk menepati janji tersebut. Jadi, gue mau ngundang kalian untuk datang ke rumah gue 17 hari dari hari ini. Alamatnya gue kirim setelah ini.

Salam,

Jojo.

Sebuah pesan singkat masuk ke aplikasi berkirim pesan milikku. Jojo adalah sahabatku semasa SMA. Kami berteman dengan lima orang lainnya dan membentuk geng yang dinamai Mineral. Geng ini beranggotakan aku, Jojo, Salman, Rosa, Nikita, Wanda, dan Ali.

Rosa adalah pacar yang kini menjadi istriku. Aku berpacaran dengannya sejak SMP kelas tiga, sedangkan Nikita menjadi pacar Salman di pertengahan kelas satu SMA. Ali dan Wanda jadian seminggu setelah Salman dan Nikita berpacaran. Itu pun karena dipaksa Ali. Ia mendorong Salman untuk berani mengutarakan perasaannya. Kalau Jojo, sih, enggak usah ditanya. Kayaknya dia berniat jomlo sampai mati, deh.

Hari yang disepakati telah tiba. Aku sampai di depan rumah Jojo 20 menit sebelum acara dimulai. “Jojo kirim pesan nih di grup, ‘Kalau sudah di depan gerbang, bunyikan klakson tiga kali, ya.’ Gitu katanya,” kata Rosa membacakan pesan singkat dari Jojo.

Aku tidak menyangka gerbang rumahnya terbuka sendiri setelah kubunyikan klakson. Aku masuk ke halaman rumah Jojo yang begitu luas dan kuparkir mobil di depan laguna.

Tidak lama kemudian, Ali datang dengan wajah muramnya. Ia menumpang di mobil Salman dan Nikita. “Wanda belum ketemu, Li?”

“Belum, Ros. Kalau bukan dipaksa kalian, mungkin gue masih ngurung diri di kamar saking stresnya.”

“Yah, sabar dulu. Semoga ada kabar baik hari ini,” kataku sambil merangkul Ali dan memasuki rumah Jojo.

Sudah berhari-hari Wanda hilang. Menurut kesaksian Ali, terakhir ia hanya berpamitan berangkat ke kantor. Setelah itu, sampai hari ini Wanda tidak bisa dihubungi.

“Nyesel banget hari itu gue enggak bisa nganter dia ke kantor,” cerita Ali sambil menahan tangis.

KRIET….

Jojo membuka pintu dan menyambut kami. “Selamat datang teman-teman. Gimana kabar kalian? Baik?” Jojo menyambut dengan memeluk kami satu persatu.

“Betah di Inggris, Jo? Gue kira lupa jalan pulang lo. Hahaha,” sahut Salman mencairkan suasana.

“Hahaha. Betah banget!” jawab Jojo.

Ehem, Jo. Wanda hilang. Saat ini masih dalam pencarian polisi. Jadi, sori banget dia enggak bisa hadir,” kata Ali menyambut pelukan Jojo.

“Turut berduka, ya, Li. Semoga lo cepet tau kabarnya Wanda.” Ali hanya mengangguk. “Kalau begitu, kita makan, yuk! Gue udah siapin hidangan kejutan untuk kalian.” Jojo mengajak kami masuk ke ruang makannya.

Aroma harum masakan yang disediakan sangat menggugah selera makan kami. Layaknya pesta besar, meja makan panjang dengan deretan kursi emas mengelilinginya. Aku menarik kursi dan duduk. Kemudian, para pelayan berseragam datang memakaikan celemek makan kepada kami.

Di meja sudah tersedia berbagai jenis makanan, mulai dari olahan pasta, daging, ikan, hingga buah-buahan.

“Siapa yang masak ini, Jo? Enak banget!” seru Salman sambal mengunyah daging di mulutnya.

“Ikannya juga enak,” sahut Ali diiringi anggukan teman-teman bersepakat. “Hidangan kejutannya yang lo bilang emang bikin terkejut, sih, rasanya.”

“Bukan. Ini bukan hidangan kejutannya.”

PROK PROK

Para pelayan membawa potongan daging yang dijadikan steik dan menaruhnya di piring kami.

“Silakan dicicipi. Daging spesial yang gue masak sendiri dari siang tadi,” kata Jojo sambil tersenyum.

Kami menyantap hidangan tersebut dengan lahap. Sejenak, kami melupakan permasalahan hidup, karena makan sambil bercengkerama adalah hal yang sudah tidak pernah lagi kami lakukan.

Setelah makan, kami berkumpul di ruang tengah. Kami masing-masing menceritakan apa yang terjadi selama sepuluh tahun ke belakang. Sampai tiba giliran Jojo. “Kalian tau kenapa gue bisa ingat janji kita sepuluh tahun lalu? Kalian tau kenapa gue ngilang sepuluh tahun ke belakang?”

“Karena lo kuliah dan kangen kita semua, kan?” tanya Nikita santai.

“Enggak juga. Satu-satunya orang yang gue kangenin di Mineral cuma Wanda.”

Semua tampak heran.

“Ali, lo tau, alasan gua kuliah di Inggris apa?” Ali geleng-geleng. “Man, lo tau alasan gue ngilang sepuluh tahun ini?” Salman menggeleng.

“Waktu kecil, gue punya sahabat. Dia satu-satunya orang yang mau ngajak main gue. Kalian tau kenapa enggak ada yang mau temenan sama gue? Karena gue jelek. Akhirnya, sebagai hadiah kelulusan SMP, nyokap bawa gue ke Korea untuk operasi wajah. Setelah kembali dari Korea, gue masuk sekolah yang sama dengan sahabat kecil gue. Sayangnya, dia enggak ngenalin gue.”

“Sebentar, arah cerita lo ini ke mana?” Aku memotong.

Jojo berdiri dari kursinya dan kembali bercerita tanpa menjawab pertanyaanku. “Sampai pada akhirnya, dia jadian sama temen gue. Hancur banget hati gue saat itu. Bahkan, selama main bareng, gue yang selalu jadi bahan olokan kalian karena jomlo. Yah, tapi itu udah berlalu, sih.”

“Setahun lalu, waktu gue kembali ke sini, tanpa sengaja gue ketemu Wanda. Ternyata, dia jadi kolega gue, tapi gue minta dia untuk merahasiakan kepulangan gue untuk kejutan ke kalian. Karena hubungan bisnis, beberapa kali Wanda main ke sini. Sampai suatu saat, dia tau kalau gue teman masa kecilnya. Dia bilang, dia nungguin gue selama ini dan berharap gue hubungi dia lagi. Sayangnya, gue terlalu pengecut dan terus-menerus sembunyi. Gue minta dia kembali ke gue, tapi dia enggak bisa cerai dari lo, Li. Karena napsu untuk memilikinya, tanpa sadar gue malah membunuhnya.”

“APA?! Jadi selama ini Wanda ada di sini?” Ali kaget sampai berdiri dengan mata terbelalak. Seisi ruangan dibuat kaget oleh Jojo.

“Lo terlambat. Kalian semua terlambat. Wanda udah enggak ada di sini. Wanda sudah ada di perut kalian, sebagai hidangan kejutan yang gue berikan.” Jojo yang pintar dan pendiam ternyata selama ini menyimpan dendam kepada kami semua.

Penulis: Pudyla

Penyunting: Ivan Lanin

--

--

Pudyla
Aksaranara

Pekerja swasta yang sedang belajar menulis fiksi secara rutin.